Kekerasan, menjadi kata-kata yang terkadang menakutkan dalam kehidupan manusia. Namun tidak sedikit yang memaknai ini sebatas kekerasan dalam bentuk fisik semata, sebatas tindak kriminal penyiksaan dan sebagainya. Maka, tidak mengherankan jika bentuk kekerasan non fisik mengendap begitu saja.
Menarik untuk sebagian orang membicarakan tentang tindak kekerasan yang begitu banyak menyengsarakan manusia baik secara personal maupun kelompok. Dari segi ajaran agama Islam, dimana Islam sebagai agama kedamaian (salam) secara mendasar menolak segala bentuk kekerasan terhadap fisik, mental, kehormatan maupun harta benda. Ini tercermin dalam ajaran tentang lima hak dasar, diantaranya hifdz al-nafs (perlindungan jiwa), hifdz al-din (perlindungan keyakinan), hifdz al-aql (perlindungan pemikiran), hifdz al-nasl wal mal (perlindungan keturunan dan harta), dan hifdz al-irdl (perlindungan kehormatan).
Ditinjau dari akarnya, kekerasan adakalanya dipicu oleh kekuasaan dan justru sebaliknya dapat juga muncul dari ketidak berdayaan. Kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang kuat baik secara politik, ekonomi, budaya, gender. yang kesemuanya digunakan untuk mendominasi pihak lain. Kekerasan dalam hal ini mutlak di haramkan dalam agama. Sementara kekerasan kedua -yang notabenenya dilakukan oleh pihak lemah- dalam hal ini yang menjadi sasaran dominasi pihak kuat, dimaksudkan untuk mempertahankan diri atau guna menuntut keadilan, dalam batasan-batasan tertentu adalah sah. Sebagaimana Firman Allah “ Jika kamu hendak membalas kekerasan maka balaslah dengan kekerasan yang setimpal…” ( QS; 16: 126).
Penyelesaian masalah tidak dengan tindak kekerasan secara komunal pun sukses di praktikan oleh Bapak pembaharu India Mahatma Gandhi, dengan ajaran Ahimsa yang memberikan perubahan di negara India untuk meraih kemerdekaannya dari Inggris dengan kesepakatan-kesepakatan melalui jalan damai.
***
Meski demikian, jika kita bercermin dari berbagai kasus yang ada saat ini mulai dari kasus pemerkosaan pembantu rumah tangga oleh majikannya, pemerkosaan anak dibawah umur, bahkan tidak sedikit tindak kekerasan yang terkadang tanpa kita sadari sangat dekat bahkan menjadi bagian dari lingkungan kita kurang kita fahami sebagai suatu tindak kekerasan itu sendiri.
Kekerasan (Violence) secara umum dapat diartikan sebagai suatu serangan terhadap fisik dan fisikis serta integritas mental seseorang. Dan ini dapat terjadi pada siapa saja baik dalam lingkup rumah tangga, tempat kerja, dan masyarakat. Kekerasan berbasik gender tidak selalu dipicu adanya sentimen laki-laki terhadap perempuan, tetapi dapat pula terjadi pada laki-laki oleh perempuan. Namun, karena kondisi suatu masyarakat (dalam hal ini relasi kekuasaan gender) yang bersifat patriarkal, maka pada umumnya korban kekerasan gender banyak terjadi pada perempuan.
Tulisan ini hanya sebagian kecil dari analisis-analis yang telah ada, dan banyak mereferensi dari berbagai tulisan tentang pentingnya kesadaran dan sensitivitas gender. Sehingga keinginan penulis pribadi, kita tidak lagi terjebak pada kebijakan yang merugikan dan berdampak negative bagi salah satu basis gender.
Gender, kata yang pertama kali di gunakan oleh Ann Oakley (dalam buku karangan Elizabeth Eviota; The Political Economy of Gender) berbeda dengan jenis kelamin (seks) adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural. Sementara jenis kelamin (seks) lebih merupakan pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis atau ketentuan Tuhan (Analisis Gender dan Transformasi Sosial ; Mansour Faqih).
Kurangnya sensitivitas dan kesadaran gender tidak sertamerta merupakan kesalahan mutlak yang terjadi dalam Masyarakat, hal ini pula terkait dengan kurangnya alat analisis yang memadai dalam hal ini lemahnya kontrol negara terhadap kekerasan berbasis gender.
Amerika, dalam hal pembelaan terhadap perempuan. Pada tahun 1976, dengan lahirnya kesadaran baru untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan terbentuklah Devlopment Studies yang mengkhususkan studi tentang perempuan, suatu analisis dan konferensi tentang pengintegritasan perempuan dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan oleh Weseley College dan dimotori USAID. Studi ini memfokuskan partisipasi perempuan dalam program pembangunan. Berangkat dari analisis pembangunan masa lalu yang cendrung memiskinkan perempuan . Dan dalam waktu yang relatip singkat hal ini menjadi kebijakan menyangkut perempuan bukan hanya di Amerika tapi juga hampir di semua negara dunia ketiga. Di perkuat lagi ketika pemerintah Amerika Serikat mengumumkan The Percy Amandement to the 1973 Foregin Assistence Act yang mencantumkan tentang perlunya perhatian terhadap perempuan dalam pembangunan. Dengan Amandemen ini, Amerika berhasil mempengaruhi PBB untuk memproklamirklan “ The Decade for Women”(1976-1985).
Sejak itulah berbagi akses baik pengetahuan, kebijakan, sumber informasi mulai diimpor untuk mempengaruhi jutaan nasib perempuan di negara dunia ketiga. Hampir serentak pada negara dunia ketiga beramai-ramai memasukkan agenda ini dalam program pembangunannya dan menjadi trand mode sampai saat ini. Hal ini sekaligus merupakan jawaban untuk kritik kaum feminis yang menganggap selama ini pemerintah banyak mengabaikan kaum perempuan. Namun ini tak berlangsung lama, dalam bukunya (Women’s role Ekonomic Devlopment; Ester Boserup) kembali mengkritisi model yang diterapkan di negara dunia ke tiga ini. Bagi Boserup peningkatan teknologi pertanian justru semakin memojokkan dan merendahkan peran perempuan dengan menyingkirkan akses perempuan secara produktif. Ini merupakan serangan kaum feminis pertama terhadap asumsi konvensional kaum libral yang berpandangan bahwa teknologi membebaskan perempuan.
***
Permasalahan yang berkaitan dengan perempuan solah-olah tidak akan pernah selesai di bicarakan, baik dalam diskusi-diskusi formal, maupun pembicaraan non formal yang terjadi mulai dari kolom jembatan, pasar, pinggir jalan, maupun warung remang-remang sembari menikmati kopi panas.
Menarik juga untuk dibicarakan tentang pelacuran (prostitution) dan industri seks serta pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri yang tanpa disadari hal ini banyak membias kepada tindak kekerasan terhadap perempuan. Namun kita kurang begitu menyadarinya karena hal ini seolah menjadi bentuk kekerasan yang “ditolelir” baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Tentu saja ini di karenakan pendapatan negara yang dihasilkan dari sektor ini. Pelacuran contohnya merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan, diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi dan politik yang merugikan kaum perempuan. Bagaimana tidak? Baik negara maupun masyarakat menilai suatu tindakan prostitusi disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri yakni si pekerja seks. Negara dan masyarakat selalu menggunakan penilaian standar ganda terhadap pekerja seks ini. Di satu pihak mereka sangat memandang rendah terhadap praktek-praktek seks, namun harus diakui tempat-tempat prostitusi selalu ramai dikunjungi. Dan secara industri, banyak orang bergantung secara ekonomis terhadap eksistensi mereka. Maka tidak tanggung-tanggung, tempat prostitusi menjadi bisnis yang menghasilkan pajak bagi negara, seperti kawasan Dolli di Surabaya, dan tempat-tempat lainnya.
Maraknya kasus pemerkosaan anak dibawah umur, atau pemerkosaan yang dilakukan anak-anak terhadap saudara ataupun tetangganya, menjadi berita yang setiap saat di siarkan melalui media informasi baik elektronik maupun cetak. Ketika di konfirmasi, tidak sedikit yang dipicu oleh maraknya tontonan pornograpi yang setiap saat dikonsumsi oleh semua lapisan usia. Mulai dari tontonan goyang India, sampai goyang ngebor Inul Daratista yang pernah marak.
Pornograpi banyak dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap salah satu jenis kelamin. Jenis kekerasan dalam budaya pornograpi merupakan kekerasan nonfisik yakni tubuh perempuan dijadikan objek industri yang tentu saja menguntungkan seseorang.
Menjadi perenungan kita bersama, melalui berbagai pendekatan atau metodologi (analisis gender) ini apakah akan mampu mambebaskan perempuan dari akar ketertindasannya? baik secara struktural maupun kultural akan mampu membongkar sejarah kelam dari lorong-lorong panjang yang telah dilewati bermilyaran perempuan yang pernah ataupun sedang menempati bumi ini. Bukan saja pada lintas analisis yang luas tentang perempuan di dunia, di mulai dari daerah kita yang begitu banyak menyimpan kekayaan alam, namun banyak pula mengendapkan dan mengubur nilai-nilai guna memunculkan kesadaran perempuan baik dari sektor ekonomi maupun politik, dalam rumah tangga ataupun ruang publik. Tugas analisis sejatinya memberikan pemaknaan terhadap realitas yang ada. Maka, ketika lahirnya analisis gender dianggap mampu untuk melakukan pendekatan terhadap tindak kekerasan yang terjadi saat ini. Tentunya diimbangi dengan solusi-solusi yang berpihak terhadap komunitas yang termarjinalkan.