Siapakah yang mengetahui pasti berapa biaya penempatan (cost structure) buruh migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri? Pokok bahasan ini telah sekian lama mendapat sorotan banyak kelompok buruh migran dan organisasi masyarakat sipil. Hanya saja hingga saat ini pemerintah tak kunjung mengambil kebijakan memperjelas besaran-besaran biaya tersebut. Pasalnya, Undang-undang nomor 39 tahun 2004 lebih terararh untuk melindungi kepentingan ekonomi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Hanya sedikit pasal dalam undang tersebut yang berpihak kepada buruh migran. Soal lainnya, keterbukaan informasi yang menjadi prasyarat pengelolaan pelayanan publik tak kunjung diterapkan oleh lembaga-lembaga negara penangggungjawab penempatan dan perlindungan TKI.
Persoalan besaran biaya penempatan TKI berimbas terhadap akses keadilan bagi TKI. TKI kerap dipaksa menyetujui pemotongan gaji tanpa kejelasan perhitungan biaya yang dibebankan selama proses penempatan. Beberapa kebijakan spesifik penempatan TKI di masing-masing negara memperburuk situasi ini. Di Hongkong, TKI tidak bisa melakukan kontrak mandiri meskipuntelah bekerja di negara tersebut. Perpanjangan kontrak harus dilakukan dengan melalui prosedur yang sama dengan pemberangkatan melalui PPTKIS. Hal ini menyebabkan TKI harus kehilangan uang hasil bekerja di sana. Pemotongan pun jumalahnya sangat besar. TKI Hongkong dikenai potongan gaji selama 7 bulan yang jika ditotal mencapai nilai HK$ 21.000 (setara Rp. 24.000.000).
Benarkah sistem tersebut memenuhi asal keadilan? Dan benarkah penerapannya dengan kesediaan atau kesukarelaan TKI? Ataukah hal tersebut hanya bentuk penjeratan TKI yang ditempatkan dalam posisi yang tidak berdaya?
Kecenderungan pengikatan TKI dengan melanggar asas keadilan tersebut merupakan bagian dari praktek perdagangan manusia. Definisi perdagangan manusia yang menetapkan bahwa pemindahan dengan paksa atau dengan menjadikan kelompok atau peseorangan yang dipindahkan menjadi tidak berdaya menegaskan bahwa praktek tersebut adalah bagian dari perdagangan manusia. Tujuan ekonomi yang lebih mengemuka dalam pembiayaan TKI menjadikan sebagai kelompok korban perdagangan manusia secara sistematis.
Penempatan TKI idealnya diposisikan sebagai pelayanan publik yang terbuka. Jika pun harus dikelola melalui oleh koorporasi atau pihak swasta, negara perlu melakukan penjaminan standar dan pengawasan yang berpihak kepada kelompok TKI. TKI bukan komoditas ekonomi semata, tetapi warga negara yang memiliki hak sama dengan pengelola negara dan PPTKIS. Pelbagai kebijakan yang mengarah pada kelalaian pengawasan penempatan TKI adalah bagian dari praktek politik pembiaran yang dilakukan oleh negara. Negara yang semestinya memberikan perlindungan penuh kepada warganya, menyerahkan proses tersebut kepada pihak swasta yang lebih berorientasi pada peraihan keuntungan ekonomi.
2 komentar untuk “Biaya Penempatan TKI yang Tak Jelas: Praktek Perdagangan Manusia”