(Bahasa Indonesia) Sejarah Desa Nongkodono

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

 

(Keterangan foto: Warga berpose di depan Balai Desa Nongkodono)

Konon berdasarkan cerita para sesepuh dan buku Kumpulan Sejarah Desa Tahun 1946 se-kecamatan Kauman, dikisahkan bahwa Desa Nongkodono awalnya berupa hutan yang lebat. Orang yang pertama kali membuka hutan tersebut  adalah Mbah Kruwet. Selanjutnya diikuti oleh Mbah Suto. 

 

Mbah Kruwet merupakan orang sepuh, asal muasal dipanggil mbah kruwet juga cukup unik. Mbah kruwet memiliki postur tubuh yang kurus, orang Jawa menyebutnya ‘kuru’. Selain itu, mbah Kruwet juga berumur panjang atau dalam bahasa jawa dipanggil ‘awet’. Gabungan dari kuru dan awet tersebut menjadi “kruwet’. Nama itulah yang menjadi nama panggilan orang yang telah membuka hutan pertama kali untuk menjadi desa Nongkodono.

 

Asal Kata dari Buah “Nongko” 

 

Mbah Kruwet memiliki tanaman buah Nangka, orang Jawa menyebutnya ‘Nongko’. Tanamannya sangat lebat dan berbuah besar-besar. 

 

Pada suatu hari, Ratu Sinuhun Paku Buwono datang ke rumah Mbak Kruwet. Mbah Kruwet sendiri belum tahu jika yang bertamu ke rumahnya merupakan seorang  ratu. Mbah Kruwet menghidangkan buah Nangka dan mempersilahkan untuk menikmati hidangan yang disajikan kepada tamunya. 

 

Mbah Suto yang tahu kalau di rumah mbak Kruwet sedang ada tamu, ia ikut menemui tamu tersebut dan memberikan hidangan yang sama, yaitu buah Nangka. 

 

Ratu Sinuhun Paku Buwono bertanya kepada mbah Kruwet, “Pak, Nangka ini kamu jual atau hanya diberikan saja?” tanyanya. 

 

“Tidak pernah saya jual, saya hanya berikan kepada siapa saja yang mau makan,” jawab Mbah Kruwet. 

 

Pertanyaan yang sama juga turut dilontarkan kepada mbah Suto, namun jawaban mbah Suto 

berbeda. 

 

“Sebagian saya makan, lainnya saya jual,” jawab mbah Suto. 

 

“Kalau buah Nangka kamu berikan (dalam bahasa Jawa dono/weneh), maka buah akan semakin lebat dan umurnya panjang, tetapi kalau kamu jual, maka buah nangka tidak berbuah dan pohonnya akan mati perlahan-lahan,” kata Ratu Sinuhun Paku Buwono. 

 

Apa yang diucapkan oleh Ratu Sinuhun Paku Buwono ternyata benar, beberapa tahun kemudian, pohon  buah nangka milik Mbah Kruwet berbuah lebat dan besar-besar, sementara pohon buah Nangka Mbah Suto jatuh berguguran dan secara perlahan mati. Dari kata Nangka (Nongko) dan Memberi (Dono) maka tercetuslah nama Nongkodono. 

 

Desa Nongkodono terbagi dalam beberapa dusun, yaitu: 

 

  1. Gilang

 

Disebut dukuh atau dusun Gilang disebabkan karena di dusun ini terdapat peninggalan sejarah yang sampai sekarang masih ada, yaitu batu Gilang. Konon, apabila ada binatang atau sesuatu terbang di atas lempengan batu itu, sesuatu itu akan jatuh. Dengan adanya batu tersebut, nama Gilang diabadikan sampai sekarang menjadi dukuh Gilang. 

 

Selain itu, di dukuh ini terdapat pekuburan umum tempat para sesepuh desa yang membuka desa pertama kali dimakamkan, ada Eyang Suto Wedono dan beberapa sahabatnya. Ada juga makam kepala desa yang pernah menjabat di Nongkodono. 

 

Di dukuh Gilang juga terdapat Jeron Gebyok, yakni lahan petilasan atau bekas tempat tinggal Eyang Suto Wedono. Disebut Jeron Gebyok karena jalan menuju rumah itu panjang dalam bahasa Jawa, disebut Jeru dan dinding rumahnya terbuat dari papan atau gebyok. 

 

Ada juga Sarpon atau Pasar Pon. Konon, Gerumbul yang ada di pojok desa adalah pasar. Pasar tersebut memiliki aktivitas satu kali setiap lima hari, yaitu setiap hari Pon (hitungan hari Jawa). Gerumbulan tersebut sebagai pintu gerbang masuk desa dan sekarang dipindah ke Condong atau pasar Condong, sementara wilayah Sarpon sekarang dibangun Polindes dan rencana ke depannya akan dibangun taman desa. 

 

  1. Dusun Krajan

 

Krajan merupakan pusat pemerintahan, maka dinamakan Krajan atau tempat kerajaan. Wilayah dusun Krajan terbagi dua, yaitu Prigi dan Condong. 

 

Asal muasal daerah Prigi belum diketahui secara jelas. Namun, di daerah tersebut terdapat  peninggalan sumur tua yang terletak di pinggir jalan. Konon, siapa saja yang mengambil air di sumur tersebut dan digunakan untuk mandi, maka bisa awet muda. 

 

Sementara daerah Condong bermakna senang atau suka. Dulu di daerah tersebut terdapat sebuah jembatan yang bernama Petung, karena digunakan sebagai tempat bertemunya orang dari berbagai daerah untuk transaksi jual beli, lalu pada tahun 1960 dibuatkan lokasi pasar Condong. Selanjutnya pasar Pon dijadikan satu di pasar Condong. 

 

  1. Dusun Candi

 

Di namai dusun Candi disebabkan karena di tempat ini terdapat sebuah gundukan batu bata merah. Tumpukan batu tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejak zaman kerajaan majapahit dan dijadikan sebagai tempat ibadah atau pemujaan. Oleh sebab itu, dusun tersebut dinamai dusun Candi. 

 

Di dusun Candi juga terdapat makam tua yang bernama makam Karang. Disebut makam Karang karena pohon yang ditanam dan tumbuh di area makam tersebut pasti mati atau dalam bahasa jawa disebut ‘Ngarang’.

 

Selain itu, dusun Candi dikenal juga dengan daerah Genjahan. Dulu, tempat tersebut menjadi langganan banjir karena terletak bersebelahan dengan sungai Bedah dan airnya selalu menggenangi tempat tersebut. Hal itu membuat masyarakat sekitar selalu terfikir, bagaimana caranya menanam tanaman yang cepat panen sebelum tergenang air. Ditemukanlah tanaman Genjah (cepat panen), sehingga masyarakat menanam tanaman genjah dan istilah tersebut digunakan untuk menyebut wilayah Genjahan

 

Artikel ini dikutip  dari website: www.nongkodono.com

 

Tulisan ini ditandai dengan: Nongkodono Ponorogo Sejarah sejarah desa nongkodono 

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.