(Bahasa Indonesia) Sikap Bijak terhadap Perbedaan Budaya dan Agama di Rantau Orang

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

“Saya bekerja di sebuah keluarga yang makan babi dan memelihara anjing, apa yang harus saya lakukan ustadz?“, demikian tanya salah seorang buruh migran di Hongkong dalam suatu ceramah keagamaan. Sang penanya sedang galau dengan keyakinannya sebagai Muslim yang berbenturan dengan kenyataan hidup bekerja di rantau orang. Mending, yang dialami masih belum menyangkut nyawa sehingga masih ada waktu untuk menyelesaikan konflik beda budaya ini.

Di Saudi Arabia, tahun 2018 ini, ada 5 pekerja migran Indonesia (PMI) yang diancam hukuman mati karena kasus yang dianggap serius dalam keyakinan orang Arab Saudi, dan mungkin biasa bagi banyak kalangan Indonesia, yaitu kasus sihir.

Apa yang disebut sihir dan mengancam nyawa PMI di Saudi Arabia, sesungguhnya tidak lain apa yang biasa disebut banyak masyarakat Indonesia sebagai Jimat (Antara, 25/3/2018). Sesuatu yang dibawa, dirawat, dan ditempatkan pada tempat tertentu, sebagai doa, untuk keselamatan dan ketenangan jiwa, harapan tambah pengasih atau tambah rizki.

Jimat merupakan hal biasa bagi masyarakat Indonesia dan bagi banyak masyarakat lain di dunia. Orang-orang Iran yang mencari suaka biasa membawa Nazrs dan orang Mexico membawa Promesa (Ridwan Wahyudi, 2015). Tetapi tidak demikian bagi Saudi yang terkenal dengan paham tekstual Wahabi. Di Arab Saudi, jimat yang dituduhkan sebagai sihir dianggap syirik atau menyekutukan Tuhan. Hal tersebut dapat membawa petaka bagi pemiliknya: hukuman pancungan pedang.

Dari perspektif pengguna, jimat sesungguhnya tidak lain dari upaya seseorang untuk menghadapi keterasingan, ketakutan dan kekhawatiran, kebingungan menghadapi benturan perbedaan di rantau orang. Tentu pula jimat digunakan pemiliknya dengan harapan akan keselamatan , sukses, dan bisa kembali ke rumah dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Secara umum, hampir semua orang yang bermigrasi ke tempat lain akan menghadapi hal-hal gegar budaya tersebut.

Kini setidaknya ada 9 juta PMI di luar negeri yang pasti menghadapi perbedaan-perbedaan budaya, agama, bahasa dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Jika tidak disiapkan dengan cermat sebelum berangkat dan tidak disikapi dengan bijak saat di rantau, perbedaan-perbedaan budaya ini bisa menambah daftar panjang persoalan PMI di luar negeri.

Cermat Sebelum Berangkat

Seringkali faktor pendorong yang terlalu kuat, seperti kemiskinan dan kebutuhan pekerjaan, dan faktor penarik yang terlalu menggiurkan, seperti janji-janji gaji besar dan hidup nyaman, membuat seseorang kehilangan kecermatan dalam mempersiapkan diri.

Bermigrasi ke luar negeri pasti akan menghadapkan PMI pada perbedaan bahasa, agama, dan budaya. Biasanya, seseorang yang memasuki lingkungan baru, dengan segala perbedaan yang ada, akan mengalami “keterkejutan budaya” (cultural shock). Keterkejutan tersebut bisa berupa ketegangan psikis, rasa kehilanga keluarga, penolakan orang atau nilai-nilai dan kebiasaan asing, perasaan rendah diri dan tidak berdaya (Oberg, 2004).

Banyak orang sudah terbiasa mempersiapkan diri sebelum migrasi dalam menghadapi perbedaan bahasa. Tetapi sedikit sekali yang peduli pada perbedaan agama dan budaya. Kegagalan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan ini bisa mempengaruhi psikis seseorang, seperti mudah frutasi, motivasi yang rendah, kehilangan daya juang dan susah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan berbeda. Situasi ini menyebabkan seseorang bahkan menjadi tidak nyaman saat bekerja atau beraktivitas lainnya. Pada PMI, situasi ini pada akhirnya bisa menyebabkan kegagalan migrasi atau ahkan bisa berujung kematian. Padahal, semua orang yang bermigrasi menginginkan kesuksesan dan kebahagiaan (Iqbal dan Verdingrum, 2016).

Seseorang yang ingin berangkat bekerja di Saudi Arabia atau Hongkong, tentu saja harus mempelajari budaya dan kebiasaan orang-orang di dua negara tersebut. Saat ini, kita bisa “googling” di internet dengan mudah. Hampir semua informasi mengenai budaya berbagai dunia sudah tersedia. Atau, bisa juga dengan menanyakan kepada mereka yang sudah berpengalaman.

Lebih penting dari “googling” informasi adalah kesiapan mental atau daya juang (adversity quotient). Jika persiapan informasi bisa dilakukan beberapa hari atau minggu sebelum berangkat, kesiapan mental harus jauh sebelum itu. Penyiapan mental bahkan merupakan pelajaran sepanjang hidup, mulai dari pra sekolah dari keluarga dan komunitas, sampai terus dewasa, kapanpun dan dimanapun.

Seseorang yang memiliki daya juang yang baik akan mudah memahami diri, mengenali perannya dan mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi kehidupan dengan berbagai perbedaan di rantau orang, sehingga dapat mengembangkan dirinya menuju ke arah pencapaian tingkatan yang lebih baik.

Dengan daya juang tinggi, seseorang tidak hanya bekerja sekedar untuk meneruskan hidup, tidak juga sekedar giat dan kerja keras semata untuk perbaikan hidup, tetapi berani memasuki segala tantangan dan mengubahnya menjadi peluang untuk mencapai yang terbaik dalam hidup. Daya juang ini juga bisa membuat seseorang bersikap bijak dalam memahami dan mengelola perbedaan-perbedaan agama dan budaya.

Bijak Saat di Rantau Orang

Salah satu sikap bijak yang diperlukan saat seseorang berada di rantau orang adalah memahami dan menerima perbedaan orang lain dan menjadikannya sebagai titik temu, titik gaul, dan titik persahabatan. Dalam Islam, seperti ditegaskan al-Qur’an (QS. Al-Hujurat, 49: 13), Allah Swt sengaja menciptakan perbedaan-perbedaan antara manusia ini sebagai wahana untuk saling mengenal dan saling kerjasama.

Siapa pun, manusia di dunia ini, pasti menginginkan kebaikan untuk dirinya. Karena itu, ia juga harus memperlakukan orang lain dengan baik. Jangan mengawali pergaulan dengan orang lain dalam lingkungan baru dengan tuntutan-tuntutan dari perspektif keyakinan kita sendiri. Mulailah kita memahami orang lain terlebih dahulu, agar kita mudah dipahami orang lain. Inilah sikap kesalingan yang biasa dikenal dengan istilah “aturan emas” atau the golden rule.

Dalam pergaulan di rantau orang, kita perlu mengembangkan dan mempraktikkan fiqh ikhtilaf dan fiqh sosial. Fikih ikhtilaf adalah prinsip-prinsip beragama berbasis keniscayaan perbedaan-perbedaan yang melekat dan hidup dalam kehidupan sosial. Diharapkan, dengan prinsip-prinsip ini, perbedaan agama dan keyakinan tidak menjadi pangkal konflik yang menghancurkan masing-masing pihak.

Prinsip-prinsip fiqh ikhtilaf adalah sebagai berikut: 1) Perbedaan adalah sesuatu yang sengaja diciptakan Allah Swt dan merupakan bagian dari sunnahNya (QS. 42: 8 dan 10: 19); 2) Keyakinan adalah persoalan pilihah hati masing-masing (QS. 64: 11, 5: 41 dan 6: 125); 3). Karena itu, proses interaksi antar agama dan keyakinan hanya bisa dilakukan dengan penyadaran dan dialog (QS. 16: 125); 4) Pemaksaan sama sekali tidak dibenarkan apalagi dengan kekerasan (QS. 2: 256 dan 10: 99-100; dan 5) Untuk memuluskan hal ini, maka klaim kebenaran hanya milik Allah Swt semata, dan penghakiman kebenaran hanya boleh dilakukan Dia semata (QS. 2: 113, 22: 68-69, dan 42: 10).

Sementara prinsip utama dari fikih sosial adalah norma dasar Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (QS. Al-Anbiya, 21: 107), atau rahmat bagai semesta alam, sehingga harus diwujudkan relasi kemanusiaan yang saling mengasihi, saling menolong, dan saling bekerjasama. Al-Qur’an juga menegaskan tentang pentingnya menjadi orang yang terbaik (khoiru ummah) yang selalu menghadirkan kebaikan (ma’ruf) dan menghindarkan segala keburukan (QS. Ali Imran, 3: 110).

Dengan prinsip-prinsip ini, daya juang seseorang ketika hidup di rantau orang bisa diasah dan ditingkatkan untuk menghadirkan segala kebaikan, baik untuk dirinya, bangsa, umat, maupun segenap manusia. Dia juga, tidak mudah terjebak pada paham-paham yang merusak, membunuh, dan menghancurkan. Semoga.

Daftar Pustaka :
1. Marzuki Wahid (dkk.), 2018, Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon, Cirebon: ISIF.
Ayomi Amindoni, 2017, “Buruh Migran Rentan Terkena Paham Radikal”, dalam: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40528552.
2. Muhammad Iqbal dan Anggit Verdaningrum, 2016, “Pengaruh Culture Shock dan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Kerja Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Hongkong”, Jurnal Kajian Wilayah, vol. 7, no. 2, 2016.
3. Ridwan Wahyudi, 2015, “Jimat, Kyai, dan Buruh Migran”, dalam: https://buruhmigran.or.id/2015/09/03/jimat-kyai-dan-buruh-migran/.
4. Faqihuddin Abdul Kodir (dkk.), 2006, Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, Cirebon: Fahmina Institute.

 

Sumber gambar: Pixabay

Tulisan ini ditandai dengan: Bijak Merantau Pekerja Migran Indonesia PMI 

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.