Pertanyaan
Ada Pekerja Migran Indonesia (PMI) perempuan yang memiliki masalah, PMI ini sudah menikah dan mempunyai anak. Di rumah hanya ada suami dan anaknya. Anak diasuh oleh nenek dari pihak suami. Sejak ditinggal istrinya ke Hong Kong, suami ini berhutang dan hutangnya ada di mana-mana tanpa sepengetahuan istrinya. Singkat cerita, suami ini meninggal dunia dan meninggalkan hutang dalam jumlah besar. Menurut Redaksi Buruh Migran, apakah istri wajib untuk membayar hutang suaminya? Apabila istri tidak membayar hutang, apakah bisa dituntut secara hukum? (SS di Blitar, Jawa Timur)
Jawaban
Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan melihat kondisi dari perkawinan tersebut. Dalam hal di perkawinan tersebut terdapat suatu akta pemisahan harta atau tidak. Dalam hal tidak memiliki akta pemisahan harta tersebut tentu sang istri/suami yang ditinggalkan perlu untuk menanggung utang tersebut, namun terbatas dengan harta bersama yang dimilikinya setelah terjadinya perkawinan. Namun perlu diingat pula, harus dipastikan bahwa perbuatan utang piutang tersebut dilaksanakan setelah adanya perkawinan. Di sisi lain dalam hal terdapat akta pemisahan harta yang telah dibuat dalam perkawinan, atau perbuatan hutang piutang tersebut dilakukan sebelum perkawinan, maka suami/istri tersebut tidak perlu untuk mempertanggungjawabkannya.
Selanjutnya akan diulas mengenai bagaimana hukum pewarisan yang ada di dalam hukum positif di Indonesia. Pada prinsipnya, pewarisan akan timbul ketika adanya kematian. Ketika seorang pewaris meninggal dunia, maka hak dan kewajiban pewaris akan beralih kepada ahli warisnya. Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa ahli waris dengan sendirinya karena hukum mendapatkan hak millik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Di sisi lain dalam Pasal 1100 KUHPerdata mengatur bahwa pewaris yang menerima warisan harus menangung pula utang yang dimiliki oleh pewaris. Namun permasalahannya terdapat kemungkinan bahwa hutang pewaris jauh melebihi harta pewaris. Artinya bahwa aset yang ada saat ini mungkin saja bahkan tidak cukup melunasi hutang pewaris. Oleh karena itu Pasal 1023 KUHPerdata mengatur :
“Barangsiapa memperoleh hak atas suatu warisan dan sekiranya ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan itu, agar dapat mempertimbangkan yang terbaik bagi kepentingan mereka, apakah menerima secara murni, ataukah menerima dengan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan itu, ataukah menolaknya, mempunyai hak untuk berpikir, dan harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka; pernyataan itu harus didaftarkan dalam daftar yang disediakan untuk itu.”
Merujuk pada pengaturan dalam KUHPerdata Pasal 1045 berbunyi: “Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya”. Ketentuan tersebut mengartikan bahwa sebenarnya tidak ada kewajiban ahli waris untuk menerima warisan dari pewaris atau di lain sisi penerimaan akan warisan dari pewaris merupakan hak dari ahli waris. Seorang ahli waris dapat memilih apakah dia akan menerima atau menolak warisan itu atau dengan cara lain, yakni menerima dengan ketentuan lain ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang orang yang meninggal yang melebihi bagiannya dalam warisan. Namun dalam hal terdapat penolakan warisan yang dilakukan oleh ahli waris haruslah dinyatakan secara tegas dimana dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berada di dalam daerah hukum warisan itu terbuka.[1] Selain itu penolakan akan warisan tidak dapat dilakukan hanya untuk sebagian harta warisan. Penolakan tersebut mengakibatkan orang yang menolak tidak pernah dianggap menjadi ahli waris.[2] Dengan demikian maka orang tersebut tidak berhak lagi atas harta warisan pewaris.
Pengaturan terhadap perkara pewarisan pada dasarnya dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri berdasarkan pengaturan dalam KUHPerdata atau secara adat menggunakan sistem hukum adat, ataupun di Pengadilan Agama berdasarkan hukum islam. Akan tetapi setelah lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berkaitan tentang kewenangan untuk adanya pilihan hukum tersebut dihapuskan. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Paragraf kedua Penjelasan Umum Undang-Undang No.3 Tahun 2006 yakni berbunyi:
““… kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.”
Dengan adanya ketentuan tersebut menyebabkan penyelesaian sengketa pewarisan bagi orang beragama Islam merupakan kewenangan absolut dari pengadilan agama dan diselesaikan berdasarkan hukum Islam. Di dalam hukum Islam, tidak dikenal adanya hak untuk menolak warisan, hal tersebut didasarkan pada asas ijbari yang mengandung arti bahwa peralihan harta waris dari pewaris kepada ahli warisnya akan berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.[3] Namun terdapat sebuah penyelesaian atas ketentuan tersebut yakni hakekat menolak waris menurut Hukum Islam adalah merupakan instrumen atau jalan si ahli waris untuk menyerahkan hak bagian waris atas harta peninggalan yang seharusnya ia terima kepada ahli waris yang lain. Di mana ahli waris tersebut dapat menyerahkan hak bagian warisnya setelah ia menyadari dan telah memiliki porsi bagiannya masing-masing. Dalam hal menolak warisan menurut hukum kewarisan Islam bahwa seorang ahli waris boleh saja tidak mau menerima harta warisan bukan dengan alasan ia ingin membebaskan diri dari hutang-hutang dan kewajiban pewaris, melainkan atas kemauannya sendiri saja, dengan alasan untuk menambah bagian kepada ahli waris yang lain, dengan jalan menyerahkan hak bagian warisnya yang seharusnya ia terima kepada ahli waris yang lain setelah ia menyadari porsi bagiannya dan telah memiliki harta warisan tersebut.
Di dalam harta waris yang akan diturunkan oleh pewaris kepada ahli warisnya tentu perlu diteliti secermat mungkin, sehingga tidak terdapat hak orang lain di dalamnya seperti hutang dan/atau wasiat yang dibuat oleh si pewaris. Hal tersebut juga sesuai dengan hadist Rasulullah yang diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah SAW. Menghindari kerugian atau mencegah kemudharatan lebih baik didahulukan daripada menerima keuntungan-keuntungan dan kenikmatan. Pembayaran hutang-hutang dianggap menghindari kerugian dan mencegah kemudharatan, sedangkan menerima warisan dianggap keuntungan dan menerima kenikmatan.[4] Selain itu didalam ketentuan pasal 171 huruf e Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Apabila disimpulkan, menurut ketentuan tersebut berarti pemenuhan kewajiban pewaris didahulukan sebelum harta warisan dibagikan kepada para ahli warisnya.
Oleh karena itu dalam hal ahli waris mendapat warisan yang didalamnya masih terkandung hutang, harus dibayarkan terlebih dahulu oleh ahli waris sepanjang harta warisan itu mencukupi untuk itu. Hal tersebut dikarenakan pembayaran hutang tidak boleh mendatangkan kemudaratan kepada ahli warisnya. Apabila harta warisan tersebut tidaklah mencukupi, maka tidak ada kewajiban hukum bagi ahli waris untuk membayarkan hutang tersebut. Kecuali apabila pembayaran hutang yang dilakukan oleh ahli waris tidak memberikan kemudaratan atau kerugian bagi para ahli waris.[5]
Penulis: Doni Laksita, S.H. – Notary Assistant di Notaris dan PPAT Lucky Suryo Wicaksono, S.H.,M.Kn.,M.H.
[1] Pasal 1057 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
[2] Pasal 1058 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
[3] Letzia Tobing, 2013, “Menolak Warisan Menurut Hukum Perdata Barat dan Hukum Islam”, Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/a/menolak-warisan-lt50de30cdc8292, diakses pada tanggal 01 Maret 2022.
[4] Ilyas, “Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Hutang Pewaris Berdasarkan Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. XIII, No. 55, hlm. 130
[5].Ibid.