Sore itu, Iyam duduk melamun di teras rumahnya. Gumpalan awan hitam menutupi langit sejak siang dan tak kunjung menjadi hujan. Awan hitam itu penuh dengan ketidakpastian, seperti kegundahan hati Iyam yang memikirkan suaminya di tanah rantau, Malaysia. Beberapa bulan ini, suaminya tak pernah memberi kabar.
Hatinya berkecamuk, beragam pertanyaan terus menggelayut di benaknya. Bagaimana keadaan suaminya di sana? Kenapa setiap kali Iyam telepon selalu masuk ke mailbox? Semua pertanyaan itu dia simpan dalam hati, Iyam hanya bisa berdoa semoga suaminya baik-baik saja.
“Mak…,” tiba-tiba panggilan itu menyadarkan Iyam dari lamunannya. Dengan suara tergagap, Iyam segera menyahut panggilan anaknya.
“Adek kenapa?” tanya Iyam kepada anak perempuan semata wayangnya.
“Kata Pak Guru, adek mesti melunasi uang SPP yang sudah menunggak tiga bulan,” kata anaknya.
“Emak belum ada duit, dek. Apa bisa Emak bayar pekan depan? Emak usahakan nanti minta ke ayahmu,”jawab Iyam lirih sambil tangannya meraih kepala anaknya, mengelus dan membenahi jilbabnya.
“Iya Mak. Nanti adek coba bilang sama pak guru. Adek pergi ngaji dulu ya. Assalamu’alaikum,” kata si Anak.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Iyam.
Percakapan singkat dengan anaknya, membuat Iyam semakin gundah. Dicarinya handphone merk Nokia lawas pemberian suaminya waktu cuti tahun lalu. Iyam mencoba menghubungi suaminya, kali ini tersambung, namun tidak ada jawaban. Dicobanya berulang kali, namun tetap tidak ada jawaban.
Pikiran Iyam menelusur entah kemana. Janji kepada anaknya untuk membayar tunggakan uang SPP, kini menambah beban pikirannya. Tabungannya dari hasil berjualan kue, tidak akan cukup untuk melunasinya. Sementara laki-laki di seberang sana yang menjadi tumpuan nasibnya tidak juga memberi kabar.
Azan Maghrib berkumandang menyadarkan lamunannya, cepat-cepat dia berwudhu dan melaksanakan salat Maghrib. Iyam hanya bisa berdoa agar dimudahkan rezekinya dan tak lupa mendoakan semoga sang suami di sana ingat akan diri dan keluarganya.
Malam semakin kelam, awan hitam semakin pekat, rintik-rintik hujan mulai membasahi tanah, angin dingin menusuk kulit sampai menusuk-nusuk jiwa. Ingin rasanya ditemani suami untuk meluapkan segala rindu dan kegundahan hati, sulit sekali mata terpejam dan terlelap menjemput mimpi. Iyam semakin terlena dengan kesunyiannya sambil memandangi gadis mungil berwajah lugu yang tidur lelap di sampingnya.
Iyam mencoba mencari kekuatannya agar tegar menjalani hidup. Diambilnya telepon lawasnya, mencoba menghubungi suaminya lagi. Talian berbunyi, sayup-sayup terdengar suara perempuan di ujung sana.
“Halo”
Dengan berat hati, Iyam pun menjawab, “Assalamualaikum mbak, bisa berbicara dengan Mas Pur?”
“Sudah malam, Mas Pur sudah tidur. Besok saja,” jawab perempuan itu dengan nada ketus.
“Kalau boleh tahu, mbak ini siapanya Mas Pur?” tanya Iyam dengan nada penasaran
Tuuut…tuuuuut….tuuuuttt…. Sambungan telepon terputus.
Air mata Iyam menetes, tanpa sadar pipinya basah. Terasa sesak dadanya, tak kuasa menahan, Iyam pun menangis sejadinya, seolah hati yang retak remuk sudah.
“Mak… Kenapa Emak menangis?” Anaknya terbangun, lalu bertanya sambil memeluk Iyam. Kain sarung yang menjadi selimut anaknya setiap tidur, diusapkannya ke wajah Iyam, mencoba menyapu air mata yang penuh dengan tanda tanya.
“Maaf, emak sudah membuat adek bangun,” jawab Iyam dengan isaknya.
“Emak kenapa? Jangan sedih ya mak? Ada adek di sini?” kata si anak.
“Emak nggak kenapa-kenapa, emak cuma terharu dan bangga punya adek yang penurut dan sayang emak. Adek tidur lagi ya,” kata Iyam.
“Iya mak,” jawab si anak.
Sesaat kemudian anaknya sudah kembali terlelap dalam tidur. Sementara Iyam, hatinya masih terus berkecamuk. Matanya nyalang, otot tangannya mengencang, dia cekam kasur yang sudah hampir satu tahun tidak pernah dihangatkan oleh suaminya.
“Sialan! Kenapa dulu aku izinkan dia pergi.”