Sejumlah organisasi, lembaga, maupun komunitas yang bekerja melakukan pelindungan dan penanganan kasus pekerja migran Indonesia (PMI) memiliki keterbatasan baik kapasitas maupun lingkup kerjanya. Keterbatasan ini juga disadari masing-masing organisasi, termasuk kebutuhan untuk saling berjejaring dalam melakukan kerja-kerja pelindungan PMI dan penanganan kasus baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional (negara tujuan).
Kesadaran akan pentingnya saling berjejaring dalam penanganan kasus juga diakui sejumlah organisasi yang hadir dalam acara workshop “Advokasi Hak Pekerja Migran dan Organisasi Pembelanya”. Acara yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta ini dilaksanakan pada Sabtu-Minggu (1-2/12/2018) di Magelang. Selain dihadiri beberapa perwakilan dari Infest Yogyakarta sebagai penyelenggara, workshop ini juga dihadiri perwakilan Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI), Dewan Pengurus nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (DPN SBMI), Human Rights Working Group (HRWG), Justice Without Borders (JWB), Komunikasi Organisasi Migran Indonesia (KOMI) Johor Bahru Malaysia, Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Blitar, Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Ponorogo, Komunitas Serantau Kuala Lumpur Malaysia, Lakpesdam NU Cilacap, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Migrant Aid, SBMI Banyuwangi, Solidaritas Perempuan (SP) Jakarta, dan UN Women.
Berkumpulnya sejumlah organisasi peduli pekerja migran semakin menegaskan akan kebutuhan saling berjejaring dalam penanganan kasus. Artinya bahwa saat ini bukan saatnya lagi sesama organisasi saling berebut kasus dalam penanganan kasus, namun saling berkoordinasi dan berbagi peran. Pengalaman berjejaring dan berkolaborasi dalam penanganan kasus juga dirasakan oleh Sri Aryani (Ary), Head of Office JWB Indonesia. Menurut Ary, kerja penanganan kasus yang dilakukan JWB bukan hanya bekerjasama dengan organisasi serikat pekerja migran, namun kerjasama dengan lebih dari 10 pengacara di negara-negara penempatan untuk menangani kasus-kasus terkait pekerja migran. Bekerjasama dengan organisasi serikat pekerja migran juga mempercepat penanganan kasus PMI.
Jangan Hanya Menjadi “Pemadam Kebakaran”
Selain JWB yang bekerja di lingkup Indonesia dan negara tujuan Singapura dan Hong Kong, organisasi dan komunitas lain di lingkup daerah juga memiliki pengalaman tersendiri dalam berjejaring menangani kasus PMI. Meskipun faktanya, sampai saat di kalangan komunitas pekerja migran di daerah masih terkendala akses informasi terkait perkembangan regulasi terkait pelindungan pekerja migran, terutama Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan UU (UU PPMI) beserta aturan turunannya.
Menurut Hariyanto, Ketua Dewan Pengurus Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (DPN SBMI), ada 3 (tiga) poin terkait perkembangan regulasi dan isu terkini yang perlu diketahui bersama. Pertama, situasi perkembangan regulasi regional, nasional, dan daerah; Kedua, mendiskusikan kasus apa yang sebanarnya terjadi, apakah sejak dulu sama dengan saat ini? Apakah memang harus seperti itu; Ketiga, terkait dengan isu yang sering dialami pekerja migran. Terkait regulasi, Hariyanto membahas tentang substansi perubahan UU PPMI, khususnya terkait mandat pelindungan yang harus dilakukan oleh daerah dan desa.
“Kita belajar bersama apa saja yang dimandatkan di desa maupun daerah. Level nasional ini hanya sebagai koordinator. Kita harus seriusi bersama, mulai dari daerah dulu. Apalagi sekarang ada mandatori khusus ke pemerintah desa. Artinya ini juga harus sudah dibicarakan dengan komunitas di desa,” papar Hariyanto.
Lebih lanjut, Hariyanto juga membahas terkait kendala implementasi regulasi dari UU PPMI No.18 tahun 2017. Sampai saat ini menurutnya belum ada aturan teknis terkait pelaksanaannya. Selain itu, menurutnya pemerintah diwajibkan untuk melakukan penyusunan aturan turunan dari UU PPMI tersebut. Apakah UU tersebut isinya dapat mengakomodir kepentingan pekerja migran? Selain mengawal proses implementasi UU PPMI dan aturan turunannnya, peran komunitas di daerah juga penting terlibat dalam advokasi di setiap level, salah satunya merekomendasikan peran-peran daerah, misalnya dalam meningkatkan fungsi dan peran layanan terpadu satu atap (LTSA).
Pelindungan dari hulu (desa) juga menjadi pembahasan serius di forum workshop ini, termasuk munculnya UU Nomor 6 tentang Desa Tahun 2014, serta sekian tantangan komunitas yang melakukan kerja-kerja pelindungan dan penanganan kasus PMI di desa. Hal penting lainnya yang juga perlu dikawal adalah tentang pendidikan pre-departure atau sebelum keberangkatan bagi PMI.
“Kita (jaringan komunitas pekerja migran) jangan hanya jadi “pemadam kebakaran”, kita lihat akar masalahnya di mana. Jangan melakukan pananganan jika ada kasus saja, lalu terjadi kasus berikutnya lagi, dan menyelesaikan kasus hanya satu per satu,” tegas Hariyanto.
Merumuskan Arah Kebijakan Advokasi, Konsolidasi, hingga Berbagi Peran
Proses diskusi dalam workshop “Advokasi Hak Pekerja Migran dan Organisasi Pembelanya” difasilitasi oleh Irsyadul Ibad (Ibad), Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta, bukan sekadar berkumpul dan mengidentifikasi isu-isu terkini mengenai pelanggaran hak-hak pekerja migran. Lebih dari itu, peserta juga merinci kelembagaan pemerintah yang kendur dan rendah dalam pelayanan pelindungan kepada pekerja migran. Selain itu, peserta juga merumuskan arah advokasi kebijakan atas pelanggaran-pelanggaran hak yang dialami oleh pekerja migran, serta konsolidasi organisasi-organisasi yang fokus terhadap hak-hak pekerja migran.
Menurut Ibad, beberapa agenda penting jaringan saat ini di antaranya adalah memperkuat peran komunitas, mempertemukan komunitas dengan komunitas, serta memperkuat peran komunitas. Sebelumnya di beberapa sesi, Ibad juga mengajak peserta mendiskusikan tentang penanganan hukum dan kebijakan perlindungan di semua level. Serta, memetakan kapasitas dan lingkup kerja organisasi.
“Mengingat begitu berat tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran dan anggota keluarganya untuk mendapatkan hak yang layak dari negara, di sisi lain organisasi yang mengadvokasi hak pekerja migran juga mengalami tantangan yang serupa. Maka, upaya yang dilakukan oleh organisasi pembela hak pekerja migran juga perlu diadvokasi. Advokasi yang dimaksud yakni dengan menyegarkan kembali jiwa dan raga para pembela hak yang selama ini berjuang untuk keadilan dan kesetaraan pekerja migran. Infest bersama jaringan organisasi yang fokus pada hak-hak PMI penting untuk menyusun rekomendasi bersama mengenai langkah advokasi ke depan untuk perlindungan PMI yang lebih baik,” jelas Ibad.
Kebersamaan peserta workshop berlanjut di kegiatan hari kedua yaitu mengikuti olah raga arum jeram (rafting) bersama-sama di sungai Elo, Magelang.