(Bahasa Indonesia) Dialog Perlindungan Buruh Migran Bersama Menlu

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi Menerima Usulan Perlindungan Buruh Migran
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi Menerima Usulan Perlindungan Buruh Migran dari Masyarakat Sipil

Jakarta–Paska penetapan UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), masing-masing kementerian/lembaga mulai menyelelaraskan fungsinya masing-masing berdasarkan kewenangannya yang melekat dalam ketentuan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri, dalam memantabkan tugas pokok dan fungsinya,mereka melibatkan masyarakat sipil dalam menyusun strategi perlindungan bagi buruh mig ran yang berlangsung pada Senin, 5 Maret 2018 di Kantin Diplomasi, Kompleks Kementerian Luar Negeri. Beberapa masyarakat sipil yang gencar mengkampenyekan perlindungan buruh migran turut hadir, seperti Human Rights Working Group (HRWG), Institute of Ecosoc Rights, INFEST Yogyakarta, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Migrant Care, Migrant Institute, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) dan Solidaritas Perempuan.

“Kita akan lebih banyak mendengar dari para pegiat, sehingga upaya perlindungan bagi pekerja migran akan lebih mantab dijalankan oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan visi pertama dalam Nawacita Presiden Joko Widodo,” ungkap Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengawali dialog tersebut.

Kesempatan penyampaian pendapat diawali SBMI, yang disampaikan oleh Hariyanto. SBMI menyoroti tantangan perlindungan bagi buruh  migran ke depan pada sektor Anak Buah Kapal (ABK). Terlebih lagi, peraturan pelaksana atas UU PPMI harus diselesaikan dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Lagipula, tumpang tindih kewenangan antara kementerian/lembaga belum juga tuntas hingga sekarang, khususnya untuk perijinan perusahaan perekrutan. Hal senada juga disampaikan SPPI, bahwa pemerintah harus memiliki pakar yang kompeten dan bijak dalam mengurai permasalahan ABK migran yang akhir-akhir ini marak terjadi.

Kemudian permasalahan dari dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan penghentian penempatan untuk sektor pekerja rumah tangga (PRT) migran di negara-negara Timur Tengah, yang dibeberkan oleh Migrant Care melalui Wahyu Susilo. Pihaknya menilai bahwa negara dalam hal ini telah melanggar hak warganya untuk bebas bergerak dan memperoleh pekerjaan yang layak. Kelalaian terjadi ketika pemerintah tidak menyiapkan exit strategy, di mana hal itu berarti kebijakan tersebut harus disertai dengan kebijakan lanjutan yang bertujuan untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan kentungan atas kebijakan tersebut. Tapi yang terjadi saat ini, akibat daripada itu, banyak buruh migran yang terjebak dalam perdagangan orang dan penyelundupan manusia ke Timur Tengah.

Di sisi lainnya, isu radikalisme juga berpotensi mendera buruh migran di negara tujuan penempatan. Terlebih lagi, saat ini merupakan tahun politik. Untuk itu perlunya antisipasi bersama-sama agar tidak terjadi disintegrasi bangsa yang pada akhirnya merugikan semua pihak.

HRWG melalui Awigra memberikan komentarnya mengenai ASEAN Konsensus Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran yang baru-baru ini disahkan oleh negara-negara ASEAN. Berkenaan dengan hal tersebut, masih ada upaya yang perlu didesakkan kepada negara-negara ASEAN terkait dengan isu-isu yang tidak diatur di dalam ASEAN Konsensus. Adapun isu tersebut meliputi kerja layak, perlindungan sosial, perdagangan orang, dan perlindungan buruh migran tidak berdokumen. Strategi itu sebaiknya dimasukkan ke dalam rencana aksi regional sebagai alternatifnya.

Sementara itu, hak pendidikan bagi anak-anak buruh migran di negara tujuan menjadi sorotan INFEST Yogyakarta yang disampaikan oleh Ridwan Wahyudi. Dalam hal ini anak-anak buruh migran di Malaysia khususnya di wilayah semanjung yang belum memperoleh akses layanan dasar itu. Di sisi lain, akses kepada layanan dasar kesehatan bagi buruh migran tidak berdokumen juga masih menjadi tantangan ke depan. Ketika buruh migran menjadi tidak berdokumen, layanan terhadap akses sosial dasar dengan serta merta akan tercabut. Terlebih lagi, mereka mesti membayar dengan biaya sangat mahal sebagai bentuk jaminan sebelum layanan kesehatan diberikan kepada buruh migran tidak berdokumen. Ini tentu saja tak sebanding dengan kontribusi yang diberikan buruh migran kepada negara tujuan penempatan. Lagipula, menjadi buruh migran tidak berdokumen bukanlah sepenuhnya kesalahan buruh migran, tapi lebih kepada sistem migrasi ketenagakerjaan yang belum membaik antara negara tujuan dan negara asal.

Di akhir pernyataannya, respon dari Retno Marsudi akan selalu menggelar diskusi secara rutin bersama masyarakat sipi untuk menyeleraskan pandangan bersama-sama untuk mewujudkan perlindungan bagi buruh migran. Selain itu, ia juga meminta kerja-kerja masyarakat sipil untuk mendesak masyarakat sipil negara tujuan penempatan dalam mewujudkan perlindungan buruh migran di negara tujuan penempatan. Selain itu, hal yang tak kalah penting harus dipahami oleh buruh migran berkenaan dengan hukum negara tujuan penempatan. “Buruh migran harus mentaati dan menghormati hukum dan kebiasaan negara setempat,” tutupnya.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.