Projek Dialog memprakarsai forum diskusi dengan tema ”Apa yang rakyat Malaysia perlu tahu tentang pekerja migran di Malaysia.” Bertempat di kantor The Malaysian Centre for Constitutionalism and Human Rights (MCCHR) di Jalan Pantai, Kuala Lumpur (31/10/2016). Forum ini dimulai dengan ulasan oleh ahli panel yaitu Adrian dari North South Inisiative (NSI) yang merupakan NGO di Malaysia, Luela dari Sentro (Persatuan Pekerja Philipina), Nasrikah dari Komunitas Serantau (Komunitas Pekerja Indonesia) dan juga perwakilan dari pekerja Cambodia.
Adrian menginformasikan tentang koalisi menuntut hak pekerja migran di Malaysia yang sudah berlangsung empat putaran. Ia juga memaparkan berapa banyak kontribusi para pekerja migran terhadap ekonomi Malaysia.
“Forum seperti ini penting sebagai upaya memperkenalkan dan juga mencerahkan pemahaman kepada penduduk Malaysia tentang hak dan keberadaan pekerja migran di Malaysia. Selama ini suara mereka jarang didengar, hambatan dan kesulitan mereka selama mereka di Malaysia untuk mencari rezeki sering diabaikan,” tutur Adrian
Sesi berikutnya, Nasrikah memaparkan tentang kondisi dan juga permasalahan pekerja Indonesia di Malaysia dari pelbagai sektor diantaranya:
-
Jam kerja yang berlebihan. Masih banyak pekerja migran yang bekerja 12-14 jam sehari. Kondisi ini bisa mengakibatkan pekerja terlalu capek dan banyak kasus dilaporkan bahwa pekerja meninggal ketika tidur.
-
Tidak ada hari libur. Meskipun perjanjian kerja dinyatakan 1 hari libur dalam seminggu, namun dalam praktiknya masih banyak majikan yang tidak mengizinkan pekerja migran untuk libur dengan pelbagai alasan (takut pekerja lari dan karena isu keselamatan).
-
Kurangnya perlindungan sosial. Pekerja migran masih minim utuk mendapatkan asuransi dan perawatan kesehatan.
-
Adanya diskriminasi gaji. Standard gaji pekerja di Malaysia dibedakan berdasarkan asal negaranya. Sebagai sesama pekerja domestik, gaji pekerja migran Philipina minimal USD400/rbulan, sementara pekerja dari Indonesia masih ada yang RM 700/bulan.
-
Overcharging. Biaya penempatan yang mahal membuat majikan harus membayar biaya yang cukup mahal untuk mendapatkan seorang pekerja, ini yang menyebabkan majikan menganggap telah membeli pekerja tersebut dan akan memperlakukan pekerja seperti budak.
-
Ditukar dari majikan satu ke majikan yang lain. Banyak agen di Malaysia yang merangkap sebagai majikan dengan cara mempekerjakan pekerja domestik menjadi cleaning service dari rumah ke rumah. Sedangkan agen mengambil upah dengan bayaran RM 20/jam namun hanya memberikan gaji sebesar RM 700/bulan.
-
Fasilitas yang tidak layak. Kondisi hostel yang tidak layak untuk pekerja migran, seperti dikawasan konstruksi dengan lokasi yang berisik, berdebu, tidak ada toilet standar, ruangan yang sempit dan panas.
-
Kurangnya fasilitas kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Sering kita mendapatkan laporan pekerja jatuh dari bangunan, dengan angka kematian yang cukup tinggi, namun belum ada antisipasi yang cukup untuk kondisi tersebut.
-
Tempat kerja yang kotor, bahaya dan sulit. Kebanyakan pekerja migran bekerja di sektor yang kondisinya kotor, berbahaya dan sulit yang pekerja lokal tidak mau mengerjakannya.
-
Pekerja migran dilarang untuk berorganisasi. Kondisi ini mengakibatkan permasalahan buruh migran menumpuk karena pekerja migran tidak mengetahui apa hak-haknya dan jika mengalami permasalahan hendak mengadu kepada siapa.
-
Hilangnya hak untuk membawa ahli keluarga termasuk dilarang untuk hamil. Sebelum pekerja memasuki Malaysia mereka wajib menandatangani perjanjian kerja yang didalamnya tidak diperbolehkan untuk berorganisasi dan juga menikah baik dengan penduduk lokal ataupun sesama pekerja. Kondisi ini menyebabkan rusaknya institusi keluarga, banyak anak yang terlantar dan juga naiknya jumlah perceraian.
-
Biaya untuk kesehatan sangat mahal. Pekerja migran harus membayar 200% lebih tinggi daripada penduduk lokal.
-
Pekerja migran menjadi obyek kriminalisasi oleh pihak berwenang (polisi). Pekerja migran sangat rentan dimanipulasi oleh pihak berwenang dan kondisi yang korup.
-
Kurangnya akses informasi tentang ketenagakerjaan dan hak. Banyak pekerja migran tidak mengetahui hak-haknya, bagaimana mereka membuat aduan jika mengalami permasalahan ditempat kerja karena akses informasi sangat terbatas dan tidak menyebar.
Sesi selanjutnya, Luela menyampaikan tentang kondisi pekerja Philipina yang mayoritasnya adalah pekerja domestik yang tidak mendapatkan hari libur. Selain itu ia juga menyampaikan jika bekerja di Malaysia susah karena status pekerja domestik masih sebagai servant bukan sebagai pekerja. Perwakilan dari pekerja Kamboja memaparkan tentang perlakuan majikan yang selalu memanipulasi gaji pekerja dengan memotong gaji pekerja secara tidak rasional. Fasilitas juga tidak layak seperti toilet yang tidak ada pintu, hostel yang dihuni oleh 16 orang hanya dengan satu toilet.
Peserta yang hadir dalam acara tersebut terdiri dari wartawan, pelajar, penduduk Malaysia dan penulis bebas yang kebanyakan tidak mengetahui seluk beluk tentang pekerja migran.
“Kenapa acara ini tidak ada dipaparkan di media masa lokal, sehingga mereka bisa menyaksikan berbagai persoalan pekerja migram. Di Malaysia sendiri sering terjadi pekerja migran mengalami kecelakaan kerja jatuh dari tingkat tinggi,” tanya seorang mahasiswa. Walaupun angka kematian pekerja migran cukup tinggi namun belum ada media masa lokal yang memuat berita tersebut.