News

(Bahasa Indonesia) Koalisi Menuntut Keadilan: Menuju Perlindungan Buruh Migran yang Komprehensif

Author

Sorry, this entry is only available in Indonesian.

Pertemuan Meja Bundar Kedua, Gedung Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Administrasi Universiti Malaya
Pertemuan Meja Bundar Kedua, Gedung Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Administrasi Universiti Malaya

Kuala Lumpur—Koalisi menuntut keadilan bagi buruh migran di Malaysia telah memasuki sesi kedua. Sedikitnya terdapat 50 delegasi yang menghadiri pertemuan tersebut, terdiri dari perwakilan buruh migran, masyarakat sipil, serikat buruh, federasi pengusaha, akademisi, pemerintah perwakilan, pemerintah Malaysia dan organisasi internasional. Sesi kedua pertemuan meja bundar ini dilaksanakan di Gedung Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Adminstrasi Universti Malaya pada hari Kamis, (8/09/2016). Pertemuan mendiskusikan tiga isu krusial yang seringkali dialami oleh buruh migran di Malaysia, yaitu mekanisme pengaduan, status tidak berdokumen, penangkapan dan penahanan buruh migran di rumah detensi imigrasi.

Sesi pertama pada pertemuan tersebut disampaikan oleh Nasrikah yang merupakan salah satu buruh migran dari Indonesia. Nasrikah menyoroti mengenai pentingnya buruh migran memegang paspornya sendiri. Ia meyakini bahwa buruh migran pasti bisa menjaga dokumen tersebut dengan aman.

“Ketika buruh migran tidak memegang dokumen asli, kondisi ini merupakan celah bagi oknum untuk memeras buruh migran,” ujarnya.

Nasrikah mengharapkan akan reaksi cepat kantor perwakilan dalam merespon setiap pengaduan buruh migran tanpa kecuali, baik itu yang berdokumen maupun yang tidak berdokumen. Selain itu ia juga meminta kantor perwakilan juga buka pada hari Minggu. Rekomendasi ini disampaikan karena majikan membuat peraturan yang ketat jika buruh migran tidak bekerja pada hari biasa. Majikan akan tega memotong gaji buruh migran meskipun dalam urusan perpanjangan paspor di kantor perwakilan. Dalam konteks ini, Nasrikah juga meminta kantor perwakilan menyediakan bantuan hukum kepada warganya tanpa terkecuali.

Selanjutnya, Nasrikah merekomendasikan untuk menghentikan praktik korup antara oknum penegak hukum. Praktik korup sangat merugikan semua pihak, apalagi imigrasi juga menggelar razia sesukanya kepada buruh migran.

“Kalau memang ingin menertibkan, sebaiknya razia dilakukan pada siang hari, sehingga majikan juga ikut ditindak karena telah mempekerjakan migran tidak berdokumen,” ujar Nasrikah menutup sesinya.

Hampir sama dengan Nasrikah, perwakilan koalisi akses menuntut keadilan yang diwakili oleh Fajar Santoadi dari Tenaganita, menyampaikan mengenai pentingnya evaluasi program pengampunan 6P dan 3P yang telah digurlirkan oleh pemerintah yang menunjuk perusahaan swasta. Sementara di sisi lain juga disampaikan perlu penerjemah ketika buruh migran mengalami masalah hukum ketika di pengadilan. “Malah parahnya lagi, ada beberapa kantor perwakilan yang tidak menyediakan bantuan hukum bagi warganya,” tukas Fajar.

James dari kantor pembangunan manusia Penang menyatakan dengan keras bahwa rumah detensi imigrasi sangat tidak manusiawi. Selain kapasitasnya yang penuh, penyakit amat mudah dijumpai. Situasi ini membuat pesakit memerlukan proses penyembuhan yang lama bagi penghuninya karena kediaman yang tidak sehat. Ia juga mengkritik program pengampunan yang sewaktu-waktu digulirkan oleh kerajaan Malaysia.

“Program pengampunan selama ini tidak akuntabel terhadap praktik korup, kotor dan tercela,” tegas James yang sebelumnya merupakan komisioner SUHAKAM (KomnasHAM-nya Malaysia).

Dalam merespon rekomendasi dari perwakilan buruh migran dan masyarakat sipil, Kementrian Sumber Manusia Malaysia (KSM) melalui Mohd Shobrin Jeffrey, menyatakan bahwa semua pengaduan telah direspon dengan baik oleh Kantor Tenaga Kerja, seperti sengketa hubungan industrial, mahkamah buruh dan pelayanan lainnya telah merespon dengan baik setiap pengaduan buruh migran. Sementara itu, Shamsul dari kantor Imigrasi Malaysia menyatakan bahwa berdasarkan peraturan Akta Paspor, majikan dilarang membawa paspor milik buruh migran.

Senada dengan hal tersebut, Goh Seng Wing dari Federasi Majikan Malaysia (MEF), berpendapat bahwa pihaknya tidak melarang buruh migran untuk berserikat dan berorganisasi. Selanjutnya, beliau memberikan alasan ingin agar dokumen buruh migran itu aman dan tidak disalahgunakan ketika pihak majikan membawa dokumen asli milik buruh migran. Majikan telah mengeluarkan biaya yang besar untuk merekrut dan melatih buruh migran. Dalam konteks ini, bukan berarti majikan tidak patuh pada peraturan, tapi menjalankan kepuasan konsumen.

“Kita diaudit oleh konsumen dalam aktivitas produksi kita. Proses audit juga menekankan mengenai kelayakan pekerja dan perlakuan kepada pekerja secara manusiawi,” tutur Goh.

KBRI Kuala Lumpur lewat Judha Nugraha, melempar kritik tajam pada pertemuan tersebut. Selama penegakkan hukum yang lemah dan majikan tetap mempekerjakan buruh migran tidak berdokumen, masalah buruh migran tidak berdokumen tidak akan selesai. Program 6P dan 3P bukanlah penyelesaian dari persoalan ini. Jika majikan benar-benar ditindak, Judha meyakini buruh migran tidak berdokumen juga enggan masuk ke Malaysia secara tidak prosedural karena mereka akan sulit memperoleh pekerjaan.

“Sejauh ini tidak pernah ada majikan yang dihukum karena mempekerjakan buruh migran tidak berdokumen. Padahal ancamannya berat menurut Akta Imigrasi Malaysia, didenda tidak lebih dari RM 50,000, dipenjara kurang dari 1 tahun dan dicambuk 6 kali sebatan,” tukas Judha.

Sementara kantor perwakilan Myanmar, Zay Yai Min, mengakui banyak warganya yang berstatus sebagai pengungsi namun bekerja di Malaysia. Sementara di sini lain mereka tidak ingin pulang ke Myanmar. Senada dengan hal tersebut, Cooper dari UNHCR sedang mengupayakan dan meminta kepada kerajaan Malaysia agar para pengungsi dari Myanmar diperbolehkan untuk bekerja di Malaysia. “Kemudahan ini akan mengurangi angka kriminalitas dan setelah mereka memperoleh uang, dapat digunakan untuk pulang ke negaranya,” kata Cooper.

Rranee dari koalisi menegaskan bahwa banyaknya buruh migran tidak berdokumen karena mereka sangat sulit mendapatkan akses keadilan. Apalagi kondisi lingkungan yang menekan mereka, hal itu membuat mereka enggan melapor dan mengadukan permasalahannya.

Persoalan biaya yang tinggi di dalam migrasi harus dikurangi. Dengan demikian, banyak migran selanjutnya memilih menjadi tidak berdokumen karena harus menanggung biaya tinggi itu.

“Penempatan G to G diharapkan dapat mengurangi beban buruh migran dan menjadi solusi untuk mengatasi buruh migran tidak berdokumen,” ungkap Chan Chee Khoon, akademisi dari Universiti Malaya.

Dalam menyikapi forum tersebut, tidak sepatutnya kita menyalahkan pihak satu ke pihak lainnya atau agensi satu ke agensi lainnya dan mengklaim yang paling benar atas tindakannya. Padahal sebenarnya masing-masing telah mengetahui permasalahannya. “Menyatukan political will antara pihak, itu yang paling sulit,” tutup Afeza dari KSM.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.