Setahun sudah moratorium penempatan pekerja rumah tangga (PRT) kepada 21 negara tujuan yang telah digulirkan oleh pemerintah. Terbaru, malah pemerintah telah mengumumkan pada tanggal 26 Mei 2016 lalu melalui Kepmennaker nomor 260 tahun 2015 bahwa pada 1 Juli 2016 merupakan permulaan dari penghentian penempatan pengguna perseorangan (PRT migran) kepada 19 negara-negara Timur Tengah. Kebijakan ini juga sebagai preseden roadmap kebijakan zero PRT 2017. Melihatnya, kebijakan moratorium dan zero PRT 2017 merupakan dua sisi yang berbeda. Perlu dipisahkan dalam menganalisis implikasi dan kompleksitasnya bagi PRT migran pada masa mendatang.
Bagi kebanyakan buruh migran, kebijakan ini direspon cukup gaduh oleh buruh migran di negara tujuan. Apalagi yang berkaitan dengan eksistensi pekerjaan mereka. Pelbagai kemelut pertanyaan dan bahkan penghakiman ditujukan kepada rezim saat ini.
Apakah dengan menghentikan penempatan PRT migran ke luar negeri akan mengurangi permasalahan bagi buruh migran? Apakah dengan kebijakan zero PRT 2017 merupakan solusi atas kemelut penempatan PRT migran ke luar negeri? Melalui artikel pendek ini penulis bertujuan untuk menguraikan implikasi moratorium penempatan PRT migran ke luar negeri dan kritik ke atas kebijakan zero PRT 2017.
Kebijakan Kontra-produktif
Pemerintah rupanya masih sulit membedakan antara perlindungan atau pembatasan dalam konteks PRT migran saat ini. Kebijakan moratorium penempatan PRT migran untuk menyambut Zero PRT pada 2017 dapat dinilai sebagai bentuk kontrol dan represi atas aliran PRT migran ke luar negeri. Pesan yang sebenarnya ingin disampaikan bahwa pemerintah sebenarnya tidak mampu memberikan perlindungan kepada PRT migran. Di sisi lain, pemerintah juga tidak mampu menyediakan pekerjaan di negeri sendiri. Malah aliran migrasi tenaga kerja disumbat, tanpa ada kebijakan cermat dan cepat yang menggantikannya.
Menurut data dari BNP2TKI, sebanyak 19.029 kasus telah dilaporkan dari semua debarkasi buruh migran di seluruh Indonesia pada tahun 2015. Sedangkan buruh migran pada tahun yang sama ialah 114.796. Dengan kata lain, 16% buruh migran mengalami masalah pada tahun tersebut. Tidak disebutkan banyaknya kasus pada sektor pekerjaan di dalam data tersebut. Namun jika diidentifikasi dari jenis masalahnya, dapat dipastikan kebanyakan adalah jenis pekerjaanyang biasa dikerjakan oleh PRT migran.
Di sisi lain, pemerintah selalu menyatakan bahwa negara tujuan yang diberlakukan moratorium belum mengatur kondisi ketenagakerjaan bagi PRT migran sebagaimana mestinya. Namun, tidak serta merta praktik migrasi diberhentikan secara sepihak oleh pemerintah. Padahal migrasi telah berlangsung lama. Mengapa tidak dari dulu penempatan kepada negara-negara tersebut dilarang jika kepentingannya untuk melindungi? Malah menggantung tanpa melakukan upaya diplomasi untuk kepentingan perlindungan bersama.
Jika tujuan pemerintah ingin meningkatkan posisi tawar migran, tidak semestinya dengan menghentikan dan membatasi seseorang untuk bekerja ke luar negeri. Selain pemerintah telah melanggar konstitusi mengenai kebebasan bergerak individu, kebijakan moratorium ini akan semakin meningkatkan praktik migrasi tidak prosedural dan perdagangan orang. Implikasi dari moratorium malah semakin maraknya tindakan perdagangan orang.
Penafsiran yang Kurang Bijak dari Sebuah Agenda Global
Seperti yang telah disosialisasikan sejak era Menteri Ketenagakerjaan Muhaimin Iskandar bahwa ke depan tidak akan ada lagi jenis pekerjaan PRT. Pekerjaan PRT akan dikategorikan berdasarkan spesialisasi pekerjaan. Seperti pekerjaan pengasuh bayi, memasak, perawat kebun, perawat lansia, sopir dan jenis-jenis pekerjaan di dalam rumah lainnya.
Wacana ini bukanlah hal yang baru. Seperti pada konferensi ke-104 perburuhan dunia (International Labour Conference/ILC) pada tahun 2014 yang lalu. ILC mengangkat tema formalisasi ekonomi dari informal kepada formal ekonomi, di mana PRT dikategorikan sebagai jenis informal ekonomi/pekerjaan. Spesifikasi ketenagakerjaan tertentu menggiring calon pekerja mencari dan memperoleh bukti bahwa ia telah memiliki kualifikasi atas pekerjaan tersebut. Bukti yang paling lazim adalah sertifikasi dari pihak yang berwenang bahwa ia telah layak dan lolos kualifikasi.
Dengan jenis pekerjaan berdasarkan kategori tertentu, pasti akan banyak lembaga penjamin mutu atau sertifikasi yang akan mengesahkan profesionalisme pekerjaan tersebut. Konskuensinya adalah akan semakin banyak orang yang berusaha mendapatkan sertifikasi kualifikasi tersebut. Semakin banyak lagi administrasi ketenagakerjaan yang dibebankan bagi PRT migran sebelum berangkat ke luar negeri. Jika hal ini tidak diketahui oleh mereka, dampaknya adalah penipuan, pemerasan dan pemalsuan akan semakin merajalela. Padahal kebijakan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) saja masih menyisakan permasalahan yang dihadapi oleh para migran hingga saat ini.
Jika kebijakan Zero PRT yang akan digulirkan pada masa mendatang berimplikasi kepada biaya penempatan yang tinggi dan mesti ditanggung oleh PRT migran. Konskuensinya ialah akan semakin banyak migrasi mandiri yang akan dilakukan oleh PRT migran. Meskipun penempatan secara mandiri tidak dilarang oleh UU 39 tahun 2004. Tapi praktinya sangat sulit bagi para migran mandiri untuk melaluinya. Jika calon migran telah mendapatkan majikannya sendiri dan melakukan proses negosiasi atas ketenagakerjaan dan gaji yang akan diterimanya, mereka akan dirujuk agar menggunakan jalur Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Akibatnya, calon migran harus membayar biaya penempatan kepada PPTKIS.
Ini merupakan praktik pemerasan yang nyata. Tidaklah bisa disebut sebagai perlindungan sementara PPTKIS juga tidak pernah memantau dan mengevaluasi migran yang ditempatkannya. Jika tidak melalui jalur PPTKIS, migran tersebut akan dianggap sebagai tidak procedural dan illegal.
Tidak Ada Pengakuan ke atas PRT dan PRT Migran
Kebijakan zero PRT tidak lagi dimaknai sebagai pekerjaan dengan segudang aktivitas rumah tangga, tapi spesifik berdasarkan keahliaan dan kemahiran yang dimiliki oleh pekerja. Situasi tersebut sebenarnya bukanlah fenomena baru di negara tujuan buruh migran. Pasar kerja buruh migran telah mengkondisikan dan menarik situasi ketenagakerjaan kepada spesifikasi pekerjaan tertentu. Majikan semakin sadar bahwa tidak mungkin semua aktivitas bisa dikerjakan oleh satu orang saja. Sementara jenis pekerjaan di dalam rumah tangga sangatlah beragam. Sehingga efisensi dan efektivitas pekerjaan merupakan faktor yang mendorong para majikan untuk menginginkan jenis pekerjaan kepada spesialisasi tertentu.
Akan tetapi, jika diamati lebih mendalam, kebijakan tersebut sebenarnya bermata ganda. Antara mengalihkan perkara prinisip dalam perlindungan PRT migran atau sebuah kebijakan dengan seolah melabelkan kesan positif kepada pekerjaan PRT. Padahal esensinya adalah sebuah praktik perburuan rente. Kebijakan zero PRT 2017 secara tidak langsung dapat kita tangkap bahwa PRT dianggap sebagai pekerjaan “rendah” dan tidak diperkenankan untuk “dikirim” oleh Indonesia ke luar negeri. Pandangan ini tidaklah dikurangi. Seperti yang telah diungkapkan oleh pemimpin negeri ini, Jokowi, pada beberapa waktu lalu yang menyinggung pekerjaan PRT migran setelah kunjungannya ke Malaysia.
Padahal bukan kesan positif saja yang sebenarnya dikehendaki oleh PRT migran. Melainkan proses penempatan PRT migran yang masih diliputi dengan tindakan pemerasan, penindasan, penipuan dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Ini adalah perkara prinsip yang semestinya dijadikan sebagai acuan konsep penempatan PRT migran ke luar negeri. Seiring dengan itu, mekanisme migrasi mandiri juga perlu dimudahkan oleh pemerintah karena hal itu bagian dari kreatifitas para PRT migran dalam mencari dan berkompetisi pada pasar kerja.
Penyaluran PRT ke luar negeri dengan menggunakan PPTKIS telah banyak merugikan PRT migran dan majikan. Justru migrasi mandiri PRT ke luar negeri merupakan sebuah gejala perlawanan ke atas migrasi keterpaksaan yang selama ini terus berlangsung. Hingga sekarang, pemerintah Indonesia juga belum mengakui keberadaan PRT. Buktinya, PRT belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan. Logikanya, kita semestinya juga telah memiliki peraturan mengenai PRT sebelum meminta negara lain untuk mengakui keberadaan PRT migran.
Seharusnya pemerintah mempertimbangkan pembatasan kewenangan PPTKIS atau keterlibatan swasta dalam penempatan PRT migran ke luar negeri. Bukannya malah membatasi mobilisasi PRT migran untuk bekerja. Keterlibatan actor swasta dalam perlindungan PRT migran akan semakin melanggengkan praktik eksploitasi PRT migran yang terjadi ketika mereka baru keluar dari pintu rumahnya.