Kedai Grapari menjadi tempat dilangsungkannya diskusi komunitas Serantau untuk membahas permasalahan yang terjadi pada buruh migran di Malaysia. Minggu (10/04/2016) sekitar pukul 08.00 pagi, anggota Serantau yang berdomisili di Kuala Lumpur dan sekitarnya bergegas menuju Kedai Grapari yang terletak di Daerah chow kit. Matahari yang bersinar cerah menemani perjalanan menuju tempat diskusi. Sekitar pukul 10 sebagian peserta telah berkumpul dan siap memulai acara diskusi. Acara dibuka Ridwan Wahyudi, sebagai pendamping Serantau dan dilanjutkan dengan perkenalan masing-masing peserta.
Duduk lesehan beralaskan tikar, tidak mengurangi semangat peserta mengikuti diskusi. Hal tersebut terbukti ketika acara mulai masuk pada sesi sharing cerita, peserta diskusi begitu antusias mengemukakan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Mulai dari masalah Pekerja bangunan yang tidak digaji, fasilitas yang tidak layak, gaji di bawah standar, hingga masalah pembuatan paspor baru yang menelan biaya lebih mahal serta waktu pembuatan yang cukup lama. Ada juga peserta yang bercerita mengenai Syarikat IMAN Sdn.Bhd yang merupakan sumber masalah baru bagi pemulangan Tenaga Kerja Indonesia yang melebihi izin tinggal.
Diskusi berlanjut kepada sesi pengelompokkan masalah. Setiap peserta diberikan tiga lembar kertas berwarna merah muda, biru dan kuning. Kertas berwarna merah muda untuk menulis aktor, kertas berwarna kuning untuk menulis solusi yang dibutuhkan, sedangkan kertas berwarna biru untuk menulis masalah-masalah yang terjadi. Setelah selesai menulis, para peserta bergantian menempel kertas tersebut ke papan tulis yang telah disediakan. Setelah semua peserta selesai menempelkan kertas mereka, pembahasan dimulai. Dalam pembahasan ini, lagi-lagi persoalan gaji dan perlindungan buruh migran menjadi permasalahan yang mendominasi.
Kedua masalah tersebut adalah akar dari permasalahan-permasalahan lain yang terjadi pada buruh migran. Ditambah lagi, buruh migran mulai tidak percaya pada perwakilan Indonesia di luar negeri seperti KBRI/KJRI yang lamban menangani suatu masalah. Berkelindannya permasalahan tersebut menjadi bahan bakar bagi peserta untuk menerlurkan ide-ide baru. Ridwan Wahyudi sebagai fasilitator acara juga menginstruksikan pada peserta untuk membuat tiga kelompok. Kelompok pertama bertugas untuk membahas pendataan yang ideal untuk buruh migran dan komponen–komponen yang diperlukan untuk pendataan. Kelompok dua membahas tentang biaya penempatan bagi buruh migran dan kelompok tiga membahas bantuan hukum yang ideal untuk buruh migran.
Kelompok pertama yang diwakili oleh Samsuri menjelaskan tentang pendataan buruh migran yang ideal. Ia menerangkan agar sebaiknya pendataan dilakukan sejak pembuatan paspor untuk mempermudah pemerintah mendata calon buruh migran, bisa juga pendataan dilakukan oleh perangkat desa sebelum proses pembuatan paspor. Kelompok dua yang diwakili Miya riswanto menerangkan tentang biaya penempatan. Miya menjelaskan tentang proses dan biaya pembuatan paspor,visa dan asuransi yang selama ini masih membebani para buruh migran.
“Kami berharap agar pemerintah memangkas biaya penempatan agar biaya penempatan yang dikeluarkan oleh buruh migran dapat ditekan seminimal mungkin,” tutur Miya.
Kelompok ketiga yang diwakili Syarif Hidayat membahas tentang bantuan hukum yang ideal bagi buruh migran ketika berada di Indonesia dan di negara penempatan. Ia menjelaskan tata cara untuk melaporkan kasus serta lembaga mana yang harus dituju untuk mengadukan permasalahan. Syarif Hidayat mengungkapkan jika berada di dalam negeri, pertama-tama si pelapor harus menceritakan kasus tersebut kepada keluarganya sendiri, sebelum melapor ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan berlanjut ke Kantor Polisi.
“Sedangkan ketika berada di negara penempatan, pertama-tama si pelapor harus menceritakan kasus tersebut kepada keluarganya sendiri. Apabila si pelapor mengetahui tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Bantuan Hukum, si pelapor bisa meminta bantuan pada LSM untuk kemudian mendampinginya melapor ke Kedutaan Republik Indonesia (KBRI) dan dilanjutkan ke Kantor Polisi setempat,” ujar Syarif Hidayat.
Sesi tersebut berlanjut sampai istirahat makan siang. Setelah waktu istirahat selesai, diskusi berlanjut dengan pembuatan video untuk menyampaikan keluhan atau unek-unek yang yang dialami buruh migran selama ini. Muka kusut serta rasa lelah yang tergambar di wajah peserta, terbayar lunas dengan curahan permasalahan lewat video yang akan ditunjukkan pada anggota dewan, sebagai salah satu senjata untuk merevisi UU PPILN yang berpihak pada birih migran. Selesai acara pengambilan foto, dilakukan foto bersama dengan seluruh perserta.