Revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKLN), sudah lama menjadi agenda bersama pegiat buruh migran yang harus direalisasikan. Sejak 2012, DPR dan pemerintah yang diwakili oleh enam menteri yang berhubungan dengan Buruh Migran Indonesia (BMI) telah melakukan pembahasan Rancangan UU (RUU) PPTKLN. Namun demikian, pembahasan RUU tersebut belum mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan BMI (baca: https://buruhmigran.or.id/2013/02/25/siaran-pers-jari-pptkln/).
Pembahasan RUU PPTKLN juga kembali dilakukan pada April 2013 tahun lalu. Namun demikian, proses pembahasan tersebut sangat mengecewakan. Saat itu, masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Revisi UU PPTKLN (JARI-PPTKLN), menyesalkan sikap pemerintah yang tidak peduli dengan perlindungan TKI. Hal tersebut dilihat dari keengganan pemerintah untuk mengganti nama judul RUU PPTKLN menjadi RUU “Perlindungan Pekerja Indonesia Luar Negeri (PPILN).” Padahal, usulan penggantian tersebut sudah diajukan sejak 2012.
Bukan hanya judul, pemerintah juga memberikan usul untuk menghapus beberapa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan oleh para pegiat buruh migran. Beberapa DIM tersebut diantaranya tertuang dalam DIM 10 yang berbunyi, “Bahwa terdapat banyak kelemahan dalam manajemen dan pengawasan pelaksanaan penempatan pekerja Indonesia mulai dari penempatan dan pasca penempatan.” Hal ini tentu menunjukkan bahwa pemerintah tak mau mengakui buruknya sistem manajemen proses migrasi kerja, serta tidak pula memberikan perlindungan kepada pekerja migran.
Beberapa kelemahan mendasar dari substansi UU 39/ 2004 (PPTKLN) tersebut adalah:
- Memandang dan memperlakukan Pekerja Migran tak lebih sebagai komoditi.
- Mayoritas (61%) pasal dan ayat bicara tentang bisnis penempatan Pekerja. Migran Menyerahkan perlindungan Pekerja Migran pada PJTKI dan dengan cakupan perlindungan yang sangat terbatas.
- Tidak bisa dipercaya baik sisi moralnya maupun sisi hukumnya karena tidak transparan dan tidak konsisten dalam mengatur migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Undang-undang ini sarat dengan peluang korupsi karena mengamanatkan pemerintah untuk mengatur, melaksanakan sekaligus mengawasi dirinya sendiri.
- Menciptakan konflik kelembagaan antara Depnakertrans dan BNP2TKI.
- Tidak mengakui peran serta masyarakat dan peran pemerintah daerah.
- Sangat miskin perspektif gender dan mengabaikan kelompok rentan, khususnya PRT yang merupakan mayoritas Pekerja Migran.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan di ataslah, revisi UU PPTKLN harus segera dilakukan. Sebagai langkah untuk mewujudkannya, pada 29 September 2014 kemarin, pegiat buruh migran menghadiri Forum Group Discussion (FDG) RUU PPILN yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Acara tersebut juga membicarakan perbaikan tata kelola TKI.
Diskusi mengenai RUU PPILN dan perbaikan tata kelola TKI Tersebut juga akan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini penting agar tata kelola TKI mendapat pengawasan.