Figures

(Bahasa Indonesia) Kisah Buruh Migran di Penjara Penang Malaysia

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Ilustrasi Penjara
Ilustrasi Penjara

Wiwik sudah delapan tahun menjadi buruh migran. Perempuan asal Kediri Jawa Timur ini awalnya menjadi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) di Malaysia. Namun selama empat bulan bekerja di negeri jiran, ia tak pernah menerima gaji. Padahal pekerjaan yang dikerjakan cukup berbahaya. Selain mengurus pekerjaan rumah tangga, ia harus memandikan empat ekor anjing dengan ukuran badan besar-besar. Ia kemudian kabur dan menjadi buruh migran tak berdokumen.

Walaupun tak berdokumen, ia tetap bertahan untuk mengais rejeki. Kerja apapun ia lakukan untuk mempertahankan hidupnya. Untuk mendapatkan kerja, ia bergantung dari informasi dan koneksi sesama buruh migran. Ia terus mempertahankan hidupnya dari satu tempat pekerjaan ketempat pekerjaan lainnya. Gaji kecil dan kucing-kucingan dengan Polisi Diraja Malaysia (PDM) menjadi bagian kisah pedihnya.

Tahun 2012 silam, Wiwik mengikuti program pemutihan. Ia kembali menjadi buruh migran berdokumen dan kemudian nekat bekerja disalah satu kontraktor pengembang. Di perusahaan konstruksi yang mengerjakan pembangunan hotel tinggi besar itu, ia bekerja sebagai tukang cat dinding luar.

“Di lift gantung itu saya mengecat dinding. Awalnya saya sangat takut karena ketika angin kencang, lift yang saya naiki terbawa angin kesana kemari, tapi lama-lama jadi biasa,” jelasnya.

Ibu satu anak ini memilih bekerja di perusahaan konstruksi karena gajinya lebih besar. Setiap harinya ia mengantongi 55-75 ringgit Malaysia, belum lagi ketika ada lembur. Selain itu jam kerjanya jelas, ia lebih banyak mendapatkan istirahat ketimbang bekerja di sektor domestik. Pada Juni 2012 silam, Wiwik terkena razia dan dibawa ke tempat penampungan sementara. Setelah itu ia bersama ratusan buruh migran lainnya dari China, India, Myanmar, Vietnam, dan Bangladesh dibawa ke penjara Penang.

“Perempuan dikumpulkan dengan sesama perempuan dan laki-laki dengan sesama laki-laki. Tiap hari di jam tertentu kami harus berhitung sambil menundukkan kepala. Jika salah maka dipukul dengan rotan. Begitu juga kalau upacara pagi barisan tidak lurus, pasti kena maki-maki, pukul, tendang, dan pernah juga semua perempuan ditelanjangi,” ujar Wiwik.

Polisi Diraja Malaysia (PDM) adalah makhluk paling menakutkan bagi buruh migran tak berdokumen di Malaysia. Selain kejam dan mata duitan, menurut pengalaman Wiwik, meski buruh migran memiliki dokumen lengkap, mereka tetap menangkap tanpa diperbolehkan melakukan pembelaan diri.

“Padahal saya punya work permit, tapi PDM tetap menahan saya dan bilang bahwa hukum kami bukan hukum negaramu,”ungkap Wiwik.

Selain Wiwik, ada Maya Tampubolon yang mengaku sering diperas uangnya oleh polisi. Ia merelakan uang gajinya sebesar 100 ringgit (370 ribu) daripada ditangkap atau dibawa dengan mobil patroli ke penjara. Menurut Maya, PDM terlatih membedakan warga Indonesia dengan warga lainnya, mana yang legal dan ilegal. Senada dengan Maya, Lasmi, buruh migran asal Belawan Sumatera ini mengatakan bahwa selain ditindas oleh aparat, PDM juga memanfaatkan ketakutan buruh migran untuk maksud memperbudak.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.