Figures

(Bahasa Indonesia) Ridwan Wahyudi: Belajar dan Membantu Sesama Korban Perdagangan Orang

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Ridwan Wahyudi (kanan) saat berdiskusi penanganan kasus TKI bersama Simon Cox (kiri), seorang pengacara internasional asal Inggris.
Ridwan Wahyudi (kanan) saat berdiskusi penanganan kasus TKI bersama Simon Cox (kiri), seorang pengacara internasional asal Inggris.

Ridwan Wahyudi ialah pegiat buruh migran yang aktif di Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Ia mengawali karirnya sebagai pendamping buruh migran justru setelah ia menjadi korban perdagangan manusia di kampung halamannya Banyuwangi. Bulan Desember tahun 2004 silam, Yudi—panggilan Ridwan Wahyudi—mendafatar menjadi buruh migran Korea Selatan. Ia memilih negeri gingseng karena banyak tetangga yang meraih sukses di sana.

Ia direkrut oleh tekong bernama Khusnul Khotimah, warga Genteng, Banyuwangi, dan dijanjikan akan bekerja di sektor manufaktur. Saat itu, Khusnul mengatakan bahwa biaya penempatan TKI Korea Selatan sebesar 30 juta, agar segera diproses Yudi disuruh untuk menyerahkan uang 5 juta sebagai biaya pendaftaran.
“Menurut Khusnul, biaya itu akan digunakan untuk membuat paspor dan beberapa dokumen yang belum siap seperti Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk yang dimanipulasi dengan alamat palsu,”ujar Yudi kepada redaksi Warta Buruh Migran.

Yudi kemudian dianjurkan untuk melakukan tes medis di rumah sakit Al Huda Banyuwangi dan proses pembuat paspor di Jember. Setelah proses itu selesai, Khusnul kembali meminta uang untuk keperluan sending dokumen agar segera diproses dengan nominal 10 juta rupiah. Tak berapa lama kemudia, Khusnul meminta uang lagi untuk biaya pelatihan di PJTKI/PPTKIS sebesar 10 juta rupiah. Yudi menyanggupi permintaan Khusnul, total biaya yang harus dikeluarkan Yudi saat itu adalah 25 juta rupiah.

Ia memang sempat 2 kali diberangkatkan ke Jakarta dengan alasan pelatihan bahasa. Tetapi ketika sampai Jakarta tak begitu faktanya, tak ada pelatihan, dan ia hanya menghabiskan waktu untuk tidur dan ngobrol dengan satpam penunggu tempat pelatihan.
“Sambil menunggu keberangkatan selama 2 bulan (Januari-Februari 2004), saya terus bertanya kapan diberangkatan, dan Khusnul hanya berjanji terus,”kata Yudi.

Bulan Maret 2004 ia mendapat kabar bahwa penempatannya akan diubah ke Brunei Darussalam untuk dijadikan sopir. Sedangkan uangnya akan dikembalikan 15 juta karena tak jadi diberangkatan ke Korea Selatan. Menunggu hingga bulan Mei 2004, ia tak kunjung juga diberangkatkan. Ia malah mendapat kabar bahwa penempatannya akan dialihkan ke Malaysia untuk bekerja di pabrik. Sampai disitu, Yudi masih mengiyakan karena uang sudah terlanjur masuk sehingga tak ada pilihan lain.

Lepas satu bulan dari tawaran kerja di Malaysia, ternyata masih tak ada kabar kapan akan diberangkatkan ke sana. Akhirnya ia ke rumah Khusnul untuk membatalkan keberangkatan ke luar negeri.

“Sayangnya Khusnul mengatakan bahwa uang yang sudah disetor tidak bisa dikembalikan, ketika itu saya masih belum bertindak apa-apa,”ungkap Yudi.

Tak berapa lama dari kejadian itu, ia bertemu dengan Wawan Kuswanto Kadir, pegiat SBMI Banyuwangi. Ia bercerita pada Wawan mengenai pembatalan keberangkatannya ke luar negeri, oleh Wawan ia disarankan untuk melapor pada polisi karena ia korban tindak pidana penipuan. Wawan kemudian menyuruh Yudi untuk menulis perjalanan kasusnya dan melapor ke Polsek Genteng.

Yudi menyodorkan surat pengaduan kepada polisi di Polsek genteng ditemani Wawan. Polisi membaca pengaduan dan memberi catatan nama penyidik yang akan memeriksa Yudi sebagai korban. Selama proses penyidikan, Wawan tak diperbolehkan untuk mendampingi. Selang seminggu dari proses penyelidikan, Yudi dipanggil oleh polisi dan disuruh untuk mendatangi rumah Khusnul. Di rumah tekong bernama Khusnul itu, ia diberi uang yang sudah seharusnya menjadi haknya meski sebagian besar dicicil.
“Anehnya kasus yang menimpa saya tersebut tak diproses oleh Kepolisian Genteng dan sampai sekarang Khusnul yang melakukan tindak pidana penipuan masih bebas dari jeruji penjara,”tegas Yudi.

Jika ditelisik lebih jauh, kasus yang menimpa Yudi bukan hanya kasus penipuan semata, kasusnya sudah menjurus pada Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ia sudah dalam proses direkrut dan diterima sebagai calon TKI, ia kemudian ditipu, dibohongi, dan dicurangi, meski belum menjurus pada kekerasan, perbudakan, atau praktik-praktik lain.

Belajar dari kisah kelam penempatannya sebagai buruh migran, di tahun 2005 Yudi mulai aktif terlibat di Forum Bumiwangi. Sempat tak aktif di Forum karena melanjutkan studi kuliah, di tahun 2009 ia bergabung kembali dengan SBMI Banyuwangi. Tiga tahun kemudian ia ikut menjadi pengurus DPN SBMI di Jakarta. Mengapa ia menjadi pegiat yang aktif menjadi pendamping TKI? Alasan yang dikemukakan Yudi cukup sederhana dan tidak muluk-muluk, ia ingin ikut belajar dan membantu sesama buruh migran agar tak ada lagi yang tertipu seperti yang pernah dialaminya.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.