Masihkah buruh migran atau yang dikenal dengan sebutan tenaga kerja Indonesia (TKI) harus ditipu menggunakan pembatasan informasi? Pertanyaan ini seringkali ditanyakan oleh pegiat buruh migran, aktivis sosial dan kelompok buruh migran itu sendiri. Sayangnya, upaya untuk mendorong perbaikan tata kelola pemberangkatan, perlindungan dan pengawasan buruh migran kerap terarah sebatas pada persoalan undang-undang buruh migran, seperti Undang-undang nomor 39 Tahun 2004. Sementara, celah konstitusional lainnya masih luput dari perhatian. Keterbatasan informasi adalah persoalan penting yag dihadapi buruh migran. Keterbatasan informasi, menempatkan buruh migran sebagai kelompok yang tidak berdaya: tidak dapat mengambil keputusan yang tepat, tidak mampu melakukan swabela (pembelaan diri sendiri) atau tidak bisa menuntut hak yang semestinya diterima.
Persoalan ini bukan hal baru. Sejak menguatnya minat pemerintah Orde Baru pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) IV untuk menjadikan pemberangkatan tenaga kerja menjadi salah satu strategi lapangan kerja dan mendongkrak pendapatan negara, praktek pemiskinan informasi untuk TKI telah diberlakukan. Praktek itu yang hingga kini masih terus berlaku, berkembang dan dianggap sebagai kewajaran.
Keterbukaan Informasi, Sebuah Peluang Advokasi
Kebijakan pemberangkatan, pengawasan dan perlindungan TKI adalah bagian dari pelayanan publik. Kehadiran UU no 14 tahun 2008 memberikan harapan baru advokasi penyelenggaraan penempatan TKI. Ketersediaan informasi, melalui undang-undang tersebut, dinilai sebagai bagian tidak terpisahkan dari pelayanan publik. Mengacu pada undang-undang tersebut, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI); Kedutaan Jendral Republik Indonesia (KJRI) di luar negeri; Direktorat Jendral Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakerstrans) selaku lembaga negara yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berkewajiban sama untuk menyediakan informasi lengkap terkait dengan pelayanan yang diselenggarakan.
UU no 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) juga memberikan peluang kepada masyarakat untuk meminta informasi terkait dengan pelayanan yang diselenggarakan oleh negara. Melalui proses permintaan informasi publik, TKI, keluarga, komunitas, organisasi dengan mewakili organisasi atau perseorangan dapat mengajukan permintaan atas informasi atas pengelolaan layanan negara. Kejelasan-kejelasan seperti biaya penempatan TKI (cost Structure), penanganan kasus, pengambilan keputusan tertentu, atau penanganan kasus TKI menjadi sangat mungkin dipertanyakan kepada lembaga penyelenggara layanan tersebut. Dengan demikian, perlabagai pelanggaran dan penipuan dapat diminimalisir.
Bagaimana dengan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS)? Sebagai pihak swasta PPTKIS boleh jadi lepas dari pengawalan undang-undang ini. Sifatnya yang merupakan perusahaan ekonomi menjadikannya tidak termasuk sebagai institusi yang bisa dimintai informasi publik karena tidak menggunakan dana APBN atau memperoleh bantuan pendanaan dari luar negeri. Ini adalah salah satu kelemahan sistem penempatan TKI. Lembaga yang idealnya turut terawasi oleh publik, bisa dengan bebas beroperasi tanpa pengawasan terbuka masyarakat. Situasi inilah yang selama bertahun-tahun menjadikan PPTKIS –yang sebelumnya lebih dikenal dengan istilah PJTKI– sulit disentuh oleh masyarakat sipil.
Situasi tersebut bukan berarti menyebabkan masyarakat tidak dapat menyentuh PPTKIS secara keseluruhan. Sebagai lembaga yang tunduk pada aturan UU no 39 tahun 2004, PPTKIS terikat pengawasa yang dilakukan oleh lembaga negara, seperti BNP2TKI dan Dirjen Binapenta. Keterikatan tersebut menjadi celah yang digunakan oleh masyarakat untuk mengawasi kinerja PPTKIS. Masyarakat dapat meminta lembaga-lembaga negara yang berwenang untuk menyediakan informasi khusus terkait dengan PPTKIS. Sebagai contoh, pada penanganan kasus TKI. Kasus tertentu TKI dapat diawasi menggunakan UU KIP. Masyarakat dapat meminta lembaga negara berwenang untuk menyediakan informasi rinci tentang perkembangan kasus yang menyangkut PPTKIS tertentu.
Masyarakat juga dapat meminta lembaga terkait untuk menyediakan informasi tentang status dan upaya pengawasan lembaga-lembaga negara tersebut terhadap PPTKIS. Meski memakan proses lebih panjang, teknik prosedural ini adalah celah yang dapat digunakan untuk mengawasi kinerja PPTKIS. UU KIP adalah peluang emas kelompok TKI untuk memperjuangkan nasib dan kejelasan pelayanan. Sebagai sebuah peluang, sangatlah miris jika tidak digunakan secara maksimal.
Penyengketaan atas penolakan atau pelanggaran standar penyediaan layanan informasi publik oleh lembaga-lembaga negara menjadi salah satu strategi lain apabila informasi yang dibutuhkan tidak tersedia atau tidak diberikan melalui permintaan informasi. Melalui proses ini, masyarakat dapat perlahan mengetahui persoalan-persoalan mendasar dari kebijakan dan praktek penempatan TKI. Di lain sisi, ketersediaan informasi secara rinci dapat mendorong TKI menjadi kelompok yang berdaya.