(Bahasa Indonesia) Menjadi Pelayan Buruh Migran (2)

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

ilustrasi Informasi BMI
ilustrasi Informasi BMI

Persoalan Standardisasi dan Kejelasan Wewenang

Pelayanan publik yang mengacu Pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memiliki 14 asas atau prinsip dasar, antara lain kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakukan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Prinsip dasar ini sekaligus menjadi alat ukur sebuah pelayanan publik berjalan dengan baik atau tidak.

Pada kasus pelayanan BMI pelbagai jenis layanan publik yang disediakan masih carut marut. Biaya penempatan simpang siur, tidak ada sistem atau standar yang mengatur keberadaan PPTKIS, perbedaan standar antar PPTKIS, ketidakjelasan dan tidak adanya kontrak kerja standar, konflik wewenang penempatan, standar penangan BMI bermasalah, unit pelayanan yang terpencar, standar pelayanan oleh perwakilan pemerintah di luar negeri, dan setumpuk persoalan lainnya.

Tidak adanya upaya cepat dan strategis untuk menata kembali mekanisme penanganan BMI (tata kelola BMI) akan menjadikan persoalan makin hari makin rumit dan bertumpuk. Lebih parah lagi, hal semacam ini semakin membuka peluang besar maraknya praktik penempatan BMI yang cenderung mengarah pada perdagangan manusia.

Persoalan standar pelayanan penempatan dan perlindungan BMI harus benar-benar mengacu pada 14 prinsip dasar di atas. Pelayanan untuk BMI butuh dibangun menjadi lebih sederhana, mudah, dan terpercaya. Keterlibatan setiap pihak baik pemerintah maupun swasta harus diperjelas, baik wewenang maupun standar operasionalnya melalui undang-undang.

Keterlibatan industri swasta (PPTKIS) dengan mandat dan keleluasaan akses operasional pada penempatan dan perlindungan, membuat persoalan BMI semakin rumit. Bagaimana tidak, keleluasan lebih membuat pelaku bisnis PPTKIS meningkat drastis hingga tak terkendali jumlahnya. Tanpa prosedur rumit, perusahaan berstatus Perseroan Terbatas (PT) dapat berdiri di desa-desa dengan menjadi sub dari perusahaan agen atau PPTKIS yang lebih besar di perkotaan atau ibu kota.

Tidak aneh, jika kemudian menjumpai PPTKIS hadir hingga pelosok desa dan menjadi kepanjangan tangan PPTKIS lain yang lebih besar. Hanya bermodal beberapa puluh juta uang yang dijaminkan pada agen di kota besar, 1 unit komputer, telepon, fax, dan beberapa petugas berpenampilan nonformal, maka sebuah PT atau PPTKIS di desa dapat beroperasi. Hal ini jelas menunjukkan PPTKIS merupakan rantai bisnis yang panjang dan menekankan pendapatan dari komisi praktik makelar.

Lantas jika sebuah PPTKIS tidak memiliki produk selain jasa makelar, pada siapa biaya operasional mereka akan dibebankan, secara tidak langsung semua biaya operasional dibebankan kepada BMI yang mereka berangkatkan. Pembebanan biaya kepada BMI dilakukan melalui sistem biaya penempatan, pungutan-pungutan, potongan gaji, beban hutang, dan lain-lain.

Akan berkelit seperti apapun pemerintah, fakta tetap menunjukkan tidak adanya standardisasi pelayanan dari operasi bisnis PPTKIS. Inilah mengapa perbaikan pelayanan publik bagi BMI harus di mulai dari keberanian pemerintah. Pemerintah harus berani memisahkan dengan tegas kepentingan bisnis pada wilayah pelayanan penempatan dan perlindungan BMI. Dibutuhkan ketegasan membuat “garis api” (memilah aspek bisnis dan non bisnis) untuk memangkas wilayah “abu-abu” pada pelayanan buruh migran.

Komitmen tersebut juga berlaku pada lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan untuk BMI. Terlebih pada konteks BMI, terdapat BNP2TKI yang menjalankan praktik serupa kerja PPTKIS, yakni penempatan pekerja di Korea Selatan dan Jepang. Harus jelas mana wilayah bisnis yang menjadi pemasukan negara dan mana tanggungjawab sebagai lembaga pemerintah yang melayani publik.

Wewenang pelayanan publik bagi BMI yang tersebar dan belum maksimalnya koordinasi antar sektor dan instansi pemerintahan membuat pelayanan bagi BMI terkesan rumit. Jika merujuk BNP2TKI, maka kita akan menjumpai 14 tahap sekaligus sebaran wewenang  dalam prosedur pelayanan dan penempatan BMI (sesuai gambar poster). Antara lain:

  1. Ketersediaan lowongan kerja di luar negeri (job order, recruitment agreement, demand letter), visa makalah, dan draft perjanjian kerja melalui persetujuan KBRI/KJRI
  2. Surat Izin Pengerahan (SIP), informasi perekrutan ke tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota oleh Kemenakertrans atau BNP2TKI
  3. Sosialisasi, pendaftaran Calon BMI, seleksi dan perjanjian penempatan dilakukan melalui kerja sama Pemda, Disnaker, PPTKIS
  4. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi oleh PPTKIS dan Dinas Kesehatan di daerah.
  5. Pelatihan, uji kompetensi, asuransi, penampungan oleh Kemenakertrans atau BNP2TKI dan PPTKIS
  6. Penerbitan paspor oleh Kementerian Hukum dan HAM
  7. Dana pembinaan, penempatan, dan perlindungan BMI (PP/92/2000) 15 U$D (PNBP) oleh Kementerian Keuangan dan PPTKIS
  8. Visa kerja dari perwakilan negara penempatan oleh PPTKIS
  9. Pembekalan akhir pemberangkatan, perjanjian kerja, KTKLN oleh Kemenakertrans dan BNP2TKI
  10. Keberangkatan BMI melalui layanan satu atap yang melibatkan PPTKIS, Kemenakertrans atau BNP2TKI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, dan Polri
  11. Tiba di negara penempatan oleh PPTKIS atau agensi, KBRI/KJRI, Pengguna/majikan
  12. Masa penempatan di luar negeri  oleh PPTKIS atau agensi, KBRI/KJRI, Pengguna/majikan
  13. Pelayanan kepulangan BMI dari negara penempatan ke Indonesia oleh PPTKIS, Kemenakertrans/BNP2TKI, Kementerian Perhubungan, BIN, Polri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri.
  14. Pembinaan Pemberdayaan BMI Purna  oleh Kemenakertrans/BNP2TKI, Menegkop dan UKM, Kementerian Perindustrian, Perbankan, dan Pemerintah Daerah

Mengamati pembagian wewenang dan koordinasi di atas, maka kita akan melihat sebuah proses yang rumit, panjang, dan tumpang tindih. Terlampau banyak instansi yang terlibat, terlampau banyak wewenang yang diberikan pada sektor bisnis PPTKIS, dualisme wewenang BNP2TKI dan Kemenakertrans, serta minimnya layanan satu atap yang mampu menghemat biaya yang akan dikeluarkan BMI.

Jika komitmen pemerintah memperbaiki pelayanan penempatan dan perlindungan BMI dijadikan agenda serius, maka pekerjaan rumah terbesar adalah memisahkan unsur bisnis dari pelayanan perlindungan BMI. Akan lebih mempermudah pemerintah dalam menyusun tata kelola penempatan dan perlindungan BMI, jika ada mekanisme yang membuat penempatan BMI menjadi bisnis yang tidak menguntungkan.

Hal ini dapat dilakukan jika regulasi, perizinan, dan standar industri PPTKIS diperketat. Monopoli bisnis jasa dan makelar penempatan pekerja di luar negeri akan runtuh jika aturan main diperketat dan proses penegakan hukum berjalan dengan baik.

Mekanisme membuat bisnis PPTKIS menjadi bisnis tidak menguntungkan merupakan salah satu wacana mengurai persoalan pelayanan publik bagi BMI. Fakta pelaku bisnis PPTKIS mendapat ruang dan mandat sedemikian besarnya dalam UU 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN tidak dapat dipungkiri.  Pertanyaan kunci selanjutnya apakah pemerintah berani bersikap tegas mengutamakan pelayanan untuk rakyat, atau justru tergiur kepentingan lingkaran bisnis penempatan BMI yang menjanjikan?

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.