Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau kerap disebut sebagai buruh migran, terutama perempuan, acap kali dilekatkan dengan stereotip tidak profesional, bodoh dan gagap menggunakan teknologi (gaptek), terutama teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pekerjaan yang digeluti buruh migran perempuan sebagai penata laksana rumah tangga pada umumnya semakin mempersempit ruang gerak dan wawasan bagi buruh migran. Karena itu banyak di antara mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari teknologi.
Nyatanya, tidak semua buruh migran identik dengan gaptek, mereka yang bekerja di Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea terbiasa mengoprasikan mesin canggih rumah tangga bahkan mereka sudah akrab dengan aneka gadget, komputer dan internet. Dunia Teknologi informasi yang kian ramah pengguna, telah membuka peluang bagi mereka untuk menjadi salah satu pengguna. Apalagi, alat teknologi informasi kini bukan barang yang terlalu mahal seperti pada era 90an.
Sebut saja Fitri, buruh migran asal Cilacap ini sudah akrab dengan komputer semenjak ia berkesempatan bekerja di Hongkong. Mulanya ia menjadi relawan di yayasan yang mengelola play group. Ia bertugas membantu anak-anak untuk mengenal komputer. Perlahan, Fitri terbiasa menggunakan komputer dan ia pun mulai mempelajari komputer secara otodidak lewat buku yang ia beli. Pengetahuannya soal dunia komputer semakin luas manakala ia mulai mengenal internet ditambah lagi di rumah majikannya memiliki fasilitas wi-fi yang semakin mempermudah fitri untuk mengakses internet dan berhubungan dengan dunia luar.
Selain Fitri ada juga Kusyiah, sewaktu di Indonesia ia tak lulus SD. Beruntung sewaktu ia di Singapura mendapatkan majikan yang baik hati. Kusyiah diijinkan sang majikan untuk mengikuti kursus yang ia minati selepas pekerjaannya selesai. Semenjak itu, Ia kerajingan belajar apa saja, termasuk tentang komputer dan internet. Alhasil, Kusyiah dapat memperbarui informasi kabar teranyar tentang Indonesia dan belajar lewat internet. Sekarang, Kusyiah mempunyai harapan besar untuk memberdayakan warganya lewat teknologi informasi dan komunikasi.
Neli Khuriyah yang juga pernah bekerja di Hongkong selama tujuh tahun adalah salah satu buruh migran melek teknologi informasi. Di sela-sela bekerja, Ia menyempatkan untuk kuliah D1 di sebuah kampus, AVM Hongkong ltd. Jurusan yang diambilnya pun tak tanggung-tanggung, Neli mencoba menekuni dunia teknologi informasi yang memang sangat jarang dikuasai oleh perempuan.
Fitri, Kusyiah, dan Neli adalah contoh kecil buruh migran perempuan yang melek teknolgi informasi. Untuk mendapat pengetahuan tentunya butuh perjuangan, kemauan keras dan kesempatan. Sekarang mereka mempunyai modal cukup untuk membuka diri terhadap perkembangan zaman dan dunia luar. Sebuah catatan penting, perkembangan teknologi yang cepat memang memberikan peluang kemudahan. Pertanyaannya, sejauh mana perkembangan tersebut mampu mebantu buruh migran untuk memperbaiki nasib mereka.
Teknologi informasi bukan hanya sebuah alat hura-hura, seperti banyak digunakan oleh masyarakat yang konsumeris. Selain membuktikan bahwa TKI perempuan tidak gagap TIK, mereka juga perlu mengerti bagaimana teknologi mampu membantu dan memberi kemudahan bagi mereka. Jika untuk hanya mengejar gaya hidup, alih-alih membantu, TIK justeru bisa memelaratkan dengan tuntutan perkembanganyang cepat dan harga yang kian melambung untuk barang-barang baru.
Salah satu model penggunaan TIK tepat guna dipraktekkan oleh Fitri, seorang TKI perempuan asal Cilacap. Semasa masih bekerja di Hongkong, Fitri yang mendapat kesempatan libur setiap minggu, mencoba mengembangkan kemampuannya untuk menggunakan teknologi informasi secara tepat guna. Mulanya ia mengelola blog pribadinya dengan alamat http://cewekndeso.blogspot.com. Lambat laun ia mulai mengembangakan portal berita untuk kawasan Cilacap dengan alamat http://www.cilacap-online.com. Portal berita ini dikendalikannya sejak tahun 2008 dari Hongkong.
Fenomena fitri dapat menjadi inspirasi bagi kelompok buruh migran atau TKI, terutama TKI perempuan. Pekerjaan fitri sebagai pekerja tata laksana rumah tangga sama sekalli bukan hambatan yang berarti baginya untuk tetap belajar teknologi. Lebih jauh, ia mampu membuktikan bahwa teknologi, bagaimana pun, harus memberi manfaat pada pengguna dan bukan menjadikan ketergantungan.