Oleh: Untung Supriadi
Saya Untung Supriadi (20), asal Dusun Aik Paek, Desa Labulia, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Saat in,i saya belajar di Pusat Teknologi Komunitas (PTK) Lombok Barat. Jarak Rumahku ke PTK kira-kira 7 kilometer, ke barat. Ada kisah menarik tentang ayah saya yang seorang BMI (Buruh Migran Indonesia).
Ayah saya berangkat ke Malaysia pada 2008 melalui sebuah PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) resmi, diakui oleh pemerintah. Di sana, ia bekerja sebagai buruh petik kelapa sawit. Upah yang didapat sangat minim, tidak sebanding dengan beban kerja yang diembannya. Belum lagi ditambah banyaknya potongan gaji untuk uang makan. Merasa mendapatkan ketidakadilan antara beban kerja dan upah, kemudian ayah saya memutuskan untuk pindah tempat kerja dengan cara pergi tanpa seijin majikan, alias kabur, hingga berubah status menjadi pekerja ilegal.
Ketika kabur, ayah banyak dibantu oleh keluargaku yang banyak tinggal dan bekerja di sana hingga ia behasil selamat dan tanpa masalah. Pasca kabur dari tempat kerja pertama, kemudian ayah mendapatkan pekerjaan sebagai pengambil getah karet dengan pendapatan paling rendah 300.000 rupiah perhari. Ia berkata, pendapatan sebagai pengambil getah karet sangat bergantung pada cuaca, kadang mendapat banyak dan kadang mendapat sedikit. Tetapi, yang lebih penting, dibandingkan pekerjaan sebelumnya sewaktu menjadi BMI legal, pekerjaan sekarang lebih ringan dan pendapatannya jauh lebih besar serta tidak ada pemotongan.
Meskipun begitu, sebagai pekerja ilegal ayah sulit mendapatkan ketenangan. Ia selalu sembunyi atau bahkan kabur setiap kali ada pemeriksaan pekerja ilegal yang dilakuakn oleh polisi diraja Malaysia. Untung saja, majikannya selalu membantunya memberikan perlindungan. Dalam kondisi sepert ini, ayah sudah siap mengharapi situasi sulit apa pun dan kapan pun. Demi mendapatkan penghasilan yang lebih untuk keluarga di rumah.