Jumlah tenaga kerja Indonesia di Malaysia tergolong tinggi, sekitar 83 prosen dari pekerja migran dari negara lainnya, seperti Bangladesh, Filipina, India, dan Vietnam. Besarnya sebaran buruh migran di negeri Jiran ini tak lepas dari perkembangan industri, terutama manufaktur dan konstruksi, yang tak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja dalam negeri mereka.
Pada 2007 ada 1,2 juta warga Indonesia hijrah ke Malaysia. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia memprediksikan ada ratusan ribu tenaga kerja illegal, artinya tak berdokumen, tanpa izin atau visa kerja yang sah. Mereka terkonsentrasi pada sektor kerja rumah tangga (23%), manufaktur (36%), pertanian (26%), dan konstruksi (8%). Jadi, ada sekitar 2 juta TKI bekerja di negeri persemakmuran atau bekas jajahan Inggris ini.
Berdasarkan laporan Pemerintah Malaysia, saat ini terdapat 240.000 pekerja perempuan di sektor rumah tangga di Malaysia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90 prosen adalah orang Indonesia. Sektor pekerja informal seperti pekerja rumah tangga rentan melahirkan kekerasan, penganiayaan, perkosaan, dan penghilangan nyawa. Pada 2005, kekerasan terhadap TKI sudah mencapai angka 173 kasus. Ironisnya, hanya ada 9 majikan yang kasusnya diajukan ke pengadilan setempat.
Harian The Star Kuala Lumpur mengungkapkan pada 2005 ada 39 kasus kekerasan terhadap TKI, 2006 meningkat menjadi 45 kasus, 2007 terjadi 39 kasus, 2008 naik lagi jadi 42 kasus. Direktur Asisten Kepala Divisi Kekerasan Seksual dan Anak Polisi Diraja Malaysia, ACP Guguren Bibi Muchsin Deen, sebagaimana dipublikasikan kampungtki.com (2010) mengungkapkan, 65 prosen kasus yang menimpa pada TKI tersebut merupakan kasus kekerasan seksual terhadap pembantu berumur 25–35 tahun.
Laporan di atas dikuatkan oleh Laporan SUHAKAM (komisi HAM Malaysia), sepanjang bulan Januari 2003, dari 1.485 narapidana perempuan, hanya 300 perempuan Malaysia yang tercatat sebagai penghuni Penjara Perempuan Kajang. Sisanya adalah pekerja perempuan Indonesia dan asing, termasuk buruh migran dan korban perdagangan perempuan.
Banyak kalangan menilai pemerintah Indonesia dan Malaysia gagal menegakkan Hak Asasi Manusia Internasional, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC). Sebenarnya, kedua negara tersebut telah meratifikasi konvensi ILO mengenai kerja paksa (Konvensi 29), perlindungan terhadap upah (Konvensi 95), dan kondisi terburuk tenaga kerja anak-anak (Konvensi182). Parahnya, dilihat dari aspek hukum, Undang-Undang Ketenagakerjaan Malaysia tidak memberikan perlindungan yang sama bagi para pekerja rumah tangga. Tidak ada aturan jam kerja, pembayaran uang lembur, hari cuti, dan ganti rugi atas kecelakaan di tempat kerja.
Karena itu, Pemerintah Malaysia akan membiarkan penyelesaian sebagian besar kasus pelecehan di tempat kerja ditangani oleh penyalur tenaga kerja bermotif laba. Selain itu, para majikan dan para agen TKI secara rutin menahan paspor para buruh migran. Oleh karena itu, apabila mereka melarikan diri, mereka kehilangan status hukum keimigrasian. Lalu, polisi serta pejabat keimigrasian langsung menahan dan mendeportasi yang tertangkap, tanpa pernah mengidentifikasi kasus-kasus pelecehan atau perdagangan manusia.
Kesimpulannya, tingginya tingkat kekerasan terhadap TKI di Malaysia disebabkan oleh sistem hukum Malaysia itu sendiri. Undang-Undang Ketenagakerjaan Malaysia mengesampingkan keberadaan pekerja rumah tangga, sehingga para TKI yang sebagian besar bekerja di sektor itu, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum atas santunan kehamilan, hari libur, jam kerja, dan pesangon saat pemutusan hubungan kerja.
Tak berlebihan bila pemerintah Indonesia mempertimbangkan pengiriman TKI ke Malaysia. Masih banyak negara yang memiliki hukum tenaga kerja yang lebih melindungi tenaga kerja migran, seperti Hongkong, Taiwan, Jepang, dan Korea. Malaysia, Zona Merah untuk TKI!