Di Getas, masyarakat hidup berdampingan tanpa segregasi sosial. Tidak ada area pembatas seperti kampung Kristen, kampung Muslim, atau kampung yang mempunyai label suku dan etnis tertentu. Kehidupan sosial yang membaur ini kian langka ditemukan, terutama di perkotaan. Bahkan, saat ini tidak sedikit pengembang (developer) yang membangun perumahan sekaligus sekat: tembok yang memisahkan atau dengan memberi label tertentu pada bangunan atau perumahannya, misalnya perumahan syari’ah atau label-label lain yang menyebabkan kelompok lain tidak bisa mengakses karena berbeda.
Pagi, sekitar pukul 09.00 WIB, warga Getas berduyun duyun datang ke pendopo Saddhapala Jaya untuk menghadiri acara syukuran tiga tahun terbentuknya organisasi perempuan Budha: Wanita Therevada Indonesia (Wandani). Sebagian warga duduk di kursi yang sudah disediakan panitia, sebagian berdiri di dekat panggung dan sebagian lainnya duduk di halaman rumah warga. Mereka menunggu prosesi acara dimulai.
Tidak berselang lama acara arak-arakan dimulai. Peserta yang mengenakan pakaian dengan mayoritas warna kuning mulai jalan menyusuri Dusun Krecek. Di barisan depan, salah satu peserta membawa nasi gunungan sebagai simbol upacara ulang tahun. Setelah sampai di pendopo Saddhalapa, mereka disambut oleh warga yang hadir yang terdiri dari berbagai kalangan. Tidak hanya umat Budha, namun umat agama lain juga hadir termasuk para tokoh agama, sesepuh, pemerintahan desa dan pemerintahan kecamatan.
Situasi guyub rukun ini tampak hangat. Meski ini adalah acara umat Budha, namun dalam merayakan perhelatan ulang tahun Wandani, warga dari umat agama lain juga berpartisipasi dalam perayaan tersebut. Mereka bekerjasama mulai dari persiapan acara, sampai proses acara dimulai. Warga terlibat mulai dari pembagian makanan kecil hingga penataan parkir di lapangan dusun Krecek. Tidak hanya itu, di akhir sesi ada pertunjukan tari topeng ireng yang diperankan oleh warga desa Getas dari berbagai dusun dengan latar belakang agama yang berbeda. Begitulah salah satu potret keberagaman desa Getas. Sebuah desa di Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung.
Miniatur Indonesia dalam Keberagaman
Desa ini berada di perbukitan dengan ketinggian 700-1200 mdpl, diapit oleh gunung Ungaran, Sindoro dan Sumbing. Desa Getas bisa dibilang miniatur Indonesia dalam konteks keberagaman. Ada empat agama yang dianut oleh warga desa itu, yaitu Islam, Kristen, Katolik dan Budha. Jumlah penganut keempat agama tersebut hampir seimbang.
Berdasarkan pengalaman penulis pada tahun 2017, warga di sana seakan tidak mengenal bahasa “mayoritas dan minoritas”. Istilah “intoleransi” tidak berlaku di sini: mereka menikmati kehidupan yang rukun tanpa membenci dan curiga meski berbeda agama. Di tengah keberagaman tersebut, mereka tetap berinteraksi dengan nyaman dan aman, termasuk melakukan berbagai kegiatan dalam membangun desanya.
Desa yang jaraknya sekitar 19 km dari kota Temanggung ini mempunyai pemandangan yang berbeda dibanding desa-desa lain umumnya. Mengunjungi desa ini, anda bisa melihat rumah ibadah yang berjejer hampir berdekatan, seperti pemandangan di Dusun Porot. Jika menyusuri jalan dusun tersebut, anda akan melihat sebuah bangunan masjid, gereja dan vihara tidak lebih dari 10 meter jaraknya. Tentunya, ini merupakan pemandangan langka di sebuah desa yang umumnya hanya ada rumah ibadah satu atau dua agama. Di sisi lain, apa yang terlihat di desa ini mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam.
Di Getas, masyarakat hidup berdampingan dengan tanpa segregasi sosial. Tidak ada area pembatas seperti kampung Kristen, kampung Muslim, atau kampung yang mempunyai label suku dan etnis tertentu. Kehidupan sosial yang membaur ini kian langka ditemukan, terutama di perkotaan. Bahkan, saat ini tidak sedikit pengembang (developer) yang membangun perumahan sekaligus sekat: tembok yang memisahkan atau dengan memberi label tertentu pada bangunan atau perumahannya, misalnya perumahan syari’ah atau label-label lain yang menyebabkan kelompok lain tidak bisa mengakses karena berbeda.
Praktik Baik dan Unik yang Bisa Ditiru
Berdasarkan gambaran kerukunan di tengah keberagaman di Desa Getas, menurut Prof. Dr. Kaelan disebut sebagai kehidupan yang Pancasilais yang bersifat majemuk tunggal, di mana ada empat unsur yang setidaknya dapat membangun persatuan mereka, yaitu kesatuan sejarah, kesatuan nasib, kesatuan kebudayaan, kesatuan wilayah dan kesatuan asas kerohanian.
Berikut adalah beberapa praktik baik dan inspiratif yang patut ditiru dari kebiasaan masyarakat Getas:
Sikap tolong menolong tanpa pamrih
Bagi masyarakat Desa Getas, saling menolong tanpa pamrih adalah keharusan sebagai manusia. Tolong menolong yang khas di desa ini, contohnya, tampak ketika salah satu anggota masyarakat yang berduka. Para tetangga langsung sigap membantu proses persiapan pemakaman sampai pemakaman tersebut selesai. Lebih dari itu, para tetangga turut mengambil alih beban tanggung jawab yang dirasa memberatkan keluarga yang sedang berduka. Jika orang yang berduka mempunyai hewan peliharaan, secara otomatis para tetangga mengambil alih tanggung jawab tersebut dengan mengurus hewan peliharaan secara bergantian, mulai dari mengambil rumput, memberi makan dan minum hingga membersihkan kandang setiap pagi. Dengan demikian, beban keluarga yang berduka akan sedikit berkurang dan bisa fokus untuk mengurus aktivitas penting lainnya terkait dengan duka. Praktik ini sampai sekarang masih berjalan karena menurut mereka ini adalah wujud dari saling tolong menolong yang diajarkan oleh agamanya.
Menerapkan nilai-nilai kemanusiaan sejak dini
Praktik inspiratif lainnya dalam mengelola keragaman diterapkan di Sekolah Dasar (SD) Getas 2 dan 4, SD yang ada di Desa Getas. Sebagai sosok yang bekerja dalam institusi pendidikan, para guru di SD tersebut memahami betul bahwa pendidikan dasar merupakan salah satu pondasi dalam menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah ruang di mana anak-anak bisa belajar dan mempraktikkan nilai-nilai toleransi, disiplin dan saling menolong.
Salah satu guru yang mempunyai cerita unik di SD Getas adalah Indri, seorang guru beragama Kristen. Indri sering mengajar anak-anak yang beragama Islam dan Budha di saat guru lain berhalangan hadir. Hal serupa juga dilakukan oleh guru agama lain seperti Islam dan Budha, mereka sama-sama mengajar kelas agama yang berbeda saat gurunya “kosong”. Kesempatan tersebut digunakan untuk mengajarkan sikap-sikap toleran kepada murid.
Hal ini menjadi praktik yang biasa dilakukan oleh mereka karena secara pengetahuan sedikit banyak mereka juga memahami ajaran-ajaran agama lain. Kebiasaan itu juga terjadi karena seringnya mereka berinteraksi dalam kegiatan keagamaan di masyarakat, belum lagi tersedianya mata pelajaran di sekolah yang bisa dipelajari untuk diajarkan ke murid-murid. “Saya bisa nulis huruf Arab meskipun tidak selancar guru agama Islam,” tutur Indri saat berbincang dengan penulis di rumahnya.
Di SD 2 dan 4, siswanya beragam seperti halnya penduduk Getas. Semua siswa mendapat mata pelajaran agama sesuai dengan agamanya masing-masing. Hanya saja saat memasuki mata pelajaran agama mereka dibagi menjadi tiga kelas sesuai dengan agamanya. Namun terkadang ada juga satu/dua anak yang ingin tahu kelas lain karena merasa penasaran.Guru tetap membebaskan dan memberikan kesempatan yang sama bagi anak yang ingin mempelajari agama lain.
Membiasakan dialog damai
Pernah terjadi konflik di tengah masyarakat yang beragam ini? Pada 2013, di Desa Getas pernah terjadi gesekan antara umat Islam dan Budha. Saat itu umat Islam sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Sebenarnya dalam peringatan ini, seperti kebiasaan di sana, umat Budha dan Kristiani hadir. Konflik bermula dari kejadian kecil saat sesi doa. Saat itu ada kesalahpahaman dari tindakan kecil umat Budha yang menyinggung perasaan sebagian kecil umat muslim di Getas. Sayangnya, informasi tersebut menyebar kemana-mana sehingga banyak umat muslim dari luar desa Getas terprovokasi.
Menyadari konflik terjadi, kepala desa segera bertindak sigap dengan mengumpulkan para tokoh untuk berdialog. Kasus ini tidak lama selesai dan segera kembali seperti suasana sebelumnya. Konflik ini segera terpecahkan karena masyarakat Getas sudah mempunyai modal sosial yang kuat. Kekerabatan dan ketahanan sosial yang ditempa bertahun-tahun dalam budaya saling memahami, membuat warga tidak mudah diprovokasi.
Upaya mengelola kerukunan di tengah keberagaman
Dari praktik baik yang diterapkan masyarakat Getas, setidaknya ada tiga hal yang membuat kehidupan mereka tetap berjalan dengan damai laiknya kehidupan “normal”. Dalam istilah Zainal Bagir, situasi ini disebut sebagai bentuk pengelolaan pluralisme kewargaan. Tiga hal berikut ini bisa menjadi salah satu rujukan bagi desa-desa lainnya dalam mengelola kerukunan, khususnya di tengah keberagaman keyakinan dan budaya.
Pertama: ada pengakuan (rekognisi) dari masyarakat dan pemerintah desa kepada semua kelompok. Baik dalam hal administrasi kependudukan maupun dalam hal melakukan kegiatan. Semua warga dan golongan diberi ruang dengan porsi yang sama.
Kedua: pelibatan semua kelompok dalam setiap aktivitas masyarakat maupun dalam pengambilan keputusan. Partisipasi menjadi penting dalam sebuah kehidupan yang beragam seperti di Getas. Pada konteks pemerintahan, pelibatkan semua komponen berarti sebagai bagian dari transparansi dan upaya mengakomodasi semua kepentingan sehingga tidak ada dominasi maupun diskriminasi dari kelompok kepada kelompok lain. Dalam konteks masyarakat desa, ketika kegiatan sosial dilangsungkan, baik keagamaan maupun kegiatan rutin sehari-hari, seperti hajatan maka semua komponen agama akan diundang tanpa harus diingatkan. Sebaliknya, jika ada warga yang tidak melibatkan kelompok agama lain itu dinilai sebagai keanehan.
Ketiga: redistribusi sumber daya yang berarti mengatur pola hubungan produksi yang sebangun dengan pola pengelompokan sosial keagamaan. Pemerintah lokal berpihak pada semua kelompok dan memberikan akses pelayanan publik dengan baik tanpa ada diskriminasi pada salah satu kelompok.
Masih banyak lagi ruang perjumpaan dan interaksi yang menjadi modal sosial sekaligus potensi ketahanan masyarakat dari pengaruh luar yang dimiliki oleh desa Getas. Sebagai contoh, para pemuda dan pemudi Getas masih giat latihan tari Topeng Ireng, Kuda Lumping, dan Kuntulan. Kesemua tradisi tersebut dipertahankan di tengah semakin langkanya inisiatif mempertahankan tradisi lokal dan asyiknya kaum muda dengan gawai dan media sosial.
Daftar Pustaka
Ningsih, (2018). Mengenal desa Getas. Diakses pada 29 November 2018 dari https://www.plukme.com/post/1522401664-mengenal-desa-getas-kecamatan-kalorantemanggung-jawa-tengah-Ningsih
Kaelan, (2018), Heterogenitas Kehidupan Berbangsa, Makalah yang disampaikan di Seminar Nasional tanggal 22 Nopember 2018.
Zainal Bagir, dkk. (2016). “Pluralisme Kewargaan”, CRCS. Hal. 44
Maskur, (2016). Laporan Assessment di Jawa Tengah. Jakarta, AMAN Indonesia.
Maskur, (2018). Menghormati Kebhinekaan dan Mengelola Perbedaan. Dokumen. Magelang, Pendidikan Berparadigma Pancasila.
Sumber gambar: Getas
Satu komentar untuk “(Bahasa Indonesia) Belajar Keberagaman dari Desa Getas”