Pada tanggal 4 Desember 2014, Hanif Dhakiri, Menteri Ketenagakerjaan, menerbitkan Peraturan Menteri No. 22 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Peraturan ini merevisi peraturan sebelumnya yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 14/MEN/X/2010 yang dinilai tidak sesuai lagi dengan kondisi dan perkembangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Salah satu dari peraturan ini mengatur tentang Perjanjian Kerja, yaitu perjanjian tertulis antara buruh migran dengan Pengguna/Majikan yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian ini menjadi penting sebagai dasar pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak (TKI dan Pengguna/Majikan).
Proses Perjanjian Kerja dimulai pada saat pengesahan job order oleh KBRI/KJRI/KDEI yang dilakukan oleh agensi/mitra PPTKIS di negara penempatan. Perjanjian kerja kemudian ditandatangani oleh calon majikan, lalu ditandangani oleh calon TKI di tempat penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan, disaksikan oleh pegawai Dinas Provinsi atau Dinas Kabupate/Kota. Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 27 Peraturan ini menjelaskan bahwa Perjanjian Kerja sekurang-kurangnya memuat:
a) Identitas pengguna (nama, nomor kartu identitas, pekerjaan, alamat);
b) Identitas TKI (nama, nomor paspor, nomor visa, nomor rekening di Indonesia, alamat di Indonesia);
c) Jabatan dan jenis pekerjaan TKI;
d) Hak dan kewajiban para pihak;
e) Kondisi dan syarat kerja yang meliputi : Jam kerja, upah/gaji dan mekanisme pembayaran gaji,
satu hari libur dalam satu minggu/kompensasi, waktu istirahat dan hak cuti, fasilitas akomodasi, rekening perbankan atas nama TKI di negara penempatan, akses komunikasi kepada keluarga di daerah asal dan jaminan sosial atau nomor kepesertaan asuransi yang ditanggung oleh pengguna.
f) Jangka waktu perjanjian kerja;
g) Penyelesaian sengketa.
Dalam standar Perjanjian Kerja yang diatur dalam peraturan ini, poin 5 secara tegas mengatur bahwa TKI diberikan waktu istirahat sekurang-kurangnya 9 jam per hari secara terus menerus. Jika TKI mendapatkan waktu istirahat kurang dari 9 jam/hari, maka pengguna wajib membayar kompensasi.
Jika waktu istirahat untuk buruh migran sekurang kurangnya adalah 9 jam, maka peraturan ini seperti menyuruh buruh migran untuk bekerja 15 jam kerja/hari, atau 105 jam/minggu. Hitungan jam itu mengacu pada 7 hari dalam seminggu karena praktiknya TKI sektor PRT tidak diberi hak libur dalam satu minggu. Jika dibandingkan dengan buruh industri di Indonesia, perbedaan waktu kerja TKI sektor PRT mencapai 8 jam dalam sehari. Dalam satu hari buruh industri di Indonesia waktu kerjanya adalah 7 jam/hari atau 42 jam/minggu (Pasal 77 UU 13/2003).
Kebijakan perburuhan yang diberlakukan oleh Hanif Dhakiri di abad 21 ini, mundur 3-4 abad kebelakang. Kebijakan ini mengingatkan pada sejarah perlawanan buruh di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat pada abad 19 karena buruknya kondisi kerja. Perlawanan itu dilakukan dalam bentuk pemogokan oleh pekerja Cordwainers di Amerika Serikat pada tahun 1806. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam/hari. Sejak saat itu, gagasan Peter McGuire dan Matthew Maguire untuk menghormati hak buruh (terutama pengurangan jam kerja) menjadi perjuangan bersama di Amerika Serikat.