Buruh migran bekerja ke luar negeri bukan untuk membunuh, jika itu terpaksa dilakukan, pasti ada penyebab besar yang melatarbelaknginya. Tentu hal yang melatarbelakanginya tak mungkin berdiri sendiri, sayangnya informasi mengenai hal tersebut sangat miskin sekali, sehingga upaya hukum dari pembela hukum dan upaya diplomatik gagal total.
Berbeda misalnya jika informasi mengenai penyebab peristiwa itu disampaikan kepada publik, sehingga bisa membangun opini, mempengaruhi keputusan pengadilan atau keputusan ahli waris baik sebelum akil balig (dewasa) maupun sesudahnya. Pendekatan kekeluargaan juga dipastikan akan gagal jika informasi mengenai peristiwa yang melatar belakanginya tidak diungkap.
Dalam hal seleksi pengacara yang menjadi ujung tombak pembelaan hukum, publik juga tidak tahu seberapa jauh kualitas pengacara yang diperbantukan untuk membela. Sehingga kasus-kasus seperti ini selalu berakhir dengan hukuman mati yang menimpa buruh migran atau diyat yang tidak memnuhi aturan syariat (100 ekor unta, dan bila pelakunya perempuan maka separuhnya).
Negara dan PPTKIS/ PJTKI sangat berkontribusi mendorong terjadinya situasi yang membuat buruh migran terpaksa melakukan tindakan di luar kehendaknya sehingga sampai dihukum mati. Kontribusi tersebut antara lain :
1. Pemerintah sembrono memberikan izin kepada PPTKIS untuk menempatkan buruh migran ke luar negeri tanpa mempertimbangkan apakah negera tujuan memiliki aturan perlindungan buruh migran, atau Bilateral Agreement atau nota kesepahaman. (Sampai saat ini dari sekitar 60 an negara tujuan penempatan TKI, pemerintah baru menjalin MOU dengan 12 negara tujuan penempatan).
2. Pemerintah tidak bisa mengontrol biaya penempatan yang logis dan terukur yang dibebankan kepada majikan (Selama ini majikan di Arab diberi beban 30 jutaan dan pasca moratorium 60 jutaan) sehingga majikan merasa seolah-olah telah membeli buruh migran dan makin melanggengkan praktik perbudakan di negara Arab.
3. Sebagian alokasi biaya penempatan yang menjadi tanggungan majikan dipergunakan untuk pelatihan dan belanja alat peraga yang jumlahnya mencapai 6 jutaan. Sayangnya alokasi untuk itu tak dilaksanakan oleh PPTKIS/PJTKI, sehingga buruh migran tidak terampil dan berujung pada banyaknya kekerasan fisik, seksual, gaji tidak dibayar dan sebagainya.
4. Pemerintah seharusnya menekan atau memberikan sanksi ketika PPTKIS tidak melaksanakan fungsi perlindungan dalam bentuk pemantauan secara berkala (6 bulan sekali dan 3 bulan jelang kepulangan). Pada saat diskusi tripartit, Nusron Wahid, Kepala BNP2TKI sempat mengatakan hingga saat ini (Desember 2014) tidak ada satupun PPTKIS/PJTKI yang memberikan laporan pemantauan kepada Kepala BNP2TKI.
5. Layanan pengaduan yang diselenggarakan pemerintah masih berprinsip sekedar memenuhi kewajiban atau asal ada. Sedangkan tindak lanjutnya sangat tidak berpihak kepada buruh migran. Selain itu akses terhadap buruh migran di luar negeri sangat sulit.
6. Kerjasama penempatan buruh migran antara Indonesia-Arab Saudi baru terjadi pada akhir masa jabatan Muhaimin Iskandar (Februari 2014), padahal penempatan ke negera kaya minyak itu sudah terjadi sejak lama.
Berkaca dari itu sangat besar sekali kontribusi pemerintah dan PPTKIS mengkondisikan buruh migran kedalam situasi hukuman mati. Perlu diketahui bahwa Arab Saudi telah menyetujui 5 (lima) perjanjian HAM internasional yang menetapkan bahwa negara harus menghapus diskriminasi ras dan gender, melindungi hak anak, melarang penyiksaan, dan mencegah serta menghukum pelaku perdagangan manusia. Perjanjian tersebut antara lain : Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)/Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Convention on The Eliminations of Racial Discrimination (CERD)/Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Convention Against Torture (CAT)/Konvensi Menentang Penyiksaan dan Protocol Trafficking.
Sumber : Serikat Buruh Migran Indonesia