Oleh Gus Adhim
Sekali lagi kabar sedih datang dari negeri monarki Saudi. Saudara kita sesama anak Indonesia, Rumiyati, meregang nyawa akibat qisas pancung setelah didakwa membunuh majikannya. Berita Rumiyati seolah melengkapi daftar kisah tragedi TKW yang nasibnya sering jauh dari mujur.
Kasus penipuan oleh agen penyalur, pemerasan di tanah air, penelantaran, kekerasan dan pemerkosaan oleh majikan, menjadi menu rutin pemberitaan TKW Indonesia yang mengais rejeki di luar negeri.
Seperti biasanya, sebagian dari kita menjadikan Rumiyati sebagai bahan serangan ke para pihak yang dianggap salah. Paling mudah adalah menghujat pemerintah. Seribu sumpah serapah dibungkus kalimat ilmiah berhamburan di sepanjang pekan ini.
Rumiyati seolah menjadi martir sekaligus amunisi untuk menyerang siapapun yang mengurusi nasib TKW/TKI. Semua berebutan melepas tanggungjawab sosial dan menuding orang lain selalu keliru. Jarang yang mau ikhlas refleksi merenungi bencana sosial ini.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. ASY SYUURA:30)
Bersamaan rasa bela sungkawa kita semua untuk keluarga Ibu Rumiyati di Bekasi, saya menemukan ayat Al Quran yang layak sebagai bahan perenungan. Sesuai ayat di atas, bahwa apa saja musibah yang menimpa kita, itu karena perbuatan tangan kita sendiri.
Maka alangkah baiknya jika kita segera mengarifi muasal tragedi Rumiyati ini. Karena dengan perilaku kearifan itu, ciri cerdas diri kita akan nampak senyatanya. Sebaliknya kebiasaan menimpakan kesalahan pada orang lain adalah figur pribadi yang gagal mengelola jiwanya.
Sudahlah tidak patut dan tidak adil rasanya jika kita gebyah uyah menyalahkan pemerintah. Toh mereka juga sudah berupaya semampunya. Buktinya April lalu bapak-bapak TNI mewakili inisiatif pemerintah telah mengirim KM Labobar menjemput pulang TKW Indonesia yang telantar di Timur Tengah sana. Nah sementara kita yang biasanya cuma protes dan menyalahkan, sudah melakukan aksi riil apa sekarang?
Kritik kita yang semata emosional dan hanya berkacamata kuda akan kehilangan makna pesan baiknya. Apalagi jika kita cuma bicara sekadar mearamaikan palagan yang saling tuding-tudingan. Sedemikian banyak dan akutnya persoalan di negeri ini, tidaklah layak kalau hanya kita timpakan kesalahan pada pihak tertentu saja.
Jika kita merasa anak-anak yang dilahirkan ibu pertiwi dan tumbuh bersama di bumi Indonesia, maka kesalahan yang menyebabkan tragedi TKI adalah kesalahan kita juga. Rumiyati adalah elegi pertiwi yang patut jadi refleksi pribadi-pribadi. Bahkan kita yang hanya sibuk menumpuk rejeki halal untuk pribadi saja tanpa memikirkan kebutuhan diri/keluarga lain, sama saja dengan ciri perilaku penjahat. “Laa yakhtakiru illaa khaatiuun,” begitu sabda Nabi.
Setiap kita wajib belajar dari kesalahan ini. Sudah ratusan kali TKW kita menanggung resiko sebagai buruh di manca negara, tapi kenapa eksodus kaum ibu ini selalu berlanjut? Di mana fungsi sosial keluarga kita yang mestinya berbagi peran secara berkeadilan??
Jika diperbolehkan protes gugat, mewakili rekan-rekan TKW yang saat ini masih menunggu mati, saya akan bertanya:
“Wahai para pria, teganya kalian kirim wanita-wanita mulya ke tanah panas sana? Sementara kalian ongkang-ongkang sumringah di rumah menunggu jatah? Oh lelaki, masihkah kalian berani bertanggungjawab sebagai suami yang menyejahterakan kami kaum isteri-isteri ini tanpa harus pergi jadi TKI? Oh bapak-bapak, kenapa kalian ijikan ibu-ibu pertiwi itu bertualang sendirian ke belantara preman hanya untuk mencari makan??
Oh, Indonesia bisakah kalian kembalikan rahim peradaban dan peran keguruan zaman kepada kami wanita penyambung generasi ini? Oh, para pibadi dan keluarga nusantara, apa yang sudah kalian lakukan untuk menyelamatkan kami yang menunggu mati saat ini?”
Senyampang protes refleksi itu, saya juga berharap komunitas ormas Islam di Indonesia kiranya lebih peka menyikapi fakta seperti ini. Daripada sibuk berwacana dan berdebat dengan pembenaran klaim firqoh madzhab-nya, tidakkah lebih afdol menyediakan lapangan pekerjaan buat Rumiyati dkk?
Berbareng ritual rutin yang tradisional, alangkah mulyanya jika memikirkan juga cara yang sederhana agar para perempuan Indonesia tetap produktif di rumah sehingga tidak perlu berdarah-darah ke timur tengah untuk cari maisyah.
Saya sendiri turut merasa urun salah. Karena belum bisa mengajari Ibu Rumiyati keterampilan bekerja sistem SOHO (small office home office) berbasis teknologi informasi yang memungkinkan ia menekuni profesi isteri karir di kantor rumah. Setidaknya dengan SOHO itu, Ibu Rumiyati bisa menjadi kepala madrasah di sekolah rumah: mengawal survival kehidupan sekaligus mendampingi proses pembelajaran keluarganya.
Rasa bersalah dibarengi perenungan refleksi dan tindaklanjut aksi solutif nan gegas, akan menjadikan diri kita cerdas. Pada kasus Ibu Rumiyati, kearifan tindakan kita akan diuji sekaligus menghindari terawangan prihatin Presiden Soekarno pada pidato Agustus 1963 berikut ini:
“….maka kelak sejarah akan mencatat: di sana, di antara benua Asia dan Benua Australia, di antara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia, ada bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup sebagai bangsa, tetapi akhirnya menjadi kuli di antara bangsa-bangsa, kembali menjadi “een natie van koelies, en een koelie onder de naties””
Dimuat di Surabaya Post, 23 Juni 2011.