Selama ini kita sering mendengar Buruh Migran Indonesia (BMI) yang gagal mengurus asuransi, kemudian mereka hanya dapat pasrah karena merasa mendapati jalan buntu. Tidak sedikit pula di antara mereka yang gagal mendapatkan haknya kemudian menyatakan hal itu “bukan rizkinya”.
Kasus-kasus semacam itu banyak dialami oleh buruh migran kita yang sedang mengalami masalah sulit saat bekerja di luar negeri.
Parahnya, hal ini dianggap sebagai sebuah persoalan biasa, sehingga tidak perlu disikapi, apalagi dipersoalkan. Selama melakukan diskusi dengan mantan BMI di beberapa daerah, saya menemukan pelbagai kasus, misalnya penyiksaan oleh majikan, pemutusan hubungan kerja (PHK), kecelakaan kerja, gaji tidak dibayar, pelanggaran kontrak kerja, pelecehan seksual, pemerkosaan, meninggal dunia, BMI hilang, kerja di di bawah umur, dan kerja tidak sesuai kesepakatan kontrak kerja. Di negara tujuan, mereka berjuang sendiri, tanpa ada bantuan pemerintah Indonesia. Banyak di antara korban tersebut yang tidak mendapatkan haknya sebagai anggota asuransi BMI, meskipun premi sudah mereka bayarkan kepada konsorsium.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) wajib mengikutsertakan calon BMI/BMI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam program asurasni TKI kepada konsorsium yang telah ditunjuk dengan membayar biaya sebesar Rp. 400.000,-. Dengan rincian, 1) Rp. 50.000,- untuk premi asuransi BMI prapenempatan. 2) Rp.300.000,- premi asuransi BMI selama masa penempatan. 3) Rp. 50.000,- premi asuransi BMI pascapenempatan. Jika dihitung jumlah BMI resmi yang bekerja di luar negeri sebanyak 4 juta orang, maka total dana yang diterima oleh konsorsium asuransi adalah sebesar 1,6 triliyun rupiah.
Namun, tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan bisnis lain, perusahaan asuransi BMI juga lebih memerhatikan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Mereka seakan enggan bertanggung jawab terhadap persoalan BMI dengan alasan tidak dipenuhinya syarat-syarat pengajuan klaim asuransi sebagaimana yang telah ditetapkan. Seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7 Tahun 2010 Bab VII Pasal 26, persyaratan yang harus dipenuhi oleh BMI yang mengajukan klaim, misalnya untuk korban PHK, di antaranya: 1. Waktu pengajuan selambat-lambatnya 12 bulan setelah terjadinya resiko (peraturan sebelunmnya hanya 30 hari). 2) Surat pengajuan klaim ditandatangani oleh BMI atau ahli waris yang sah dan bermeterai. 3. Menyertakan KPA asli (Kartu Peserta Asuransi). 4). Surat perjanjian kerja. 5) Surat perjanjian penempatan, 6) Surat keterangan PHK dari pengguna. 7) Surat keterangan Perwakilan R.I. di negara penempatan. 8). Surat penempatan dari Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri.
Banyaknya persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh BMI dan keluarganya tersebut sangat menyulitkan karena mayoritas mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar, banyak juga yang tidak dapat baca tulis, dan mayoritas mereka tinggal di daerah pedesaan, sehingga mengalami keterbatasan mendapatkan akses informasi dan pengetahuan. Melihat rumitnya persyaratan yang dibutuhkan untuk mengurus asuransi BMI, semakin mengarahkan kita pada kesimpulan tentang adanya sebuah kesengajaan agar para BMI yang berurusan dengan perusahaan asuransi tidak mendapatkan haknya. Hal itu dibuktikan dengan dipersulitnya pengurusan klaim asuransi BMI dari hulu ke hilir. Konspirasi ini juga melibatkan para oknum PPTKIS dengan perusahaan asuransi BMI. Banyak para oknum PPTKIS yang menawarkan diri untuk menguruskan klaim asuransi dengan imbalan jumlah uang tertentu jika berhasil mencairkan klaim tersebut. Bahkan besaran succes fee tersebut hingga 50 persen. Para BMI yang sedang dalam keadaan sulit ini hanya dapat menerima “peraturan” ini. Alasan mereka, lebih baik dapat setengahnya daripada tidak mendapatkan sama sekali.
Menurut ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, pada bulan September lalu ada 36.000 klaim asuransi BMI yang bermasalah. Alasan yang diberikan oleh perusahaan asuransi bermacam-macam, mayoritas dikarenakan persyaratan yang tidak dipenuhi oleh BMI atau keluarganya. Himpunan PPTKIS yang merasa menemukan jalan buntu mengurus asuransi BMI pun melayangkan surat kepada Presiden untuk mengadukan tidak dibayarkannya klaim asuransi BMI.
Perlindungan BMI melalui sistem asuransi justru menjadikan buruh migran sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai subjek yang harus dilindungi. Seharusnya, sistem yang dibangun benar-benar untuk kepentingan BMI dengan memperhatikan kebutuhan dan fasilitas perlindungan yang dibutuhkan selama bekerja di luar negeri. Untuk itu, dibutuhkan konsorsium asuransi yang dapat menjalankan sistemnya secara bertanggung jawab dan konsisten, sehingga keberadaannya dapat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh BMI dan keluarganya.
Perusahaan asuransi yang bertanggung jawab, adalah perusahaan yang mengubah paradigama, dari yang sebelumnya hanya berorientasi pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi paradigma melayani dan memberikan perlindungan asuransi yang optimal kepada BMI dan keluarganya. Perusahaan asuransi juga dapat lebih aktif dalam merespons setiap klaim yang diajukan oleh pemegang polis. Perubahan paradigama ini merupakan sebuah keniscayaan sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen pada undang-undang dan pada nilai-niali kemanusiaan yang selama menjadi motto para perusahaan asuransi. [mau]
HIngga saat ini dengan aturan yang ada dan pengawasan yang lemas, sepertinya asuransi BMI ya untuk mencurangi.. Alih-alih memberikan bantuan, untuk menertibkan mekanisme saja sangatlah sulit.