(Bahasa Indonesia) Anak-anak, Pandanglah Sebagai Harapan Jangan Dipupuskan

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

“Dehumanized: Jangan Tinggalkan Aku, Ibu…”, (2012, Cat Minyak di Kanvas, 150 x 130 cm). Lukisan karya  SRI WAHYUNINGSIH, S.Fil.  Usia emas, yang adalah juga usia rentan anak, seringkali terkorbankan demi kebutuhan hidup. Materi menjadi ganti kehadiran ibu/orang tua, yang justru rentan mendidik anak menjadi mahluk konsumtif.
“Dehumanized: Jangan Tinggalkan Aku, Ibu…”, (2012, Cat Minyak di Kanvas, 150 x 130 cm). Lukisan karya SRI WAHYUNINGSIH, S.Fil. Usia emas, yang adalah juga usia rentan anak, seringkali terkorbankan demi kebutuhan hidup. Materi menjadi ganti kehadiran ibu/orang tua, yang justru rentan mendidik anak menjadi mahluk konsumtif.

Oleh : Sri Wahyuningsih ***

Saya akan mengawali tulisan ini dengan beberapa pertanyaan. Mengapa prosentase penduduk Kulon Progo yang pernah menjalani profesi sebagai Buruh Migran bisa mencapai 90 %?. Meskipun angka tersebut akumulatif, namun itu masih merupakan angka yang sangat besar.  Lantas jika dilihat dari kacamata awam kemudian akan muncul pertanyaan selanjutnya. Begitu menarikkah profesi ini?, begitu menjanjikankah?, atau barangkali karena tidak ada pilihan(alternatif) lain?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu sangat mungkin muncul, mengingat mereka harus berpisah dengan keluarga dalam jangja waktu yang cukup lama dan dengan jarak yang sangat jauh serta resiko yang tentunya belum bisa diperhitungkan.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut butuh waktu tidak singkat, dibutuhkan pencarian data serta analisis tajam. Barangkali yang dapat saya lakukan dalam tulisan ini adalah melontarkan temuan masalah dengan harapan akan mendapat tanggapan dari banyak kawan, sehingga akan menemui satu titik terang berupa solusi dan gagasan.

Berdasarkan pengamatan sekilas, Kulon Progo tampak sebagai daerah yang sangat subur dan memiliki potensi alam lebih. Ketika saya di sana dalam rangka live in untuk proses berkarya beberapa waktu lalu, para petani sedang panen cabai. Harga jual saat itu bisa dikatakan lumayan, Rp.16.000,- per kilogram, selain itu hampir di semua wilayah tampak banyak tanaman kelapa tumbuh dengan sangat subur. Ini merupakan gambaran satu potensi komoditi (kayu dan kelapa) yang masih potensial untuk di kembangkan.

Namun demikian kami mendapatkan pandangan lain dari Fajar pudiarna, Staf IWORK yang sudah menetap di wilayah ini hampir tiga tahun. Menurutnya wilayah subur di Kulon Progo hanya sebagian kecil saja, fakta yang benar mayoritas wilayahnya adalah lahan berpasir yang susah ditanami. Hal ini menurut pandangan Fajar Purdiana yang menjadi salah satu penyebab sebagian besar penduduk Kulon Progo tertarik mengadu nasib menjadi Buruh Migran.

Data lain yang kami himpun potensi wilayah ini sebenarnya sangat beragam. Tapi yang patut disayangkan pengelolaan masih belum maksimal. Sektor kerajinan misalnya, terdapat sentra produksi kain tenun berbasis Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Wilayah desa tersebut juga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi desa wisata.
Potensi lain yang tidak kalah potensial adalah pantai. Kulon Progo memiliki garis pantai panjang, iika dikelola dengan baik maka akan menjadi objek wisata yang luar biasa. Misalkan Pantai Glagah sebagai tempat ideal untuk olah raga dayung dan sepanjang garis pantai yang sangat cocok dijadikan agro wisata melon, semangka dan buah naga.

Bangunan-bangunan di Kulon Progo masih didominasi oleh bangunan rumah gedung dengan struktur bangunan modern yang mempergunakan beton dan kayu. Sepintas melihat situasi tersebut gambaran krisis ekonomi tidak tampak berpengaruh di wilayah ini. Sebagian rumah bahkan dinding depannya dihiasi keramik. Konon ini menandakan sang pemilik pernah bekerja sebagai BMI di Timur Tengah (Arab). Mereka meniru rumah-rumah bergaya Arab yang dinding luarnya dihiasi marmer.

Meskipun demikian, sebagian lain masih tampak beberapa bangunan rumah berarsitektur Jawa dengan bentuk atap yang khas berupa limasan. Fenomena pergantian model rumah tradisional Jawa dengan rumah gedung merupakan bisnis tersendiri.

Ada sebuah cerita dari seorang teman, dia mengatakan rumah tradisional Jawa yang terbuat dari rangka kayu dan dinding gebyok dapat dibongkar dan dipasang kembali di tempat yang berbeda. Biasanya kayu-kayunya adalah pilihan, yang dijamin kuat dan tidak akan berubah bentuk (molet), jenis kayu biasanya adalah kayu jati, nangka, dan paling apes adalah glugu tua. Jika dilihat dari kacamata budaya, hal ini tentunya sangat menyedihkan.

Disamping pertimbangan struktur rumah kayu jawa relatif lebih tahan gempa di banding rumah gedung yang dibangun secara sembarangan. Hal ini mengingat wilayah kita yang berada dititik “ The Ring Of Fire”, atau wilayah cincin api.

Belum lagi masalah anak-anak yang ditinggalkan. Contoh kasus yang kami temui, seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya sejak usia dua tahun. Sampai sekarang ketika menginjak remaja, anak ini belum bersama orang tuanya dan tidak bersekolah pula. Bisa dibayangkan, anak-anak yang berada dalam asuhan orang tuanya serta bersekolah saja dapat mengalami perkembangan yang buruk, apalagi yang tanpa didampingi orang tua dan tanpa sekolah?.

Pada konteks yang lebih besar dan luas, masalah bagaimana mendidik generasi penerus dalam hal ini anak-anak sangatlah menentukan. Akan bagaimana kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan tertentu akan sangat menentukan. Akan bagaimana masyarakat yang kemudian dikelola oleh anak-anak tersebut.

Contoh kasus tentang hasil pendidikan yang salah kebetulan sangat dekat dengan kehidupan saya. Salah satu keponakan suami saya yang tinggal di Aceh suatu ketika pulang kampung, Umurnya sekitar 30 tahun, konon dia bercerai karena kasus KDRT. Sekembalinya dia banyak timbul masalah di keluarga besar suami saya. Keluarga seperti terpecah belah karena timbul perbedaan sikap, cara pandang dan tindakan menghadapi persoalan-persoalan yang di timbulkannya.

Baru kemudian diketahui dia mengidap psikopatologis, gangguan kepribadian, anti sosoial.  Banyak masalah yang dia timbulkan, tapi tidak pernah merasa, tidak dapat berfikir dia salah dan keliru. Sangat boros, banyak hutang di mana-mana karena dia tidak bisa menunda pemuasan diri. Seperti halnya juga dia tidak punya rasa malu.
Siapapun yang ditemui entah kenalan lama atau baru pasti dicari peluang supaya bisa berhutang.

Pinjam surat berharga untuk digadaikan adalah modus lain yang dipergunakan untuk mendapatkan uang. Meskipun belum pernah terbukti dia yang mengambil, setelah keberadaannya beberapa kali terjadi kasus kehilangan uang, BPKB-BPKB yang tiba-tiba hilang beserta Kartu keluarga. Dia juga cenderung tidak setia kepada pasangan dan sangat pandai berbohong (kebetulan dia PNS, cerdas, cantik, sehingga dari sisi penampilan membuat orang banyak percaya).

Dia sangat tidak peduli dengan urusan rumah tangga dan anak-anak. Semakin kompleks permasalahan karena akan keduanya penyandang difabel. Karena penyakit ini sudah sampai tahap akut, maka psikiater pun angkat tangan.

Penyakit tersebut bisa dikatakan hasil pendidikan yang tidak disadari salah dari kecil. Menurut buku tentang psikologi perkembangan anak, dalam setiap tahap perkembangan emosi anak bahkan sejak dalam kandungan, emosi anak harus selalu terjaga dalam kondisi positif sehingga dia akan mampu melaksanakan pengembangan emosi ke tahap berikutnya.

Sejak lingkup kecil, lingkup dia dan orang tuanya harus tercipta rasa aman, merasa diterima, dan  merasa dipercaya. Orang-orang yang ada di lingkunganya harus bisa bersikap tarik ulur terhadap anak.

Pada kasus yang saya paparkan di atas, saudara suami tersebut sejak kecil dia dititipkan pada “Mbah”nya karena kondisi kedua orang tuanya waktu itu belum stabil. Dia cenderung di manja oleh kakek-nenek dan semua orang yang ada di lingkungannya karena merupakan cucu pertama. Belum lagi kedua orang tuanya merasa berhutang karena tidak mengasuh sendiri sewaktu masih kecil. Sehingga ketika secara ekonomi orang tuanya cenderumg mapan mereka mengelontorinya dengan materi, mengambil alih tanggungjawab atas kesalahan anak.

Kembali lagi pada persoalan Buruh Migran, banyak persoalan timbul ketika seorang ibu atau ayah pergi ke luar negeri untuk bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama. Anak-anak harus berkembang tanpa asuhan dan didikan orang tuanya. Contoh perilaku orang tua yang kemudian mencari kepuasan di luar rumah ketika ditinggal pasangannya. Perselingkuhan yang mengakibatkan perceraian yang pada akhirnya berakibat pada proses perkembangan jiwa anak.

Belum lagi anak –anak yang dihasilkan oleh tindak kekerasan seksual majikan. Hal ini akan berdampak berkembangnya stigma di Masyarakat dan anak BMI mendapat perlakuan buruk, bahkan ada juga yang dijuluki anak onta karena bapaknya adalah majikan sang ibu saat bekerja di Timur Tengah. Sekian juta orang berangkat menjadi buruh migran, sekian juta pula anak beresiko untuk tidak terjamin pola asuhnya. Pada akhirnya sekian juta anak juga akan terjamin kualitasnya di masa datang.

Memandang persoalan Buruh Migran sebagai persoalan bangsa dan negara sekarang ini menjadi penting. Keputusan tindakan untuk berangkat menjadi Buruh Migran dipengaruhi kondisi politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya masyarakat. Mengapa orang Indonesia banyak yang memilih menjadi Buruh Migran dibanding mengelola potensi yang ada di tanah airnya, padahal posisinya di sana kebanyakan sebagai pekerja pada wilayah domestik (PRT) yang minim bekal keahlian serta rawan pelecehan di segala bidang.

Secara politik dan hukum keberpihakan dan perlindungan negara terhadap rakyat jelata sangat rendah. Hal ini nampak dari penerapan hukum dan regulasi yang tidak berpihak kepada kreatifitas dan kemandirian rakyat kecil. Para penyelenggara negara sibuk menjadi calo bagi modal asing atas potensi alam yang ada di Indonesia dari pada berfikir untuk mengelola dan mengembang sendiri potensi yang dimiliki demi kesejahtaraan rakyat.

Belum lagi gempuran konsumerisme tiada henti, kamuflase media, dan iming-iming kehidupan gemerlap yang diperoleh dengan instan membuat orang tidak lagi mau berfikir dan berusaha keras demi mencapai taraf hidup yang dianggap lebih baik. Belum lagi persoalan patokan kesuksesan yang hanya dilihat dari segi materi menjadi anggapan umum di masyarakat.

Sejak masa kuliah pada tahun 1992, saya telah banyak bersinggungan dan akhirnya terlibat dalam gerakan mahasiswa. Sampai kemudian penjadi anggota Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD). Pada periode tersebut paling tidak saya memiliki keyakinan, kepercayaan dan kemudian menimbulkan semangat untuk mengisi hidup dengan hal yang saya yakini benar, baik dan berguna.

Ini saya anggap setara dengan pengorbanan yang harus diberikan meninggalkan kuliah dan cita-cita pribadi, menjadi buronan dan hidup ala kadarnya. Sampai detik ini saya masih yakin sesama manusia di bumi ini berkehendak untuk bahagia. Tentang jabaran bahagia itu bagaimana dapat dideskrepsikan kemudian. Namun secara umum kalau materi adalah salah satu syaratnya saya sepakat, karena manusia di samping harus memenuhi kebutuhan pokok (saandang, pangan, papan) juga harus memenuhi kebutuhan sekundernya (liburan maupun kebutuhan merasakan kepuasan lainnya). Oleh karena inilah manusia mengusahakan materi.

Ketika di dalam negeri sendiri dirasa sangat sulit untuk mencari penghidupan atau materi. Maka ketika ada peluang untuk mendapatkan materi tersebut di luar negeri, berangkatlah sebagian penduduk negara ini menjadi Buruh Migran.

Pertanyaannya kemudian untuk berapa lama kemudian hal ini berlaku ?, untuk sementara waktukah?, atau untuk selamanya ?. Hal ini mengingat kebanyakan orang berangkat ke luar negri adalah orang-orang yang sudah berkeluarga, meninggalkan anak, istri dan suami.

Salah satu kasus yang saya temui adalah kasus suami dengan ketiga anaknya yang ditinggalkan istrinya sampai 12 tahun di Hong Kong. Kepulangan terakhir hanya selama 2 minggu dan kemudian pergi lagi ke Hong Kong karena kerjanya disukai oleh majikan. Sehingga kepergiannya genap 14 tahun. Terus terang saya takjub dan tak habis pikir. Lalu apa makna hidup mengikatkan diri dalam lembaga bernama rumah tangga?, apapun bentuk dari hidup berpasangan itu?, sebagai unit kecil ekonomi kah?.

Sang suami sudah tidak lagi mau menghalangi apapun kehendak istrinya pergi, dibiarkan saja, dia juga sudah tidak lagi mau memiliki alat komunikasi semacam telepon selular. “Sak karepmu lah“,  barangkali demikian yang dipikirkan oleh sang suami. Secara materi sang suami dan anak-anaknya tercukupi. Rumah beserta perabotan, tanah, sawah dan dua buah traktor dimilikinya. Tapi apa makna yang disebut sebagai keluarga? anak-anaknya tidak lagi tinggal dalam keseharian. Mereka lebih suka tinggal bersama keluarga sang paman dan bibinya. Menonton Televisi pun, dia lebih suka di rumah tetangga. Anak BMI di rumah sendirian, tiap malam mencari hiburan sendiri, memancing ikan, menjaring ikan atau apalah. Ketika anaknya sakit tidak ada yang dapat diajak berbagi beban dan kegelisahan.

Barang kali persoalan-persoalan inilah yang saya dapatkan ketika live in untuk observasi karya pada pameran karya seni untuk BMI yang akan digelar Perkumpulan Kebudayaan Tritura. Tentunya hal ini akan menjadi inspirasi bagi saya untuk berkarya (melukis) tentang orang-orang yang justru ditinggalkan “Pemeran utama” dalam drama TKI.

Pada perkembangannya, saya pernah sampai pada titik di mana saya kehilangan keyakinan, kepercayaan bahkan orientasi hidup ketika dihadapkan pada kondisi, secara subjektif organisasi yang terpecah belah, kawan-kawan yang tampak mulai memikirkan diri sendiri (bosan miskin) tak lagi teguh berpandangan, serta keyakinan (keagamaan) saya yang sulit sekali dikembangkan seperti sebelumnya.

Secara objektif kondisi menyedihkan POLEKSOSBUDHAKAM bangsa-bangsa ini relatif tidak punya pegangan. Tidak bersemangat berkarya karena membuat karya butuh penjiwaan. Hidup mengalir, mengerjakan yang menjadi tuntutan jangka pendek saja, urusan pekerjaan domestik sehari-hari dan bagaimana agar bisa makan dan hidup.

Ketika mendengar dan melihat, serta membaca berita saya melihat para pejabat kenegaraan seperti menunjukkan gejala yang tidak berbeda dengan tingkah polah keponakan saya tersebut di atas. Meminjam kata-kata Bakdi Sumano dalam Kompas Minggu 13 November 2011 “Watak tokoh politik yang tampak maupun di belakang layar tampaknya tidak memiliki karakter yang bisa dibanggakan, tidak punya malu, bertindak salah tapi bersuara keras, melukai orang banyak tapi mengutuk yang dilukai kalau tidak memaafkan”. Saya jadi berfikir jangan-jangan banyak sekali orang mengidap penyakit kejiwaan, bukan bawaan lahir tapi disebabkan kesalahan pola asuh cara didik yang salah, keliru entah oleh orang tua atau lingkungan.

Perenungan akhirnya sampai pada kesimpulan sementara bahwa anak-anak harus di selamatkan jika ingin kondisi ke depan kita tetap sama seperti sekarang. Sistem pendidikan terutama di masa pembentukan karakter anak harus dibenahi. SAYA KEMBALI MENEMUKAN FOKUS ANAK-ANAK. Intinya adalah penciptaan generasi yang terbebas dari sakit jiwa anak-anak yang seharusnya dididik sebaik-baiknya, sehingga tumbuh generasi yang lebih baik dari generasi yang sebelumnya. Anak-anak harus dipandang sebagaigenerasi yang tumbuh lebih baik dari generasi sebelumnya. Anak-anak harus dipandang sebagai harapan, maka harus dididik, diasuh dan dikelola sebaik-baiknya.

***  TULISAN INI ADALAH HASIL DARI LIVE IN DI KOMUNITAS BURUH MIGRAN DI KULON PROGO YOGYAKARTA, PENULIS ADALAH PESERTA PAMERAN ARTSPIRASI BURUH MIGRAN DI GALERI CIPTA 2 TIM PADA TANGGAL 2 MEi 2012

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.