Thematic

(Bahasa Indonesia) Quo Vadis Pemberdayaan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia?

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Oleh: Sugeng Priyanto (Pendiri & Direktur Signifikan Bina Insan)

Menyimak berbagai sumber bahwa Pekerja Migran Indonesia (PMI) bekerja di luar negeri karena motif ekonomi, alasan klasik yang sering muncul ialah sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri dengan penghasilan besar. Ada dua kemungkinan penyebab sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri dengan penghasilan besar: (1) belum terjadi link and match antara jumlah dan kualifikasi antara angkatan kerja dan ketersediaan lapangan kerja; (2) tingkat pendidikan formal dan keterampilan kerja yang masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2021, jumlah Penduduk Usia Kerja (PUK) berjumlah 205.360.436 dengan angkatan kerja sebesar 139.810.313 di mana 131.064.305 telah bekerja dan 8.746.008 atau sekitar 6,26% di antaranya merupakan penganggur terbuka. Jika dilihat dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk usia kerja, mayoritas berpendidikan rendah atau setara sekolah dasar (SD) sebesar 75.172.502 sebesar 36,61%.

Alasan rendahnya pendidikan sangat mungkin menjadi faktor bagi PMI berani menempuh risiko tinggi tanpa mempertimbangkan perlindungan hak, keamanan dan keselamatan yang sering dikenal dengan status non prosedural atau undocumented. Tak sedikit PMI yang terjebak jerat hutang untuk membiayai keberangkatan ke negara tujuan. Berbicara tentang biaya penempatan, hal ini telah diatur dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) bahwa biaya penempatan – menyangkut biaya administratif dan teknis sebelum keberangkatan –  seharusnya dibebankan pada pemberi kerja. Informasi ini mungkin tidak diketahui oleh PMI dan pada praktiknya pemerintah belum mampu untuk menerapkan aturan ini secara ketat. Sehingga, alasan PMI terjebak dalam praktik jerat hutang hingga menjadi PMI non prosedural tak sepenuhnya menjadi kesalahan PMI, namun lebih kepada persoalan tata kelola migrasi yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.

Kisah pilu nasib PMI di negeri orang dan kasus pemerasan selama perjalanan pulang sudah tidak terbilang. Kisah keluarga berantakan karena perceraian dan anak-anak yang menjadi korban jumlahnya bisa jadi mencapai ratusan bahkan ribuan. Tentu saja masih banyak kisah PMI sukses dan pola meraih sukses ini tentu akan sangat baik jika dapat menginspirasi PMI yang lain. Setidaknya ada 2 hal yang menjadi faktor sukses: (1) punya tujuan dan rencana aksi yang jelas; (2) PMI dan keluarganya mampu mengelola keuangan hasil kerja kerasnya dengan penuh komitmen untuk mewujudkan impian memiliki kehidupan yang lebih baik.

Komitmen pengelolaan keuangan termasuk menggunakan uang secara bijaksana sesuai rencana membangun masa depan, seperti untuk modal usaha, membangun aset dan biaya pendidikan anak. Sementara, ada PMI dan keluarganya yang menghabiskan uangnya untuk hal yang bersifat konsumtif seperti membangun rumah dan membeli kendaraan. Setelah uang habis, mereka berangkat lagi ke luar negeri. Belum lagi kasus-kasus uang yang diperoleh dengan bertaruh nyawa, disalahgunakan oleh keluarga PMI.

Memutus Lingkaran Setan

Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat per akhir Desember 2022 jumlah PMI sebanyak 200.761 orang yang diberangkatkan ke luar negeri. Sebagian besar bekerja di sektor formal sebanyak 115.944 dan sisanya di sektor informal sebanyak 84.817. Sementara itu, data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah PMI di luar negeri sebanyak 3,44 juta orang pada 2022. Jumlah itu naik 5,59% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 3,25 juta orang.

Kecenderungan kenaikan jumlah PMI dari tahun ke tahun seolah menjadi bukti pendukung alasan semakin sulitnya mencari penghidupan yang layak di negeri sendiri. Ini juga menunjukkan bahwa tren migrasi untuk peningkatan pendapatan rumah tangga migran semakin meningkat. Sementara migrasi tenaga kerja merupakan hak bagi warga negara untuk bergerak dan bekerja. Oleh karenanya, peran negara harus memastikan bahwa proses mereka bergerak, berpindah, dan bekerja harus aman dan selamat dalam aspek hukum, sosial, dan ekonomi.

Jumlah PMI yang bekerja di luar negeri sangat berkaitan dengan keterampilan yang dimiliki. Jika dibandingkan dengan pekerja migran dari Filipina yang sesama berasal dari kawasan ASEAN, posisi tawar dan bidang kerja yang bisa yang dimasuki tampak sangat timpang. Kualitas modal insani (human capital) antara kedua negara tampaknya berbeda. Mungkinkah PMI mampu meraih posisi tawar yang lebih baik dengan meningkatkan kualitas modal insaninya? Langkah upaya seperti apa yang diperlukan?

Melihat permasalahan yang terangkum pada awal pembahasan, penulis hendak menyajikan gagasan berbagai upaya yang dapat ditempuh baik oleh PMI maupun keterlibatan pemerintah dalam mengupayakan tercapainya pemberdayaan dan pelindungan pekerja migran Indonesia. Pertama, peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Menjadi kewajiban dan kewenangan pemerintah pusat untuk mengupayakan pendidikan terbaik yang dapat diakses oleh warga negara, baik dari segi infrastruktur hingga kualitas konten pendidikan.

Kedua, akses informasi berkesinambungan yang dapat diperoleh PMI. Pada era modern saat ini, akses informasi yang cepat dan akurat bukanlah suatu kemustahilan. Penyebaran informasi melalui media digital menjadi arus utama di samping sosialisasi atau penyuluhan yang wajib dijalankan oleh instansi pemerintah atau swasta terkait sebagaimana diamanatkan dalam UU PPMI, khususnya pada wilayah yang merupakan lumbung PMI. Gagasan ini tentunya dapat diimplementasikan dengan memaksimalkan pos layanan informasi PMI seperti Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), Dinas Ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota, maupun Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Fungsinya akan lebih mendekatkan layanan dan mengurangi biaya dalam proses pengurusan dokumen migrasi tenaga kerja.

Ketiga, memutus rantai PMI non prosedural dan jeratan hutang pada PMI. Realitanya, kasus jeratan hutang dan PMI non prosedural masih sering terjadi, namun langkah pemerintah melalui rapat koordinasi lintas kementerian pada November 2022 lalu perlu diapresiasi. Pembahasan terkait skema pembebasan beban biaya penempatan di antaranya; (1) sistem reimbursement yang mana pemberi kerja akan mengganti biaya yang dikeluarkan pekerja, (2) fasilitasi pembiayaan melalui Kredit Tanpa Agunan dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank BUMN, (3) skema bilateral Government to Government bila memungkinkan, selain itu (4) memastikan pelatihan dan sertifikasi bagi PMI di tingkat daerah serta (5) pelindungan PMI dengan BPJS Ketenagakerjaan.

Keempat, pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas. Pada praktiknya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan berbagai program yang dimiliki cukup berperan dalam pembentukan iklim komunitas khususnya di tingkat desa. Misalnya, melalui pelatihan tata kelola dan perencanaan migrasi secara utuh bagi PMI dan keluarganya untuk memutus lingkaran setan terkait PMI. Dengan begitu, migrasi yang dilakukan akan lebih terencana, baik dari sisi keuangan dan masa depan keluarga yang diharapkan. Selain itu, memantik kerja sama antara komunitas dengan pemerintah tingkat desa dapat meningkatkan kesadaran bermigrasi yang aman melalui tata kelola migrasi yang turut diatur dalam lingkup peraturan desa.

Gagasan untuk memutus lingkaran setan terkait PMI dalam sektor ekonomi mungkin bisa diawali dengan hipotesis; (1) mungkinkah PMI bisa menyusun peta arah (roadmap) rencana perantauannya? (2) Apa target yang PMI ingin raih? (3) Berapa lama untuk meraihnya? (4) Kapan berhenti sebagai PMI dan membangun ekonominya di negeri sendiri dan berkumpul keluarga?

Dengan gagasan ini, target program pemberdayaan ekonomi akan lebih jelas, yaitu kemandirian ekonomi keluarga. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa komitmen PMI dan keluarganya menjadi faktor yang sangat penting. Oleh karenanya, peningkatan literasi keuangan bagi PMI dan keluarga PMI sebelum berangkat juga menjadi strategis. Mengelola keuangan secara bijak menjadi langkah awal pemberdayaan ekonomi.

Pemberdayaan Ekonomi dan Advokasi Hak-hak PMI

Ketika berbicara tentang pemberdayaan ekonomi dan advokasi hak-hak PMI, sering kali kita terjebak pada prioritas pada proses atau hasil. Pengalaman penulis melakukan kunjungan ke Blitar, Ponorogo, dan Lombok Timur pada Agustus 2022 lalu, aspek pemberdayaan ekonomi masih belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Sementara aspek advokasi menunjukkan kemajuan yang sangat menggembirakan. Meningkatnya kesadaran PMI dan keluarga akan hak-haknya, meningkatnya pengetahuan dan keterampilan mengakses informasi dan mengatasi permasalahan dilaporkan semakin baik. Oleh karena itu, dalam tulisan ini opini lebih penulis arahkan pada bidang pemberdayaan ekonomi.

Kegiatan pemberdayaan ekonomi dengan pendekatan usaha kelompok, sering kali terhambat oleh minimnya prakarsa, munculnya pemikiran saling menunggu siapa yang bergerak di depan, adanya sikap apatis dan sebagainya. Belum lagi tidak semua ide bisnis bisa dilakukan secara kolektif dalam bentuk Kelompok Usaha Bersama (KUBE).

Ada baiknya, setelah dilakukan pemetaan potensi wilayah (desa) dan kebutuhan pasar, pemberdayaan menggunakan pendekatan klaster. Misalnya desa itu menjadi klaster kerajinan kayu, klaster desa wisata, klaster agribisnis komoditas tertentu, klaster jeruk, dan lain-lain. Di dalam klaster akan dibutuhkan jenis usaha apa saja? Bagaimana rantai nilai yang terbentuk di sana? Siapa saja aktor kuncinya? Pemangku kepentingan mana saja yang bisa mendukung? Siapa calon “champion” yang akan menjadi penggerak usaha-usaha perorangan dalam rantai nilai di desa tersebut?

Jadi pemberdayaan ekonomi dalam klaster akan dilakukan melalui pembentukan usaha baru milik perorangan dan penguatan yang telah ada, sambil membangun jejaring bisnis di luar desa dan lintas wilayah. Dengan usaha perorangan yang masih terkait satu dengan yang lain, semoga bisa menjadi terobosan dalam pemberdayaan ekonomi PMI dan keluarganya. Dengan harapan, PMI secara bertahap bisa lebih punya arah yang jelas dan berani mengambil keputusan untuk menetapkan target sampai kapan jadi PMI dan saatnya kembali membangun ekonomi secara mandiri.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.