Surat Persetujuan Wali/Suami/Istri/Orang Tua Bagi PMI: Potret Gagalnya Negara Keluar dari Perangkap Konstitusi ‘Gentile’

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Oleh: Dedy Kristanto, Pengajar di Enrich HK dan Anggota Voice of Migrants (VoM) Hong Kong

Pekerja migran Indonesia (PMI) di Hong Kong melakukan aksi protes saat KJRI Hong Kong membuat surat edaran tentang persetujuan wali bagi PMI (Jumat, 10/12/2021). Surat edaran itu dibuat berdasarkan Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran (Perban BP2MI) Nomor 1 Tahun 2020. Surat itu berisi tentang kewajiban bagi PMI yang akan memperpanjang kontrak kerja atau berganti majikan untuk menyertakan salinan surat persetujuan dari suami/istri/orang tua/wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah. Dijelaskan juga bahwa peraturan BP2MI ini dimaksudkan agar PMI terlindungi dan mendapat dukungan penuh dari keluarga saat bekerja di negara penempatan.

Perban BP2MI Nomor 1 Tahun 2020 merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), khususnya pasal 13. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Untuk bisa ditempatkan di luar negeri Calon Pekerja Migran wajib memiliki dokumen yang meliputi:…..” Ada 8 dokumen yang harus dimiliki oleh PMI, yaitu: surat keterangan status perkawinan, surat keterangan izin suami/istri/orang tua/wali, sertifikat kompetensi kerja, surat keterangan sehat, paspor, visa kerja, perjanjian penempatan PMI dan perjanjian kerja.

Peraturan BP2MI yang merupakan turunan dari UU PPMI tersebut sekilas tampak sederhana dan mudah untuk dilakukan oleh PMI. Namun realitanya tidak sesederhana seperti yang dicantumkan dalam peraturan tersebut. Barangkali kebanyakan orang akan berpikir, apa susahnya meminta izin kepada suami/istri/orang tua/wali dalam proses memperpanjang kontrak kerja atau berganti majikan? Toh semua itu untuk kepentingan PMI itu sendiri. Persoalannya ternyata bukan sekedar sebuah aturan yang wajib dipenuhi, namun dibalik itu ada sistem birokrasi berdasarkan aturan resmi negara yang selama ini sebenarnya sudah “menyesap” habis totalitas identitas diri PMI sebagai manusia.

Saya tergerak untuk memahami lebih lanjut bagaimana sebuah peraturan yang tampak sederhana itu dirasakan oleh teman-teman PMI Hong Kong sebagai sebuah peraturan yang tidak adil, merendahkan dan eksploitatif.

Konstitusi ‘Gentile’

Peraturan BP2MI itu mengingatkan saya pada gagasan Frederick Engels tentang konstitusi ‘gentile’. Gagasan tersebut dituangkan Engels dalam bukunya “Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara” (Engels, 2004). Dengan sangat benderang dia menjelaskan proses perkembangan manusia secara seksual, lembaga perkawinan dan pengaturan kepemilikan pribadi. Gagasan Engels sebenarnya sudah sangat klasik. Namun dia berhasil meletakan dasar pemahaman tentang bagaimana gen, sebagai konsep tentang garis keturunan atau ikatan darah menjadi dasar pengaturan perkawinan monogami, kepemilikan pribadi dan negara.

Lalu apa yang dimaksud dengan konstitusi ‘gentile’? Konstitusi dalam arti sempit bisa dipahami sebagai berbagai kerangka hukum, peraturan, dan kebijakan yang menjadi acuan hidup bersama. Dalam konteks negara modern konstitusi bisa ditemukan dalam produk undang-undang, peraturan, ordonansi dan lain sebagainya. Sedangkan ‘gentile’ akar katanya adalah gen. Gen biasa dipahami sebagai penentu garis keturunan pada makhluk hidup, terkhusus manusia. Jadi konstitusi ‘gentile’ merupakan kerangka hukum, peraturan atau kebijakan yang berdasarkan garis keturunan atau ikatan darah.

Konstitusi ‘gentile’ bisa lepas dari model pengaturan kesukuan, namun akhirnya tidak bisa mengatasi berbagai konflik dan antagonisme yang terjadi dalam kehidupan manusia. Meskipun konstitusi ‘gentile’ tinggal puing-puingnya, namun kerangka berpikirnya masih terus berpengaruh dalam berbagai produk hukum dan peraturan pada pembentukan sistem negara sampai saat ini. Poin pentingnya bahwa kerangka berpikir konstitusi ‘gentile’ cenderung menghilangkan peran dan fungsi perempuan dalam produksi sosial. Mengapa hal ini terjadi? Karena di berbagai wilayah di dunia ditemukan bukti kuat secara antropologis-historis bahwa garis keturunan atau ikatan darah yang menjadi penentu untuk mengatur kehidupan bersama adalah darah dari laki-laki dan bukan perempuan.

Dalam bukunya tersebut Engels juga menjelaskan bagaimana pengaturan dan hukum tentang kehidupan bersama sangat terkait erat dengan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Pada tahap terakhir saat perkawinan monogami diakui sebagai bentuk pelembagaan hubungan antara laki-laki dan perempuan, supremasi atas produksi sosial akhirnya menjadi dominasi laki-laki. Perempuan akhirnya ditempatkan dalam wilayah domestik.

Dari situlah kita bisa memahami bahwa sejak awal mula negara dibentuk semua urusan publik selalu dikuasai oleh laki-laki. Kaum perempuan selalu disingkirkan pada proses produksi sosial secara luas. Dalam proses produksi sosial tersebut, dominasi laki-laki terus mengontrol berbagai bentuk alat produksi demi kelangsungan hidup, seperti urusan pekerjaan,penguasaan atas tanah dan berbagai properti lainnya. Masyarakat yang semakin kuat dikendalikan oleh dominasi laki-laki dalam produksi sosial terus mengalami berbagai kontradiksi internal yang tidak bisa dibendung dan menghasilkan berbagai konflik. Konflik antar manusia lebih disebabkan karena berkembangnya berbagai macam kepentingan ekonomi karena perebutan “kepemilikan” pribadi. Engels juga menjelaskan bahwa dalam tahapan tertentu keberadaan dan posisi perempuan sebenarnya juga menjadi bagian dari “kepemilikan”kaum laki-laki yang ditempatkan tidak lebihnya sebagai fungsi ekonomis.

Maka tahap selanjutnya muncul kelas-kelas sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Konstitusi ‘gentile’ tidak lagi mampu mengatasi semua konflik kelas-kelas karena kepentingan ekonomi, maka manusia mulai memikirkan untuk mengatasi konflik tersebut dengan membuat ‘organisasi’ yang lebih kuat mengatasi semua konflik yang ada. Maka konsep negara muncul sebagai bagian integral untuk mengatasi berbagai konflik kelas yang muncul.

Negara menjadi bentuk dari usaha manusia untuk mengatasi berbagai macam konflik kepentingan ekonomi yang ada di tengah masyarakat. Namun karena tatanan negara itu dibangun dalam kerangka konstitusi ‘gentile’ maka semua urusan negara akhirnya selalu memberi tempat pada laki-laki sebagai penentu semuanya. Dari sinilah akar mengapa semua produk hukum dan peraturan cenderung bias gender karena hampir semua produk peraturan dan hukum akan menguntungkan peran laki-laki. Bahkan di saat ‘organisasi’ negara itu memasuki abad digital, dia belum bisa keluar dari jebakan kerangka berpikir konstitusi ‘gentile’. Tidak bisa dipungkiri negara pun akhirnya terasing (alienasi) dari masyarakatnya sendiri.

Komodifikasi Dokumen

Sudah sangat umum diketahui bahwa seorang yang tinggal di sebuah negara, dia harus memiliki dokumen pribadi seperti akta kelahiran, akta pernikahan, akta kematian, akta perceraian, kartu penduduk, dan lain sebagainya. Selain itu kalau dia memiliki berbagai properti, dia juga harus memiliki dokumen kepemilikan, seperti akta tanah, akta bangunan, surat kepemilikan kendaraan dan lain sebagainya. Semua bentuk dokumen identitas diri dan kepemilikan pribadi itu harus didaftarkan dalam sistem negara. Maka banyak dikeluarkan pengaturan dan hukum terkait dokumentasi data diri tersebut.

Dalam pengalaman kita sebagai warga negara Indonesia, proses pendokumentasian data diri oleh negara sebenarnya bukan sebuah hal yang mudah dan murah. Sebelum sistem e-KTP dibuat, betapa tidak mudahnya mengurus KTP. Tidak sekedar sulit, namun butuh biaya untuk ‘menyogok’ aparatur pemerintah agar cepat prosesnya. Waktu yang lama karena birokrasi akhirnya menyerap biaya. Tidak hanya itu, kita pernah disuguhi ‘drama’ panjang bagaimana proses perubahan dari sistem data KTP manual menuju e-KTP telah menyeret berbagai skandal korupsi yang seolah tak berujung pangkal.

Dari semua pengalaman itu kita menjadi paham bahwa sistem pendokumentasian data diri sebenarnya bukan sekedar memasukkan nama beserta semua identitas diri ke dalam sistem. Lebih dari itu, sistem pendokumentasian data diri adalah sebuah komoditas yang bisa dijadikan alat penguasaan dari negara kepada warganya.

Data diri pribadi yang dicatat dalam sistem negara sangat bernilai. Kita tidak pernah sadar bahwa setiap tahun pemerintah membuat anggaran negara berdasarkan data diri kita sebagai warga negara. Anggaran itu diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan. Tanpa ada data diri yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) yang melakukan sensus berkala, pemerintah tidak bisa membuat anggaran negara. Itu artinya bahwa dokumentasi diri kita yang tercatat pada sistem negara memiliki fungsi dalam menentukan perencanaan anggaran negara dan sistem sirkulasi ekonomi.

Berdasarkan pengalaman kita bersama, terutama PMI, saat melamar pekerjaan diminta untuk menyertakan semua dokumen data diri. Data diri PMI sungguh bernilai sehingga negara harus mengeluarkan undang-undang untuk mengatur persyaratan dokumen bagi warga Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri. Negara melihat bahwa dokumentasi data diri memiliki nilai guna, maka bisa dijadikan komoditas. Nilai (value) menjadi penentu bahwa sebuah komoditas akhirnya bisa menjadi uang.

Dalam konteks dunia PMI, data diri berubah menjadi sirkulasi uang bisa kita pahami secara lebih riil. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sponsor dan calo tidak resmi yang juga menjadi perekrut CPMI. Maka lewat birokrasi untuk memenuhi persyaratan dokumen tersebut para sponsor bisa memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan uang. Persyaratan dokumen CPMI berdasarkan peraturan negara dengan sendirinya lalu menciptakan birokratisasi. Birokratisasi tidak akan bisa lepas dari biaya administrasi yang bisa diciptakan agar dokumen bisa keluar dan mendapatkan pengesahan dari aparatur negara.

Kita bisa bayangkan kalau CPMI dituntut untuk masuk jalur birokrasi yang panjang dan lintas departemen. Saat ini memang negara mulai merasakan sumbangan dan pentingnya keberadaan PMI dalam kontribusi keuangan bagi negara, lalu diciptakanlah sistem layanan satu atap. Namun, peluang untuk meminta biaya administrasi bagi CPMI masih tetap terbuka dilakukan oleh para aparatur negara. Dari sana kita semakin dibuat mengerti mengapa saat aksi protes dan perlawanan terhadap Perban BP2MI No. 1 Tahun 2020 banyak teman-teman PMI Hong Kong tentang surat persetujuan wali tersebut akan membuka peluang bagi para calo tenaga kerja.

Birokrasi telah membuat banyak PMI terbebani biaya persyaratan yang menggunakan identitas diri. Belum lagi banyak CPMI perempuan yang mengalami berbagai kasus pelecehan seksual selama proses perekrutan. Rantai birokrasi untuk mendapatkan semua syarat untuk menjadi PMI telah merendahkan martabat mereka sebagai perempuan. Alih-alih akan membantu proses penyiapan dokumen dengan baik, birokrasi di negara Indonesia masih ada kecenderungan kuat untuk menciptakan praktik dan sistem percaloan yang memeras sampai habis warga negara yang akan menjadi pekerja migran.

Para calo birokrasi inilah yang menjadi “hantu” yang terus membayangi keberadaan PMI. Mereka ini tidak saja selalu mencari peluang untuk memeras dan menipu para PMI. Semua proses itulah yang disebut sebagai komodifikasi dokumen.

Trauma Kolektif

Protes dan perlawanan menuntut pencabutan Perban BP2MI No. 1 Tahun 2020 membangkitkan pengalaman traumatis PMI terhadap komodifikasi dokumen atas identitas diri mereka sebagai manusia. Saya membaca komentar ribuan PMI saat surat edaran itu diunggah di FB KJRI yang menuliskan #TOLAK dan #CABUT. Saya juga mengikuti diskusi teman-teman jaringan PMI di Hong Kong, ada beribu suara PMI yang nadanya juga menolak dan menuntut untuk mencabut peraturan tersebut. Gerakan menolak adalah perwujudan dari ‘ketidakpatuhan’ warga kepada otoritas negara.

Erich Fromm dalam bagian pertama dari bukunya On Disobedience. Why Freedom Means Saying ‘’No” to Power (HarperCollins eBook, 2010) menjelaskan keterkaitan antara ketidakpatuhan sebagai masalah psikologis dan moral. Fromm mengatakan bahwa keutamaan sebagai warga bisa muncul dari dialektika antara kepatuhan dan ketidakpatuhan, rasionalitas dan ketidakrasionalan, kesadaran dan ketidaksadaran terhadap kekuasaan. Pilihan tindakan pada dielektika dikotomis itu akan memperlihatkan di mana sebenarnya kemanusiaan akan ditempatkan dalam seluruh relasi sosial sebagai warga dan negara.

Dari sudut psikologis dapat dilihat secara gamblang bahwa proses komodifikasi data diri PMI telah menyebabkan trauma berkepanjangan. Sistem birokrasi dokumen telah menjadi alat negara untuk menyesap habis apa yang ada di dalam identitas diri PMI. Identitas diri mereka telah menjadi bagian dari birokrasi pendokumentasian data diri yang berubah menjadi sirkulasi uang. Identitas diri yang melekat pada tubuh mereka, terutama bagi PMI perempuan, telah menjadi komoditas ekonomis bagi sebuah proyek besar kapitalisme yang membutuhkan kerja-kerja domestik. Pekerjaan domestik yang dilakukan oleh PMI telah menyumbangkan nilai uang yang tinggi pada sirkulasi ekonomi negara. PMI berhasil membalik keadaan di mana kerja domestik punya kontribusi lebih pada penyelenggaraan negara secara publik. Kondisi ini yang membuat PMI semakin percaya diri bahwa pekerjaan mereka harus ditempatkan sejajar dengan para pekerja lainnya.

Dari sudut moral, tentu saja sangat jelas bahwa PMI yang mengalami trauma kolektif dari sistem birokrasi negara menuntut tanggung jawab aparatur negara untuk memulihkan sebagai manusia normal kembali. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bahwa PMI sebagai kelompok korban yang mengalami trauma kolektif justru menjadi corong dari kesadaran hati nurani sebagai sesama warga negara.

Karenanya, kata #TOLAK dan #CABUT yang dibuat dan dilakukan oleh PMI Hong Kong sebenarnya menjadi bentuk hati nurani humanistik, karena di balik dua kata itu ada afirmasi yang kuat bahwa rantai birokrasi negara cenderung melakukan tindakan tidak adil, merendahkan dan akan menjebak PMI dan keluarganya ke dalam eksploitasi. Gerakan protes dan perlawanan ini juga menjadi pengingat bahwa janganlah negara terjebak untuk mengatur manusia hidup dalam perangkap konstitusi ‘gentile’ yang tidak manusiawi.

Tulisan ini ditandai dengan: Hong Kong KJRI Perban BP2MI PMI 

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.