“Aku adalah sosok pekerja keras, mandiri, dan selalu ingin menambah wawasan baru. Perjuanganku sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) dimulai saat usiaku 16 tahun. Semenjak Ayahku meninggal, aku merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu keluarga memenuhi kebutuhan hidup.”
(Suhartatik, 2019)
Suhartatik (47) adalah salah satu anggota Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Pandanarum, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Selama hidupnya, beragam pengalaman bekerja di dalam maupun di luar negeri telah dilaluinya. Termasuk menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di beberapa negara yang berbeda.
Suhartatik kini telah membangun usaha mebelnya, selain itu juga aktif di kegiatan sosial desa, termasuk menjadi anggota KOPI. Kini, dia lebih memilih untuk membangun usaha mebelnya di desa.
Sebelum bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI), Suhartatik sudah terlebih dahulu mengikuti serangkaian pendidikan dan pelatihan di Jakarta. Hingga akhirnya dia lulus dan mulai bekerja di salah satu klinik di Jakarta pada tahun 1995. Di sana, dia bekerja sebagai asisten bidan.
Selama bekerja di Jakarta, Suhartatik membantu orang yang melahirkan, mengukur tekanan darah, memompa pasien saat mau melahirkan, hingga menyiapkan alat-alat steril seperti gunting, bengkok, kasa, betadin, alkohol, dan lain-lain. Selebihnya, dia juga belajar memandikan bayi, menggedong bayi, kasih minum susu bayi, ganti popok, dan sebagainya.
“Saya sering diajak ibu bidan pergi kerja ke Rumah Sakit Persahabatan. Satu tahun saya bekerja, lalu saya memutuskan kontrak untuk pulang kampung,” ungkap Suhartatik.
Pengalaman Pertama ke Luar Negeri, Diajak Majikan ke Paris Perancis
Pengalaman bekerja di salah satu klinik di Jakarta telah memberikan banyak pengalaman baru baru Suhartatik. Satu tahun setelah bekerja di klinik pada 1997, Suhartatik selanjutnya bekerja di salah satu keluarga pejabat di Jakarta, yaitu keluarga dari Ali Sadikin, Gubernur Jakarta saat itu.
Di akhir tahun 1997, Suhartatik mulai bekerja di rumah salah satu warga negara asing. Di sana dia bekerja untuk mengasuh bayinya. Saat bayi berusia 7 bulan, majikannya mengajaknya berkunjung ke negaranya, yaitu Perancis dengan memakai visa turis.
“Saya sangat senang di sana. Saya merasa nyaman karena keluarga mereka baik sama saya. Saat itu saya diajak jalan-jalan ke Menara Eiffel Paris, ke museum, ke restoran dan Taman Mommard, suatu moment bagi saya saat di Paris. Kalau minum kopi di sana, gelasnya gede banget. Apalagi piring makan orang sana karena mayoritas orang sana makan Roti, rotinya berbentuk seperti pentungan,” paparnya.
Sayangnya, karena tidak cocok dengan cuaca di Paris, maka Suhartatik sering sakit-sakitan. Dia sering kedinginan, bibirnya sampai pecah-pecah, dan hidungnya sering mimisan. Akhirnya dia hanya bertahan dua bulan 15 hari di Paris lalu balik lagi ke Jakarta.
Pengalaman Pertama Bekerja di Taiwan Sebagai Perawat Lansia
Karir Suhartatik sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) dimulai dengan bekerja sebagai perawat di Taiwan pada tahun 2000. Majikan pertamanya di Taiwan merupakan seorang dokter gigi, yang terletak di daerah Hsinchu, Taiwan. Di sana, dia merawat salah satu anggota keluarga lanjut usia (Lansia) dan beberapa anak.
“Pekerjaan saya merawat Akong, bapak-bapak lanjut usia (lansia). Namun, saya juga tetap harus merawat 3 orang anak di keluarga itu. Demi cita-cita, saya mengerjakan semua pekerjaan itu. Selama dua tahun setengah, saya baik-baik saja. Namun, setelah itu ketika suami saya sering tidak mengangkat telepon saya, saya sering marah-marah. Saya merasa cemas, ada apa sebenarnya di rumah?” ungkap Suhartatik.
Suhartatik mencoba terus bersabar dan bertahan selama 3 tahun. Dia mulai menyelesaikan kontraknya dan pulang.
Bekerja di Hong Kong, Taiwan, hingga Memutuskan Menjadi Pengusaha Mebel
Mendengarkan cerita Suhartatik, rasanya seperti jalan panjang yang penuh warna. Penuh pembelajaran, tantangan sekaligus peluang. Dari satu negara ke negara lainnya. Tulisan ini pun rasanya tidak cukup menguak pengalamannya satu demi satu secara detail. Termasuk pengalamannya saat kembali bekerja di Taiwan, lalu ke Hong Kong pada 2018, dan kembali lagi ke Indonesia pada 5 Februari 2019 lalu.
Sayangnya, ketika kembali ke Indonesia, anak semata wayangnya seperti tak mengenalnya. Hingga akhirnya, setelah sekian lama berinteraksi dan berdoa, anaknya kembali mengingatnya.
“Akhirnya anakku ingat kepadaku, sambil naik sepeda tersenyum kepadaku, aku bahagia,” ungkapnya.
Kini, setelah kembali ke Indonesia, Suhartatik mencoba membangun usaha mebel (furniture) di kampungnya.
“Sekarang di rumah kesibukan saya memasak untuk tukang, bersih-bersih rumah, kadang mengantar barang. Meskipun di rumah tidak mendapat gaji rutin, tapi senang bisa berkumpul anak. Di sela-sela sibuk kerja, saya menyempatkan diri untuk olahraga dengan naik sepeda,” ujarnya.
Menurutnya, selama ini alasannya merantau adalah karena konflik keluarga. Suaminya telah lama berselingkuh dengan perempuan lain sejak dia di Taiwan. Kini, statusnya masih digantung. Namun, dia bertahan demi anaknya.[]