Secara faktual, esktremisme kekerasan atas nama agama telah mengancam dan melanggar hak-hak perempuan. Secara singkat tulisan ini akan memberi penjelasan dan gambaran bagaimana ekstremisme telah mengancam dan melanggar hak-hak perempuan, mulai dari bentuk yang paling mudah diidentifikasi, hingga yang membutuhkan pemahaman dengan refleksi yang lebih dalam.
Tahun 2019 merupakan tahun ke-delapan warga Syi’ah Sampang Madura terusir dari rumah dan tanah kelahiran mereka sendiri. Setelah penyerangan dan pembakaran rumah yang bersumber dari masalah perbedaan keyakinan, pemerintah Kabupaten Sampang mengungsikan mereka di GOR Kabupaten Sampang dan hingga kini belum bisa pulang. Keinginan untuk pulang nampaknya semakin jauh dari kenyataan, tahun 2013 mereka justru dipindah ke lokasi yang lebih jauh yaitu ke sebuah Rusun di Sidoarjo. Sejak tahun lalu bahkan terdengar kabar mereka akan direlokasi ke sebuah kawasan di Surabaya atau transmigrasi ke luar Jawa, wacana itu jelas mereka tolak.
Menjalani hidup di tempat pengungsian bukan hal yang mudah, apalagi bagi perempuan. Perbedaan fungsi biologis perempuan menjadi salah satu faktor mengapa perempuan lebih berat menjalani hidup di pengungsian. Fasilitas MCK yang sangat minim membuat perempuan kesulitan, misalnya sedang menstruasi. Bagi ibu hamil, hidup di pengungsian memberikan dampak resiko yang besar baik bagi ibu maupun janin yang di kandungnya.
Sehari-hari perempuan juga harus tinggal bersama-sama dengan warga lain tanpa sekat, ini tentu saja tidak memberikan rasa aman. Air bersih juga sulit didapatkan. Karena peran gendernya, perempuan harus antri lama untuk memperoleh air bersih dan memasak setiap harinya. Di Rusun Sidoarjo, untuk mendapatkan air mereka bahkan harus mengangkut dari lantai 1 hingga lantai 5.
Ekstremisme Merenggut Hak-hak Kemanusiaan
Warga Syiah Sampang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang dalam istilah yang lebih khusus disebut IDPs (Internal Displaced Persons), yakni orang-orang yang berpindah paksa di wilayah negaranya sendiri. Mereka tidak sekedar dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Mereka juga harus menghadapi stigma sebagai orang atau kelompok yang menyimpang, sesat dan untuk itu tidak boleh hidup membaur dengan masyarakat. Mereka menjalani kehidupan tanpa hak ekonomi sosial dan budaya yang utuh.
Terusir dari kampung halaman juga berarti membuat warga Syiah kehilangan martabat, memutus ikatan atas sejarah yang tak ternilai harganya sekaligus merenggut harapan dan masa depan mereka. Dalam hal ini, perempuan mengalami diskriminasi ganda, beban yang harus ditanggung perempuan lebih berat disebabkan fungsi biologis dan peran gendernya yang berbeda dengan laki-laki.
Contoh kasus di atas merupakan contoh yang dapat ditangkap dengan mudah secara empiris bagaimana ekstremisme telah merenggut hak-hak kemanusiaan, terutama hak perempuan. Lantas, bagaimana relevansi kasus di atas dengan ekstremisme? Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu memahami term ekstremisme terlebih dahulu, yang sesungguhnya sudah familiar di telinga kita.
Ekstremisme dan Ancaman Kekerasan Terhadap Perempuan
Istilah ekstremisme sering disandingkan dengan istilah lain seperti radikalisme dan terorisme. Sudah cukup banyak definisi yang dikemukakan tapi tidak ada definisi yang dianggap mutlak dan berlaku universal, namun begitu secara umum kita dapat memahami ekstremisme sebagai bentuk berkeyakinan yang sangat kuat pada suatu pandangan, ajaran atau konsep tertentu, yang seringkali memunculkan sikap yang melampaui kewajaran. Misalnya dengan menempatkan orang lain yang berbeda keyakinan pada posisi yang dianggap atau dipersepsi sebagai keliru bahkan sesat.
Pada tingkat yang paling tinggi, ekstremisme terjadi disertai gerakan yang mengandung aksi kekerasan. Hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan yang diyakini secara ekstrem atau membela keyakinan ekstremnya, termasuk dengan melanggar hukum negara. Ekstremisme bisa berhubungan dengan keyakinan apapun, namun umumnya berhubungan dengan keyakinan yang bersifat ideologis seperti keyakinan politik, keyakinan keagamaan, serta keyakinan atas sekte atau ajaran tertentu.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang bentuk-bentuk ekstremisme, kita dapat mencocokkannya dengan indikator-indikator yang ada, salah satunya indikator yang yang disusun oleh The International Centre for Counter Terrorism (ICCT). Disebutkan bahwa indikator ekstremisme antara lain berupa penolakan keragaman dan pluralisme, lebih menginginkan masyarakat monokultur semacam Khilafah Islam Internasional, penolakan prinsip-prinsip demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat, penolakan terhadap kesetaraan hak terutama bagi perempuan dan kelompok-kelompok minoritas, dan penolakan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Para ekstrimis juga menunjukkan ketiadaan empati serta ketidaksetujuan atas adanya hak-hak orang lain dan mempertunjukkan sikap otoriter, diktator dan totaliter dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian, spektrum ekstremisme sesungguhnya cukup luas. Kekerasan yang terjadi terhadap warga Syi’ah Sampang adalah contoh ekstremisme yang berasal dari perbedaan pemahaman keagamaan yang berujung pada tindak kekerasan.
Senada dengan indikator dari ICCT di atas, Dwi Rubiyanti Kholifah (2017) dari Asian Muslim Action Network (AMAN) menyatakan, ekstremisme amat erat kaitannya dengan ancaman hak-hak perempuan. Para ekstremis tidak setuju pada pemenuhan hak-hak perempuan dan kerap memakai legitimasi teks agama yang dimaknai secara tekstualis untuk mengklaim argumen mereka. Mereka menentang kemajuan perempuan, tidak setuju atas akses perempuan di ranah publik, tak terkecuali di dalam wilayah politik.
Melalui refleksi yang lebih dalam, dalam sebuah diskusi di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) KH. Husen Muhammad (2017) bahkan menyatakan bahwa perempuan tidak hanya terkena dampak ekstremisme, tapi justru menjadi korban terdepan dari ekstrimisme agama (dalam hal ini Islam) karena perempuan ditafsirkan sebagai “sumber kesialan”. Untuk memahami pernyataan ini, KH. Husein Muhammad menjelaskannya mulai dari sumber ekstremisme itu sendiri, yakni praktik penindasan dalam kapitalisme global. Yang terjadi adalah, di bawah kapitalisme orang bekerja bukan untuk merealisasi dirinya, melainkan untuk mendapatkan upah agar dapat melangsungkan hidup. Akibatnya, manusia menjadi terasing dari produk yang dihasilkan oleh tangan dan keringatnya, yang kemudian menghilangkan makna martabat dan harga diri serta relasi-relasi sosialnya sebagai manusia. Contohnya banyak kita jumpai dalam masyarakat. Para artis yang di panggung dipuja-puja dan tak pernah lepas dari sorot kamera, di dalam rumahnya ia terasing dari produk kerjanya. Ia telah menjadi komoditas yang diatur oleh managemen bisnis, tidak menjadi dirinya sendiri, oleh karenanya banyak yang depresi dan kemudian bunuh diri.
Bagi para perempuan, keterasingan itu juga terjadi dimana mereka tidak bisa menjadi diri mereka sendiri. Standar kapitalisme telah menyusup dalam definisi-definisi yang kini dianut seolah sebagai sebuah keharusan, misalnya defisini “cantik”. Kecantikan perempuan telah didefinisikan dari luar, bahwa yang cantik adalah yang berkulit putih, tinggi, langsing, dan lain sebagainya. Keterasingan itu pada akhirnya melahirkan penanda–penanda krisis sosial maupun personal.
Terjadinya krisis mendorong munculnya berbagai gerakan, salah satunya Islamisme. Islamisme merupakan salah satu varian dari gerakan yang bereaksi terhadap penindasan, namun perhatian mereka justru bukan pada kondisi manusia yang tertindas itu sendiri. Mereka hendak mengubah masalah hancurnya martabat manusia dengan kembali kepada “kebenaran” epistemologis, yaitu ketunggalan atas pemaknaan teks (Al Quran dan Hadist) sebagaimana yang terjadi pada masa khilafah.
Gerakan Islamis tidak menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Bahkan secara ekstrem, perempuan kerap dipergunakan sebagai sasaran pelampiasan atas “kemarahan” laki-laki yang mengalami keterasingan, dan dianggap “sumber kesialan”. Oleh karenanya, perempuan diposisikan sebagai objek yang dapat diatur-atur khususnya secara fisik (dalam hal berpakaian). Selain itu, para perempuan yang mengalami krisis dan keterasingan juga merupakan sasaran utama untuk menciptakan identitas ekstremis.
Bagi perempuan rakyat pekerja, yang sebagai konsumen kapitalis hidup dalam jeratan hutang, diarahkan untuk hidup “menyerahkan diri pada jihad untuk membela Tuhan”, sebagai bentuk harapan akan pembebasan dari segala beban hidupnya tersebut. Sementara bagi perempuan kelas menengah atas yang tidak mengalami kesulitan nafkah namun kehilangan orientasi hidup, tawaran “menyerahkan diri pada jihad untuk membela Tuhan” tentu sangat menggiurkan karena dapat memberikan makna atas kekosongan jiwanya yang mengalami keterasingan.
Dari penjelasan KH. Husein Muhammad, kita dapat memahami bahwa ancaman ekstremisme dapat menempatkan perempuan dalam dua sisi sekaligus, yaitu sebagai subjek (pelaku tindakan ekstrim), tapi juga objek. Ambiguitas ini dapat kita temukan contohnya dimana perempuan juga dijadikan obyek kesenangan (seksual). Dalam konteks ekstremisme global, kekerasan seksual bahkan tidak hanya menjadi dampak, tapi sudah menjadi senjata penakluk. Kekerasan seksual sengaja dipakai sebagai strategi untuk meneror dan menyerang pihak lawan. Kekerasan seksual yang terjadi secara brutal di Boko Haram dimana sejak 2013 lebih dari 1000 gadis diculik dan diperkosa adalah salah satu contoh nyata yang membuat kita tak bisa mengelak, bahwa ekstremisme sangat mengancam dan mengorbankan hak-hak perempuan.
Keterangan Penulis:
Siti Rofiah adalah Aktivis Perempuan, Peneliti, dan Dosen di Fakultas Syariah UIN Semarang.
Referensi:
Brooking Institution, Protecting Internally Displaced Persons: A Manual for Law and Policymakers, University of Bern, 2008.
Urgensi dan Strategi Efektif Pencegahan Esktremisme di Indonesia, INFID, 2018, hlm. 6.
Alex P. Schmid, Violent and Non-Violent Extremism: Two Sides of the Same Coin?, ICCT Research Paper, 2014, p. 21.
Dwi Rubiyanti Kholifah, rekaman wawancara Radio Idola Semarang, dapat didengarkan di https://www.radioidola.com/2017/radikalisme-ancam-hak-hak-perempuan/.
Notulensi Kuliah Ramadhan, Islam, Feminisme dan Radikalisme Agama, Cirebon 11 Juni 2017. Liputan kegiatan tersebut dimuat di https://agenda18.web.id/gloria-fransisca/perempuan-korban-pertama-radikalisme/.