Tantangan perwujudan pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tidak hanya bersifat normatif dan konvensional terkait dengan hak, melainkan juga terkait dengan eksistensi mereka yang rentan terhadap ancaman serius oleh narasi dan paham yang membahayakan PMI sendiri dan keamanan negara, yakni radikalisme dan ekstrimisme. Kondisi pekerja migran yang terisolasi di rumah majikan, terabaikan dari komunitas dan anggota keluarga berpotensi mengakibatkan mereka menjadi kelompok rentan yang mudah dipengaruhi oleh paham atau narasi intoleransi yang berujung kepada radikalisme/ekstrimisme yang mengancam orang lain. Gejala awal radikalisme muncul ketika adanya sikap intoleransi, yang selanjutnya akan menjadi kekerasan ekstrem jika merujuk kepada kepercayaan dan tindakan seseorang atau kelompok yang mendukung atau menggunakan kekerasan dengan motif ideologi radikal, keagamaan atau pandangan politik tertentu. Pada dampak yang serius, pekerja migran berpotensi terlibat atas serangan teror yang dilakukan oleh jaringan teroris yang terorganisasi. Keterlibatan dalam jejaring organisasi ekstremis dan pelaku teror dapat turut menghancurkan impian kesejahteraan PMI dan anggota keluarganya sebelum migrasi dilakukan. Dengan demikian, pelindungan pekerja migran tidak lagi semata bermakna memastikan pekerja mendapatkan hak yang diatur dalam undang-undang sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, tetapi juga dengan memastikan keselamatan pekerja migran dari pengaruh paham dan aliran yang dapat menggagalkan cita-cita migrasi itu sendiri.
Pelbagai riset menunjukkan bukti konkret keterlibatan PMI dalam jaringan organisasi terorisme. Ulasan dari Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC) menunjukkan temuan bahwa ekstremisme pada kalangan PMI kawasan Asia Timur disebabkan oleh meningkatnya konflik di Suriah. Hal tersebut terkait dengan adanya propaganda di media yang direspon simpati dan kemarahan oleh PMI kepada salah satu pihak yang berkonflik yang dinilai pembantai sunni. Fakta lainnya, beberapa orang yang tergabung dalam komunitas berbasis keagamaan tidak memandang bahwa simpati kepada kelompok bersenjata sebagai sebuah ideologi, melainkan hanya hubungan personal semata dengan personel kelompok ISIS. PMI yang mayoritas merupakan perempuan ini berperan aktif untuk menghimpun dana, merekrut anggota baru, menghubungkan dengan personel ISIS, menggerakkan komunitas dan bahkan berpotensi menjadi pelaku bom bunuh diri. Berdasarkan kajian ini, sebanyak 43 PMI perempuan dari Hong Kong, 3 orang bekerja di Taiwan, dan 4 orang bekerja di Singapore telah terpapar dengan paham ekstremisme kekerasan.1
The Wahid Foundation membedakan antara gerakan radikal dan moderat, di mana keduanya terletak pada perbedaan atas dukungan nilai-nilai dan prinsip dalam paradigma demokrasi. Kelompok moderat berorientasi pada multikulturalisme, kebebasan beragama dan ekspresi, sistem pemilihan umum dan lainnya. Kelompok radikal cenderung menolak nilai-nilai dan prinsip tersebut.2 Perempuan migran sebenarnya mengalami kondisi titik jenuh ketika merasa gagal memaknai hidup dan kemudian beralih mendalami agama. Seseorang tidak berarti langsung radikal karena ingin mendalami agama, tetapi hal itu dapat terjadi ketika memperoleh interpretasi ajaran-ajaran intoleran dan radikal dalam proses pencairannya. Kejenuhan tersebut jika disambut dengan persentuhan dengan ajaran radikal akan mengubah cara pandang pelakunya untuk condong menerima paham tersebut. Bagaimanapun, kelompok tersebut secara aktif berkampanye dan membidik secara selektif pekerja migran asal Indonesia. Hal ini dialami oleh salah satu PMI perempuan dari Malaysia yang tergabung ke dalam kelompok ISIS dan menjadi kombatan di Filipina selatan.3
USAID menganalisa kerentanan pekerja migran terhadap ancaman ekstremisme kekerasan dari perspektif gender untuk melihat peluang antisipasi dan pencegahannya. Riset itu merefleksikan bahwa profil migran perempuan yang rata-rata kurang berpendidikan formal, tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup, mengalami tekanan sosial dan individual, jauh dari keluarga dan tidak terjangkau oleh kehadiran negara, menjadikan mereka mengalami kerentanan yang berlapis. Menurut informasi dari seorang perekrut, proses perekrutan migran perempuan menggunakan teknik online melalui media sosial. Pekerja migran yang selama ini menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara namun dipandang sebagai warga negara kelas empat di luar negeri, setelah keluarga diplomat, cendekiawan, mahasiswa dan WNI pekerja kerah putih di luar negeri.4
World Migration Report 2018 menyebutkan bahwa ekstremisme kekerasan turut memengaruhi sebagai faktor pendorong dan penarik terhadap migrasi antar daerah atau negara itu sendiri. Ekstrimisme juga mendorong orang untuk bermigrasi. Sebagai faktor penarik, ekstrimisme memunculkan ketertarikan untuk bermigrasi untuk mendapatkan penghargaan personal dalam jaringan atau gerakan tersebut. Keterlibatan dalam ruang ekstrimisme dinilai sebagai ekspresi memperjuangkan agama yang memberikan kepuasan psikologis bagi pelaku.5 Pekerja migran merupakan salah satu kelompok di antara kelompok lainnya yang mengalami kerentanan ganda yang berkemungkinan disebabkan oleh kondisi multidimensi: 1) merespon perkembangan dan politik global; 2) pengasingan ekonomi dan terbatasnya peluang untuk bergerak bebas; 3) pengasingan politik dan eksklusi sosial; 4) Ketidaksetaraan, ketidakadilan, korupsi dan pelanggaran hak; 5) kekecewaan terhadap sistem politik dan sosial-ekonomi; 6) penolakan terhadap keberagaman masyarakat; 7) buruknya kapasitas dan pelayanan negara; dan 8) perubahan budaya global yang menampilkan kedangkalan informasi maupun berita tidak sebenarnya (hoax).6
Pada akhir tulisan ini, adapun upaya pencegahan kekerasan ekstrem dapat dilakukan dengan upaya berbasis komunitas untuk pencegahan, de-radikalisasi, reintegrasi dan rekonsiliasi melalui 1) memediasi dialog internal dengan kelompok marginal dan mantan ekstremis; 2) mempromosikan kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan; 3) melibatkan pemuda untuk membangun penyatuan sosial; 4) dan bersama-sama dengan pemimpin organisasi lintas agama. Sementara itu, pencegahan melalui pembangunan inklusif, promosi terhadap toleransi dan menghargai keberagaman dapat dengan cara 1) pencarian peluang alternatif sosial-ekonomi kepada kelompok-kelompok yang berisiko teradikalisasi; 2) Peningkatan partisipasi dalam pembuatan kebijakan di tingkat lokal dan nasional; 3) Penggunaan pendekatan HAM dalam pembuatan aturan hukum untuk pencegahan ekstremis; 4) melawan korupsi; 5) peningkatan kapasitas Aparat Sipil Negara (ASN) dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pelayanan publik dan keamanan; 6) mengajarkan penghormatan HAM, keberagaman dan eksistensi masyarakat global di sekolah, kampus dan ruang informal; dan 7) bekerja dengan media arus utama dan media sosial untuk promosi wacana alternatif.
Berkaitan dengan upaya pencegahan kekerasan ekstrem yang lebih spesifik bagi pekerja migran, selain mempertimbangkan hal tersebut ialah melalui pengenalan mengenai kekerasan ekstrem dan radikalisme pada saat proses Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) dan orientasi kedatangan bagi pekerja migran yang baru tiba atau memasuki purna kontrak di negara tujuan pekerja migran. Hal itu boleh dilakukan dengan menguatkan peran negara dalam pencegahan kekerasan ekstrem serta menjangkau komunitas pekerja migran di luar negeri. Di samping itu, hal ini penting juga dengan menguatkan kapasitas komunitas pekerja migran di luar negeri yang diharapkan mampu berkontribusi terhadap upaya pencegahan kekerasan ekstrem melalui peranan perlindungan sebaya.
Pustaka
- The Radicalisation of Indonesian Women Workers in Hong Kong, IPAC Report No. 39, IPAC: Jakarta, 2017, lihat halaman 12.
- Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan, Wahid Foundation, Jakarta, 2017, lihat halaman 4.
- Ibid, halaman 8.
- Gender Analysis in Countering Violent Extremism, USAID, Jakarta, 2017, lihat halaman 6.
- Migration, Violent Extremism and Social Exclusion in World Migration Report 2018, Koser, K. and A. Cunningham, International Organization for Migration, Geneva, 2018, lihat halaman 3.
- Preventing Violent Extremism Through Promoting Inclusive Development, Tolerance and Respect for Diversity: A development response to addressing radicalization and violent extremism, United Nation Development Program (UNDP), New York, 2016, halaman 17.