“Apapun kasusnya, tidak memandang dia legal atau illegal, dia berhak mendapat bantuan dari pemerintah.”
(Eddy Purwanto)
Ponorogo-Anggota Komunitas Organisasi Pekerja Migran Indonesia (KOPI) belajar bersama Infest Yogyakarta tentang hak-hak pekerja migran. Sebagai komunitas yang baru terbentuk pada April 2018, KOPI membutuhkan penguatan kapasitas baik pemahaman maupun ketrampilan dasar dalam penanganan kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia (PMI).
Pelatihan mengenai hak-hak pekerja migran dilaksanakan selama tiga hari Senin-Rabu (9-11/7/18) di masing-masing desa dampingan Infest Yogyakarta, yaitu di desa Bringinan kecamatan Jambon, Desa Nongkodono kecamatan Kauman dan Desa Pondok kecamatan Babadan. Teman belajar KOPI kali ini adalah Eddy Purwanto dari Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran.
Meskipun hampir semua anggota KOPI adalah purna pekerja migran dan berasal dari keluarga pekerja migran, namun bukan berarti mereka memahami sepenuhnya tentang hak-hak pekerja migran. Hal ini dapat diketahui dari sejumlah pertanyaan mengenai kasus yang pernah menimpa orang-orang yang mereka kenal. Sambil berbagi cerita mengenai kasus-kasus yang sering menimpa PMI, fasilitator bertanya balik ke peserta tentang kasus yang sering menimpa PMI sewaktu masih pra penempatan, masa penempatan dan pasca penempatan.
Setelah menyimak materi yang dibagi, peserta mulai bisa mengambil contoh kasus yang sering terjadi dan bahkan pernah menimpa mereka. Seperti penahanan dokumen yang sering dialami kebanyakan PMI. Bahkan salah satu anggota KOPI mengaku dokumennya masih berada di PT dan PT tersebut sudah tidak diketahui keberadaannya karena terjadi pada tahun 1990-an.
Apapun Kasusnya, PMI Berhak Mendapat Perlindungan
Eddy Purwanto dalam materinya mengatakan bahwa tidak ada kasus yang tidak bisa diselesaikan. “Apapun kasusnya, tidak memandang dia legal atau illegal, dia berhak mendapat bantuan dari pemerintah.”
Salah satu peserta dari KOPI Bringinan bercerita tentang banyaknya PMI illegal yang berada di Malaysia, mereka tidak bisa pulang dan tidak tahu harus berbuat apa. Fasilitator menjawab bahwa meskipun statusnya illegal, dia tetap bisa dibantu mengurus kepulangannya karena itu adalah tugas negara yang wajib melindungi warganya dimana pun dia berada.
Saat sesi untuk merumuskan rencana tindak lanjut, KOPI mengusulkan tentang pelatihan pemberdayaan bagi purna pekerja migran. Eddy Purwanto menilai usulan soal pemberdayaan ini baik, karena tidak mungkin warga yang tergabung dengan KOPI setiap hari akan berorganisasi.
“Orang tidak mungkin menggantungkan hidupnya dari organisasi atau komunitas, yang menjadi pedagang biarlah tetap berjualan, petani harus tetap ke sawah, jangan sampai berorganisasi menganggu pekerjaan utama,” ungkapnya.
Jangan sampai. Lanjut Edy, setelah berorganisasi pikiran mereka terbalik. Sibuk berorganisasi lalu melupakan pekerjaan utama dan lama kelamaan merasa asyik dengan dunia organisasi lalu mencari makan dari situ, hal ini menurutnya jangan sampai terjadi pada KOPI.
Setelah pelatihan mengenai hak-hak pekerja migran, anggota KOPI yang belum memiliki pengalaman bekerja ke luar negeri jadi tahu isu-isu apa saja yang sering terjadi. Sedangkan yang sudah purna, mereka semakin paham bahwa kasus yang terjadi selama ini begitu banyak sekali dan beragam. Tidak hanya soal gaji yang tidak dibayar, penahanan dokumen atau kekerasan.
Fasilitator menjelaskan bahwa ia menemukan ada 88 jenis kasus, baik itu saat masih pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan. Angka itu terus bertambah seiring dengan masih banyaknya kasus yang menimpa pekerja migran.[]