(Bahasa Indonesia) Perempuan Migran dan Aturan Migrasi Mandiri

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Infografis desakan kerja layak bagi pekerja rumah tangga (sumber: change.org)
Infografis desakan kerja layak bagi pekerja rumah tangga (sumber: change.org)

Pekerja migran Indonesia (PMI) dan perempuan merupakan dua hal yang melekat karena PMI di luar negeri didominasi oleh perempuan. Data penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang disusun BNP2TKI menunjukan 62 % perempuan ditempatkan sebagai pekerja migran Indonesia di luar negeri pada tahun 2016. Tren feminisasi migrasi ketenagakerjaan terjadi sejak tahun 2000-an. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang melatarbelakangi. Angkatan kerja perempuan yang meningkat dan pandangan sosial budaya yang menempatkan perempuan migran dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga keluarga, merupakan faktor pendukungnnya.

Di negara-negara tujuan migrasi, laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Muncul kekosongan untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar kerja lokal. Kekosongan pekerja di sektor rumah tangga itulah yang kemudian diisi oleh pekerja migran, yang juga dapat dikatakan sebagai faktor penariknya. Selama ini penempatan pekerja migran Indonesia sektor rumah tangga dilakukan oleh pelaksana penempatan swasta yang saat ini dalam UU PPMI disebut sebagai Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).

P3MI yang berstatus perusahaan merupakan pihak swasta yang orientasi utamanya mencari laba atau untung. P3MI membantu mengurus penempatan PMI dengan imbalan berupa biaya jasa yang nantinya dijumlahkan ke dalam komponen biaya penempatan. Meski terdapat regulasi mengenai komponen biaya penempatan yang diatur dalam keputusan menteri ketenagakerjaan (Kepmmenaker), tapi tidak sedikit pula perusahaan yang rakus untuk mencari profit dengan membebankan biaya penempatan tinggi pada pekerja migran di luar dari ketentuan. Kebijakan zero cost (penempatan tanpa biaya) oleh pemerintah nyatanya tidak sesuai dengan yang digembar-gemborkan. Faktanya, pekerja migran masih dibebani biaya penempatan yang tinggi hingga saat ini. Di Hong Kong misalnya, pemotongan gaji terjadi bisa mencapai 4-6 bulan gaji. Padahal, ketentuan biaya yang seharusnya hanya sebesar 1,5 bulan gaji yang dibebankan kepada pekerja migran. Hal ini juga sebenarnya terjadi di beberapa negara tujuan lainnya.

Mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui UU PPMI mengatur mengenai penempatan perseorangan atau mandiri yang termuat di pasal 1 juncto pasal 63. Lantaran, hal ini diakui oleh PMI bahwa menjadi pekerja migran mandiri/perseorangan merupakan salah satu strategi mengatasi pembebanan biaya penempatan yang tinggi. Terlebih lagi, temuan penelitian yang dilakukan oleh Killias (2010) menunjukkan bahwa pilihan untuk bermigrasi secara mandiri dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan komunitas pekerja migran atas kebijakan pemaksaan migrasi melalui perusahaan perekrutan yang berbiaya mahal.

Di dalam UU PPMI dijelaskan bahwa PMI perseorangan merupakan PMI yang akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan (P3MI). Sayangnya di dalam UU ini, pekerja perseorangan yang dapat bekerja ke luar negeri secara mandiri adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum. Sementara PMI yang bekerja pada pengguna perseorangan, seperti pekerja sektor rumah tangga tidak dizinkan untuk menempuh migrasi mandiri. Padahal, mayoritas pekerja sektor rumah tangga adalah pekerja migran perempuan. Secara implisit aturan di pasal 63 ini merupakan aturan yang bias gender, karena membeda-bedakan perlakuan berdasarkan jenis kelamin dan jenis pekerjaan mengenai mekanisme migrasi yang umumnya dipenuhi dan dikerjakan oleh perempuan.

Swasta dalam hal ini adalah perusahaan perekrutan menyadari betul mengenai ceruk pasar yang tinggi untuk sektor pekerja rumah tangga di luar negeri. Terlebih lagi, perlakuan terhadap kelompok perempuan hingga saat ini dipandang masih belum setara dalam segala akses, khususnya akses keadilan. Lagipula, budaya patriarki di Indonesia yang tumbuh subur membuat relasi semakin tak seimbang. Tambahan lagi ketika perempuan migran mengalami masalah dengan perusahaan perekrutan atau majikannya yang hal ini dinilai sebagai nasib yang kurang berpihak kepadanya. Menggantungkan permasalahan yang dialaminya kepada relasi transendental, di mana hal itu dipercayai sebagai kekuasaan tertinggi yang bakal mengadili atas kerugian-kerugiannya yang tak mampu dituntut saat ini dan berharap akan diperolehnya pada kehidupan mendatang (Bestide, 2015).

Dalam kaitan di atas, paradigma berfikir seperti itu harus diakhiri, lantaran negara menjamin dan melindungi setiap hak warga negara. Ketika menjumpai masalah, menempuh keadilan melalui lembaga peradilan yang tersedia merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh perempuan migran di manapun berada. Terlepas dari kebijakan bias gender di atas, pentingnya untuk bersama-sama menggali dan mengumpulkan data atas kerugian-kerugian yang dialami oleh perempuan migran. Hal itu dimaksudkan untuk membuat gugatan uji materi melalui Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 63 yang dinilai telah menabrak ketentuan lainnya dan ketentuan di atasnya, serta tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis juga merekomendasikan kepada pemerintah agar melenturkan mekanisme migrasi ketenagakerjaan bagi sektor pekerja rumah tangga. Salah satunya ialah dengan mengijinkan PMI sektor rumah tangga untuk bermigrasi secara mandiri tanpa melalui perusahaan perekrutan, tapi dengan catatan bahwa perempuan migran tersebut telah memiliki pengalaman bekerja di luar negeri minimal dua tahun. Ketika ketaksetaraan dan kerentanan yang dialami oleh perempuan migran terjadi selama ini, justru pemerintah harus memberikan perlindungan yang maksimal kepada perempuan migran. Bukan malah menyerahkannya kepada swasta untuk segala urusannya. Hal ini dapat diartikan dengan sama saja memindahkan persoalan dengan balutan baru.

Daftar Pustaka

1. Bastide, Lois. 2015. Faith and Uncertainty: Migrants’ Journeys between Indonesia, Malaysia and Singapore. Journal of Health, Risk & Society, Vol. 17, Issue 3-4: 226-245.

2. Killias, Oolivia. 2010. ‘Illegal’ Migration as Resistance: Legality, Morality and Coercion in Indonesian Domestic Workers Migration to Malaysia. Asian Journal of Social Science, 38: 897–914.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.