Diplomacy Training Program (DTP) memprakarsai pelatihan capacity building bekerjasama dengan Migrant Forum in Asia (MFA), The Bar Council Migrants, Refugees and Immigration Affairs Committee (MRIAC), North South Initiative (NSI), and Migration Working Group (MWG). Program ini bertujuan untuk lebih mempromosikan dialog sosial antara pihak-pihak yang terkait dalam advokasi hak-hak pekerja migran.
Peserta program ini dari beberapa latar belakang yang berbeda diantaranya pengacara, akademisi, Non Government Organization (NGO) lokal, Wakil pekerja dan pegiat pekerja migran lainnya. Acara dimulai pukul 09.00 pagi bertempat di Swiss Garden Hotel, Kuala Lumpu, Jum’at (31/3/2017).
Pelatihan ini dijadwalkan ada 5 modul yang akan dibahas dalam 20 hari pertemuan atau satu modul untul 4 hari. Acara dimulai dengan pembukaan dan perkenalan oleh Patrick Earle selaku Direktur Eksekutif DT dan pembagian peserta menjadi 4 kelompok untuk mendefinisikan beberapa isu pekerja migran berdasarkan masing-masing group.
Group A membahas topik Kesehatan buruh migran di Malaysia, diantaranya ada praktik membayar atau rasuah untuk menjadikan pekerja yang unfit menjadi fit, pekerja migran yang didapati menderita penyakit munular akan dideportasi, pekerja yang dideportasi tanpa mengetahui penyakit apa yang penyebabnya, pekerja migran berstatus tidak punya kewarganegaraan tidak mendapat akses perawatan medis karena status tidak berdokumen.
Group B membahas tentang xenophobia (perasaan tidak suka) diantaranya perspektif yang digambarkan oleh media seperti pekerja migran yang selalu pelaku tindak kriminal, penyebutan pekerja yang tidak berdokumen sebagai Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI). Berlakunya diskriminasi dalam bentuk gaji, identik bahwa pekerja migran sebagai pekerja gaji murah, kecurigaan oleh pihak berwajib seperti setiap melihat pekerja migran akan diintrogasi, adanya perlakuan bahwa pekerja migran sebagai ancaman yang mana semua urusan mengenai pekerja migran diatur oleh Kementerian Dalam Negeri yang seharusnya oleh Kementerian Tenaga Kerja. Adanya anggapan pekerja migran sebagai komoditas. Adanya perlakuan diskriminatif dalam pelayanan seperti biaya rumah sakit yang lebih mahal, pengaduan, perlindungan.
Group C menyampaikan masalah kurangnya penegakan hukum, kurangnya monitor terhadap agen penyalur pekerja migran baik negara pengirim ataupun negara penempatan. Adanya praktek korupsi dan eksploitasi, dokumen disimpan majikan ataupun agen yang menjadi penyebab pemerasan dan pelecehan oleh oknum aparat. Kurangnya pengawasan terhadap perusahaan palsu yang merekrut pekerja namun tidak menyediakan pekerjaan.
Group D menyampaikan topik gender di mana dengan migrasi telah menyebabkan pergeseran dalam keluarga di negara-negara asal, seperti anggota keluarga yang kurang kasih sayang dan menghadapi gangguan psikologis. Adanya dimensi yang menunjukkan pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan wanita, namun pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai pekerja dan tidak dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan. Selain itu jika pekerja migran wanita didapati mengandung dianggap sebagai penyakit dan harus dideportasi kenegara asal.