News

(Bahasa Indonesia) Pemanfaatan Teknologi sebagai Pemantauan Pelanggaran HAM atas Buruh Migran

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Peserta workshop yang memiliki komposisi dari organisasi untuk advokasi buruh migran
Peserta workshop yang memiliki komposisi dari organisasi untuk advokasi buruh migran

Bogor—Dalam advokasi HAM, buruh migran merupakan praktik yang sangat menarik, di mana pelanggaran HAM terjadi di negara asal dan negara tujuan buruh migran. Rantai panjang pelanggaran tersebut memaksa kita untuk selalu berinovasi melalui pendekatan teknologi dalam upaya advokasi HAM. Untuk tujuan itulah Human Rights Working Group (HRWG) menghadirkan tiga belas organisasi jaringan yang telah terbiasa dengan advokasi HAM buruh migran di Bogor pada 12-13 Januari 2016.

Proses-proses pemajuan dan perlindungan HAM ASEAN dapat dikatakan sebagian telah tercapai dan sebagian lagi memang masih belum nampak kehadirannya. Bahkan dalam proses penyusunan instrumen perlindungan buruh migran yang sifatnya legally binding (mengikat seluruh negara ASEAN untuk diadopsi menjadi hukum positifnya), hanya Malaysia yang menolak dari empat negara negara perumus instrument tersebut. Sementara Filipina, Indonesia, Singapura dan Thailand telah sepakat.

Rafendi Djamin, Direktur HRWG, mengatakan jika dalam konteks buruh migran, Malaysia selalu mengkaitkan dengan nasionalisme. Pengakuan atas buruh migran juga diduga akan mengancam kedudukan warga negara Malaysia dalam berkompetisi di dalam negeri. Dapat kita lihat dalam setiap dialog buruh migran, leading sector-nya ialah Kementerian Dalam Negeri Malaysia. Urusan buruh migran dianggap sebagai urusan dalam negeri. Ini sangat rancu.

“Ketergantungan Malaysia atas buruh migran merupakan permasalahan internal yang belum terpecahkan hingga kini,” tutup Rafendi.

Harapannya dari workshop ini, selain kita dapat melaporkan pelanggaran HAM buruh migran di Indonesia, kita juga dapat melaporkan negara tujuan buruh migran kepada dewan HAM PBB. Proses ini dapat kita tempuh dengan universal jurisdiction melalui prinsip International Criminal Court (ICC). Khoirul Anam, Direktur harian HRWG mengatakan jika buruh migran dapat melaporkan dan menjadi saksi atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor negara tujuan dan kita dapat mengadili langsung yang bersangkutan di luar negeri.

Pelanggaran HAM dapat kita kategorikan menjadi dua, yaitu by commission dan by omission.  Yang pertama, di mana alat negara (militer, polisi dan pemerintah) bertindak langsung atas pelanggaran kekerasan kepada individu. Sedangkan yang kedua, adanya pengabaian atas HAM oleh alat negara kepada individu.

“Dalam proses pemenuhan dan perlindungan buruh migran memang tidak bisa lepas dari keterlibatan masyarakat sipil,” demikian ungkapan dari Lalu Muhammad Iqbal, Direktur PWNI dan BHI Kementrian Luar Negeri RI.

Sebagai unsur pemerintah, pertisipasi merupakan bagian dari perlindungan kepada WNI yang ada di luar negeri. Oleh sebab itu,  dalam setiap perumusan atau penyusunan kebijakan mesti melibatkan masyarakat sipil. Tidak mungkin pemenuhan dan perlindungan HAM dapat terwujud tanpa adanya partisipasi. Iqbal mengakui bahwa birokrasi di luar negeri masih belum memuaskan dalam melayani dan melindungi WNI. Lalu Iqbal mengajak bekerja sama dalam upaya memperbaiki pelayanan setiap KBRI/KJRI.

Pemanfaatan teknologi dalam advokasi HAM menjadi penting ketika di antara jaringan dan buruh migran terbentur oleh jarak yang memisahkan di antara keduanya. Oleh sebab itu, workshop tersebut menghadirkan pakar-pakar teknologi informasi dari beberapa organisasi  untuk menjalin keterhubungan dalam advokasi HAM. Muhammad Khayat dari Infest Yogyakarta, mengungkapkan jika perlu platform bersama yang dapat dioperasikan oleh semua jaringan dan juga tidak terlalu sulit pengopersiannya oleh buruh migran sendiri. Namun dalam konteks jaringan, semua organisasi telah disubukkan oleh kasus-kasus sendiri dan juga telah mengopersikan portal sebagai sarana kampanye.

“Apakah hal ini efektif untuk dilakukan jika beban itu diserahkan kepada jaringan atau masing-masing organisasi?” ujar Ari dari Tifa Foundation.

Akhirnya pada workshop tersebut menyepakati agar jaringan berkomitmen untuk berkontribusi kepada platform pemantauan atas pelanggaran HAM yang terjadi kepada buruh migran dalam setiap periode tertentu. Kasus-kasus yang sedang didampingi oleh organisasi dapat dimasukkan ke dalam platform sebagai bank data bersama untuk tujuan advokasi buruh migran. Sehingga pada tujuan yang lebih besar dapat disuarakan kepada level internasional untuk menekan negara yang telah melanggar HAM dan menuntut untuk melindungi buruh migran, baik di negara asal maupun negara tujuan.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.