Menunggu perhatian pemerintah ibarat menantikan hujan di musim kemarau. Agaknya pepatah ini cocok dialamatkan pada Paguyuban TKI Purna Manunggal Agawe Santosa di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman. Paguyuban ini sempat mengajukan proposal pelatihan wirausaha ke berbagai lembaga pemerintah, tetapi proposal-proposal tersebut tak pernah mendapat tanggapan. Tak menyerah karena proposal pelatihan yang tak pernah digubris, paguyuban TKI Purna di kaki Gunung Merapi ini mengadakan pelatihan wirausaha secara swadaya.
Mereka sepakat untuk mengadakan pelatihan usai berkenalan dengan Ida, dari Rumah Ketela, Magelang. Ida merupakan bagian dari perusahaan sosial yang memberi pelatihan mengolah bahan pangan lokal. Iuran untuk mengadakan pelatihan tersebut dilakukan secara swadaya, dibantu juga dengan donasi dari kawan-kawan yang peduli terhadap buruh migran. Rumah Ketela menyanggupi memberi pelatihan mengolah singkong dan ganyong menjadi tepung. Pelatihan mengolah salak pondoh juga dilakukan mengingat Desa Wonokerto merupakan penghasil salak pondoh.
Siang hari (06/12/2015), Paguyuban TKI Purna MAS tekun mendengar materi pelatihan di Rumah Ketela. Purna buruh migran diajak untuk melihat peralatan mengiris ketela yang setelah dipelajari ternyata bisa dibuat sendiri. Alat pengemas sari buah salak juga dicoba satu-persatu agar teori yang dipelajari sesuai dengan praktiknya.
Kawan-kawan TKI Purna MAS ternyata tak menyia-nyiakan ilmu yang telah didapat setelah mendapat pelatihan selama 4 jam di awal Desember lalu. TKI purna telah beberapa kali praktek bersama mengolah bahan makanan. Mereka praktik membuat manisan salak sendiri dan memberi nama produk mereka dengan label Salacca, yang merupakan nama latin dari buah salak.
“Kebetulan saat ini musim panen salak pondoh, dan sebagian besar anggota Paguyuban TKI Purna MAS mempunyai lahan pertanian yang ditanami salak pondoh,” ujar Ratih Pratiwi Anwar, Pendamping Buruh Migran.
Salak pondoh yang diolah paguyuban buruh migran purna adalah salak berukuran kecil yang harganya sangat rendah jika dijual. Untuk mensiasatinya, hasil panen berharga murah tersebut diolah untuk menjadi produk yang berharga dan memiliki nilai ekonomi. Sebelum menenutkan sebuah produk, potensi yang terdapat di desa pun perlu dipetakan.
Purna buruh migran tak langsung bisa berwirausaha ketika pulang karena mereka tak mendapat kesempatan mengembangkan diri. Ketika di luar negeri mereka juga jarang mendapat pelatihan kerja dari pemerintah setempat. Buruh migran telah menyumbang devisa dan menggerakkan ekonomi daerah, maka optimalisasi tugas pemerintah pusat dan daerah untuk memberdayakan TKI Purna perlu dilakukan.
Sumber : Ratih Pratiwi Anwar