Indonesia mempunyai penduduk nomor 5 terbesar di dunia, setelah Republik Rakyat Cina (RRC), Rusia, Amerika Serikat, dan India. Banyaknya penduduk sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap situasi lapangan pekerjaan. Permasalahan lapangan kerja menjadi hal yang sangat kompleks di negara ini.
Ketika persoalan ekonomi mendera sebuah keluarga, kebutuhan hidup meningkat, sementara penhasilan belum cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini pastinya akan menimbulkan suatu masalah. Alternatifnya adalah menjadi buruh migran, terutama di sektor informal, seperti penata laksana rumah tangga (PLRT) adalah jalan keluar bagi para perempuan untuk mencoba membantu pemenuhan kebutuhan rumah tangga, yang tidak atau belum mampu tercukupi oleh suami. Maka berduyun-duyun orang mendaftarkan diri untuk bekerja di luar negeri.
Data BNP2TKI menunjukan bahwa jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri sebanyak 6 juta orang dan 90 persennya bekerja di sektor informal, terutama pembantu rumah tangga. Mereka tersebar di Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, Singapura, Brunei Darussalam, serta negara-negara lainnya dengan membawa remitansi sekitar 70 milyar dollar per tahun.
Maraknya kasus-kasus yang terjadi pada buruh migran, seperti penganiayaan oleh majikan, gaji tak dibayar, dibohongi PJTKI, tak menyurutkan langkah banyak perempuan Indonesia untuk terus pergi ke luar negeri. Alasan untuk berpenghasilan lebih dari sekedar makan, adalah alasan yang masuk akal, karena kondisi penghasilan di dalam negeri belum memungkinkan orang untuk cepat-cepat memiliki rumah, apalagi mengkuliahkan anak.
Perlu disadari bersama bahwa mentalitas masyarakat kita adalah mentalitas pekerja yang mengharapkan gaji. Bob Sadino, pengusaha nyentrik itu pernah mengungkapkan bahwa prosentase pengusaha di negeri ini sangat rendah. Hanya 0,2 persen dari jumlah penduduk negeri ini. Bahkan kenyataan membuktikan bahwa setiap tahun para pencari kerja senantiasa meningkat.
Dan kenyataan inilah yang mesti harus terus diperbaiki. Dan tentu butuh waktu panjang untuk memperbaiki mentalitas masyarakat, dari seorang penerima gaji menuju orang yang punya mentalitas wirausaha. Hasrat masyarakat Indonesia ke luar negeri untuk bekerja ternyata tidak surut. Walaupun kejadian menyedihkan silih berganti tiada henti. Mereka semangat untuk terus ke luar negeri karena termotivasi oleh kondisi yang ada. Mereka sudah merasa bisa menghadapi resiko apapun yang terjadi, yang penting bisa cepat diberangkatkan.
Mereka kurang menyadari bahwa sebenarnya menjadi buruh migran perlu persiapan-persiapan yang matang. Sisi sumber daya manusia sering terabaikan. Persoalan hukum, asuransi, budaya negara tujuan, dan masalah teknis lainnya sering tak terpikirkan oleh para calon buruh migran. Dari sinilah keberadaan pendamping sangat dibutuhkan. Dan peran serta pemerintah itu sebuah kepastian.
Kelemahan pada sisi sumber daya manusia sangat terlihat. Maklum, sebagian besar dari para BMI, 90 persen adalah bekerja di sektor informal. Kebanyakan dari mereka memiliki tingkat pendidikan rendah. Banyak kasus-kasus yang menimpa para buruh migran kebanyakan mentah di pengadilan, salah satu faktornya adalah lemahnya sisi SDM dari para BMI. Kondisi seperti inilah yang menjadikan para buruh migran rentan sekali terhadap berbagai masalah.
Perhatian pemerintah terhadap kualitas sumber daya manusia memang perlu ditingkatkan lagi. BLK yang selama ini menjadi kawah candra dimuka-nya calon BMI benar-benar harus ditambah kualitasnya. Kehadiran lembaga-lembaga swasta yang peduli terhadap nasib buruh migran, juga perlu diapresiasi dan disambut positif oleh elemen masyarakat dan pemerintah.
Sudah selayaknya juga organisasi-organisasi wanita seperti PKK, Muslimat NU, Aisyiah, ikut berperan aktif dalam hal ini. Paling tidak, ketika sinergi telah terjalin di antara berbagai elemen masyarakat, sosialisasi tentang buruh migran bisa berjalan dengan baik.