News

(Bahasa Indonesia) UU KIP dan Peguatan Basis Organisasi BMI

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Salah satu pemanfaatan UU KIP adalah dengan mengirim permintaan segala informasi pada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen di seluruh lembaga publik.
Salah satu pemanfaatan UU KIP adalah dengan mengirim permintaan segala informasi pada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen di seluruh lembaga publik.

Menjelang akhir tahun ini, Tim Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) dan berbagai elemen pegiat buruh migran di berbagai wilayah telah berhasil melakukan uji akses informasi ke berbagai badan publik. Akses informasi yang dimaksud berdasarkan pada UU nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Secara keseluruhan, uji akses informasi telah berhasil mengumpulkan jenis-jenis informasi yang selama ini tak diketahui masyarakat. Tak hanya itu, pelaksanaan uji KIP juga telah memetakan sejauh mana pelayanan badan publik terhadap akses informasi terkait buruh migran.

“Sampai saat ini, proses permintaan informasi masih terus berjalan. Hasil informasi yang didapat juga signifikan seperti data-data asuransi serta nama PPTKIS dan surat ijinnya di seluruh Indonesia. Dari pengiriman permintaan informasi itu, diketahui pula bahwa BNP2TKI adalah badan publik yang dinilai paling sigap dalam menannggapi permintaan informasi dibanding Kemenakertrans,” papar Fathulloh, pegiat buruh migran Infest Yogyakarta pada 30 November 2013.

Namun demikian, hasil dari uji UU KIP itu rupanya masih belum dilakukan secara maksimal oleh semua elemen buruh migran. “Harus diakui, selama ini yang melakukan permintaan informasi memang orang-orang tertentu di organisasi buruh migran, belum dilakukan oleh semua anggotanya. Maka dari itu, kami selalu membujuk orang-orang tersebut untuk menyalurkan pengetahuannya pada teman-teman seorganisasinya,” lanjut Fathulloh.

Senada dengan Fathulloh, Ahmad Faisol dari komunitas Media Lintas Komunitas (Medialink) Jakarta juga mengungkapkan, pentingnya internalisasi di masing-masing organisasi buruh migran. Menurutnya, internalisasi pengetahuan KIP akan membantu proses penyebaran informasi yang telah didapat. “Selama ini, masih banyak organisasi buruh migran yang kurang berkoordinasi dengan basis organisasinya,” jelas Faisol saat berkunjung ke Yogyakarta.

Maksud dari basis organisasi yang diungkapkan oleh Faisol adalah organisasi-organisasi kecil yang berada di bawah naungan organisasi induk. Biasanya, basis organisasi banyak ditemui di kecamatan hingga di desa. Contoh organsasi buruh migran yang memiliki basis organisasi di beberapa desa adalah Seruni Banyumas dan Lakpesdam NU Cilacap. “Sampai sekarang, yang masih jadi pusat perhatian adalah badan publiknya, belum mengarah pada keterhubungan basis organisasi di daerah-daerah,” tambah Faisol.

Masih menurut Faisol, sosialisasi hasil permintaan informasi ke daerah-daerah basis organisasi bisa jadi koproduksi yang bisa dipakai pemerintah desa di kantong-kantong buruh migran. Bila pemerintah desa telah memanfaatkan informasi-informasi yang langka tersebut, bukan tak mungkin keberadaan calo TKI akan menghilang. Bahkan informasi tersebut bisa menjadi penentu kebijakan tingkat desa yang memihak kepentingan buruh migran.

Melalui obrolan singkat dengan Faisol dan Fathulloh di atas, dapat disimpulkan bahwa UU KIP harus diinternalisasi kepada seluruh anggota organisasi buruh migran. Penguatan kapasitas di sektor basis organisasi juga menjadi tantangan bagi seluruh pegiat buruh migran, agar akses informasi tak sebatas dimiliki oleh segelintir pihak.

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.