Bahasan mengenai Keterbukaan Informasi Publik (KIP) lama tak dimunculkan. Sebagai upaya agar teman-teman buruh migran tidak lupa, kali ini tim redaksi memuat hasil wawancara kontributor www.buruhmigran.or.id dengan Mujtaba Hamdi tentang hakikat dari adanya UU KIP Nomor 14 Tahun 2008. Laki-laki yang akrab disapa Taba ini adalah salah satu pegiat buruh migran yang berkegiatan di lembaga Media Link Jakarta. Pengalaman Taba dalam urusan KIP sudah tidak diragukan lagi. Dirinya pernah menjadi fasilitator diskusi Tim 11 KIP di Hong Kong dan menjadi pembicara dalam acara Lokakarya Hasil KIP BMI.
Berbicara mengenai KIP, Taba berpendapat bahwa substansi perolehan informasi itu adalah suatu yang fundamental. Hal ini tidak berlebihan, karena Indonesia sendiri menjunjung paham demokrasi di mana keterbukaan informasi adalah hak tiap individu. KIP juga memiliki fungsi sebagai akses untuk mengontrol kinerja pemerintah. Maka dari itu, sudah menjadi keharusan bagi seluruh badan publik di Indonesia untuk membuka informasi kepada masyarakat.
Namun demikian, masih banyak badan publik yang belum sadar untuk membuka akses informasi pada masyarakat. “Watak birokrasi di Indonesia itu belum terdemokrasi. Inilah yang menjadi sandungan keterbukaan informasi bagi masyarakat,” jelas Taba.
Bebalnya birokrasi tentu bukan akhir dari segalanya. Menurut laki-laki yang sedang menyelesaikan studi S2 ini, ada banyak jalan untuk mendapat informasi. Salah satunya melalui keberadaan komunitas dan organisasi non pemerintahan. “Perkumpulan masyarakat di berbagai daerah Indonesia yang membentuk kelompok/ komunitas bisa dimanfaatkan. Mereka bisa bergerak bersama menuntut keterbukaan informasi. Setidaknya, regulasi macam itu ditempuh agar ada status hukum dan kesamaan hak yang jelas dalam hal informasi,” paparnya.
Bagi Taba, kekuatan masyarakat yang terorganisir dalam memperjuangkan hak informasi lebih efektif. “Kalau perjuangan hak informasi hanya dilakukan oleh segelitir komunitas saja, pemerintah akan abai dalam meresponnya. Namun bila komunitas masyarakat disatukan sesuai kepentingan, misal buruh migran dan keluarganya se-Indonesia, maka pemerintah pasti akan bertindak,” tutur Taba yang sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia.
Berbincang masalah teknis dalam meminta informasi ke badan publik, Taba juga mengingatkan pada masyarakat khususnya BMI untuk tidak terpaku pada UU KIP saja. “Kadang minta informasi pakai jalur KIP, proseduralnya panjang dan terhambat sistem. Maka dari itu, adanya UU pendukung terkait informasi bisa dimanfaatkan,” paparnya. UU pendukung yang dimaksud Taba misalnya UU pemerolehan informasi seperti UU tentang pers dan penyiaran.
Sesi terakhir wawancara, Taba menyampaikan pesan pada BMI untuk terus semangat dalam memperjuang hak informasi. Hal ini menjadi kebutuhan primer bagi tiap buruh migran. Dia berpendapat, banyaknya kasus kekerasan yang menimpa BMI salah satunya bermuara dari mampatnya akses informasi.