Mengurai Benang Kusut Buruh Migran Indonesia

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Ilustrasi migrasi TKI
Ilustrasi migrasi TKI

Benang kusut persoalan yang mendera buruh migran asal Indonesia bagai lingkaran setan. Hampir di setiap lini dan tingkatan birokrasi menunjukkan perilaku pemerintah bak mesin peras. Buruh migran laksana komoditas yang menghasilkan keuntungan besar bagi para pelaku bisnis tenaga kerja, seperti calo, agen, perusahaan, dan birokrat.

Ada sejumlah persoalam besar yang menimpa buruh migran Indonesia, mulai dari rekruitmen, penampungan, penempatan, saat bekerja, dan kepulangan. Ada yang persoalan yang bersifat struktural, sengketa perburuhan, dan ada juga persoalan yang muncul akibat kualitas sumber daya manusia buruh migran. Namun, apapun akar persoalannya, buruh migran selalu berada dalam posisi yang lemah dan terpinggirkan.

Persoalan Buruh Migran Indonesia

Persoalan struktural bersumber pada produk hukum Indonesia atau negara tujuan yang menempatkan buruh migran dalam posisi yang tidak menguntungkan, terutama pekerja pada sektor domestik. Sebagian besar buruh migran asal Indonesia bekerja pada sektor tata laksana rumah tangga yang sangat tergantung pada “kemuliaan” majikan. Ironisnya, urusan rekruitmen, penempatan, dan pemulangan buruh migran sepenuhnya menjadi kewenangan Perusahaan Tenaga Terja Indonesia Swasta (PTKIS).

Pada Undang-Undang No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN), negara justru sering alpa dan lepas tangan saat buruh migran mendapatkan masalah. Pemerintah, baik Depertemen Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, maupun Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) acapkali berebut wewenang dibanding mengambil inisiatif perlindungan saat buruh migran Indonesia bermasalah.

Hal itu menunjukkan adanya tumpang-tindih distribusi kerja dan minimnya sinergi antarlembaga negara tersebut. Bahkan, ketiga lembaga negara itu sering mengerjakan pekerjaan yang sama sehingga menyedot anggaran belanja negara yang sangat besar. Singkatnya, uang rakyat dipergunakan secara boros akibat ego sektoral antarlembaga negara.

Selain itu, pemerintah memberikan peran besar pada sektor swasta (PTKIS, Asuransi, dan Perbankan) dalam penempatan buruh migran. Akibatnya, muncul kecenderungan untuk memperlakukan buruh migran sebagai sebuah objek dan praktik perdagangan buruh. Ironisnya, pemerintah masih mewajibkan buruh migran untuk membayar biaya penempatan. Inilah bukti bahwa aturan hukum dan perundang-undangan kita masih diskriminatif pada warganya yang bekerja sebagai buruh migran.

Persoalan sengketa perburuhan lahir dari lemahnya daya tawar butuh migran terhadap majikan maupun pihak perusahaan. Hal itu terjadi karena sebagian besar proses migrasi ditangani oleh perusahaan, seperti pengurusan paspor, visa, pendidikan, dan penempatan. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bila perusahaan menempuh segala cara (pemalsuan, potong gaji, perdagangan manusia) untuk meraup keuntungan.

Sengketa perburuhan sering dipicu oleh ketidaksesuaian antara pekerjaan yang dijanjikan dengan kenyataan. Ada juga akibat kesewenangan pihak majikan dalam memperkerjakan buruh migran, pelecehan seksual, dan kekerasan. Selain itu, buruh migran sering menjadi penangkapan dan penghukuman karena ketidaklengkapan dokumen kerja. Umumnya, situasi itu dialami oleh buruh migran yang memilih kabur dari majikan. Meskipun tak ada aturan yang mengikat, sebagian besar dokumen buruh migran dipegang oleh majikan sebagai jaminan.

Sebagian besar korban sengketa perburuhan dan kekerasan adalah perempuan. Hal itu wajar karena sekitar 75 prosen Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri berjenis kelamin perempuan dan 90 prosen dari mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Alih-alih mereka mendapat perlindungan sebagaimana Konvensi Migran 1990, bahkan untuk sekadar melindungi diri saja sangat sulit.

Persoalan di atas semakin lengkap dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia buruh migran asal Indonesia. Tenaga kerja di Indonesia berjumlah 109 juta jiwa dan sebanyak 54,2 juta lulusan SD. Ironisnya, mereka yang menjadi buruh migran adalah orang yang tidak terserap di dunia kerja dalam domestik karena tingkat pendidikan yang rendah.

Jalan Keluar Persoalan BMI

Untuk mengurai benang kusut di atas, pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam politik luar negeri dan diplomasi. Pemerintah harus menghentikan penempatan buruh migran di negara-negara yang tidak memiliki regulasi perlindungan atas buruh migran. Fungsi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) harus diperluas sehingga mampu melindungi atau menjadi rujukan bagi pekerja migran yang bermasalah.

Selama ini, tuah perjanjian tertulis antara Indonesia dengan negara tujuan terus dipertanyakan. Kualitas diplomasi pemerintah harus terus ditingkatkan, terlebih perjanjian tertulis tersebut merupakan mandat dari pasal 27 UU No 39 Tahun 2004. Pasal itu menyebutkan penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang memunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing.

Ironisnya, banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang membiarkan keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) mangkrak. Keberadaan BLK memang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan instruktur. Saat ini, jumlah instruktur BLK sangat minim dan usia mereka sudah tua-tua. Sebagai pembanding, negara-negara maju seperti Jepang dan Jerman justru masih memperhatikan keberadaan lembaga yang tugas dan fungsinya mirip BLK di Indonesia.

Akhirnya, solusi utama atas persoalan buruh migran asal Indonesia adalah penyediaan lapangan kerja dan pengembangan usaha yang seluas-luasnya di dalam negeri. Badan Pusat Statistik memprediksikan jumlah pengangguran di Indonesia dapat menyusut hingga 6,14 prosen apabila pemerintah serius mengelola sumber daya yang ada dalam negeri secara tepat. Sebaliknya, apabila pemerintah membiarkan persoalan buruh migran bak benang kusut maka para buruh migran tak layak disebut sebagai pahlawan devisa melainkan sebagai tumbal devisa.

Yossy Suparyo, Koordinator Pusat Sumber Daya Buruh Migran, tinggal di Desa Gentasari, Kroya, Cilacap, Jawa Tengah

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.