Pancasan — Desa menjadi salah satu institusi yang diharapkan mampu memberikan pelayanan dan perlindungan kepada kelompok buruh migran Indonesia atau yang dikenal dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sebagai institusi yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, desa dapat menjalankan fungsi perlindungan terhadap TKI sejak pra pemberangkatan. Hanya saja, perangkat undang-undang atau peraturan pemerintah hingga saat ini belum memberikan dukungan penu pada desa pada perlindungan upaya buruh migran.
Menurut Budi Satrio, Kepala Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Banyumas, pemerinta desa menghadapi dilema sosial saat menangani pemberangkatan buruh migran. Amanat Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 yang hanya memberikan porsi kepada desa sebagai pihak yang mengesahkan keterangan izin keluarga pada proses migrasi menjadi sala satu kendala dalam penanganan buruh migran di tingkat desa. Wewenang terbatas tanpa wewenang untuk mengawasi opersional calo atau agen Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) menjadikan desa tetap tidak memiliki wewenang luas untuk melindungi warganya.
“Karena tidak ada aturan hukum lebih, kami kadang harus berhadapan dengan rasa tidak enak dengan warga ketika menolak tandatangan persyaratan migrasi. Padahal, terkadang calo yang datang kami ragukan,” Tegas Budi.
Senada dengan Budi, Bayu Setyo Nugroho (36), kepala Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Banyumas, mengaskan lemahnya posisi tawar desa untuk melindungi TKI selama proses pemberangkatan. Pemerintah desa hanya diberi wewenang mengetahui dan mengesakan, tanpa wewenang untuk mengawasi lebih lanjut pemberangkatan warga desa ke luar negeri.
“Setelah tanda tangan surat keterangan, kami tidak tahu lagi warga kami itu bagaimana dan kemana. Padahal, kalau ada masalah pemerintah desa turut harus bertanggungjawab kepada warga,” Ujar Bayu.
Situasi tersebut menggambarkan keterbatasan wewenang desa dalam penanganan migrasi tenaga kerja. Idealnya, Desa justeru dapat menjadi bagian penting dalam pengawasan migrasi. Pemalsuan, perekrutan secara tidak bertanggungjawab oleh calo, pengawasan operasi PPTKIS di desa, hingga pengawasan kualitas pelayanan dapat dilakukan oleh desa. Wewenang lebih luas dibutuhkan desa untuk turut serta dalam pengawasan migrasi ketenagakerjaan. Amanat undang-undang seharusnya juga menyebutkan dan memperinci wewenang desa terkait migrasi tenaga kerja.
Beberapa wewenang yang idealnya diperoleh desa adalah pembatasan dan pencegahan perekrutan tenaga kerja oleh PPTKIS yang dinilai menyalai prosedur; dan wewenang meminta pihak PPTKIS memberikan laporan berjangka kepada pihak desa terkait penempatan warga. Selama wewenang ini tidak diberikan, desa hanya akan menjadi pengelola administrasi migrasi, tanpa kekuatan melindungi warganya.