Kemiskinan, lagi-lagi, disinyalir sebagai salah satu penyebab jutaan orang Indonesia berbondong-bondong bekerja di luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (Rosenberg, 2006). Sulitnya lapangan pekerjaan dan kian tidak menjanjikannya sektor agraria yang semula menjadi tumpuan hidup masyarakat perdesaan mendorong banyak orang mencoba mengadu nasib sebagai pekerja migran. Pilihan sulit terkait dengan ketersediaan sumber daya ekonomi membelit beberapa bagian masyarakat yang tersebar tidak hanya di luar Jawa, tetapi juga di Pulau Jawa yang disebut-sebut sentra pembangunan.
Pilihan menjadi tenaga buruh kasar sangatlah tidak menjanjikan di Indonesia. Alih-alih mencukupi kebutuhan pendidikan yang kian mahal, penghasilan yang diperoleh melalaui kerja kasar pun terkadang tidak mencukupi untuk dijadikan tumpuan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Usah bicara hidup laik, hidup dengan terpenuhinya kebutuhan pokok pun sulit bagi pekerja kasar. Migrasi, menjadi buruh migran di negeri orang menjadi sebuah harapan untuk perbaikan taraf hidup banyak orang. Meski faktanya di luar negeri pekerja migran Indonesia lebih banyak bekerja di sektor nonformal, seperti pekerja rumah tangga (PRT), buruh konstruksi bangunan dan perkebunan, hal tersebut tidak menyurutkan minat banyak orang untuk menjadi buruh migran. Selain karena faktor ketersediaan pekerjaan, menjadi pekerja migran dengan pekerjaan informal diminati mengingat tidak diberlakukannya persyaratan pendidikan yang ketat. Situasi tersebut menempatkan Indonesia kini menjadi salah satu negara penyuplai pekerja migran terbesar di dunia, selain Filipina, Thailand, Myanmar, Nepal dan beberapa negara berkembang lainnya.
Fenomena migrasi tenaga kerja bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Fenomena ini telah terjadi sejak zaman kolonial. Pemberangkatan buruh kasar ke sejumlah negara di Afrika Selatanadalah contoh dari migrasi ketenagakerjaan –meski pada konteks tersebut pekerja lebih difungsikan sebagai korban kebijakan kolonial yang memaksa. Isu pemberangkatan tenaga kerja mulai menjadi fokus negara sejak tahun 1980an. Orde Baru tidak hanya menerapkan kebijakan transmigrasi untuk –seperti diklaim– memeratakan ekonomi dan pembangunan, tetapi juga mulai melakukan ekspor tenaga kerja. Negara-negara, seperti Arab Saudi, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusalam disasar menjadi penerima terbesar tenaga kerja migran Indonesia. Pada kurun waktu 1994-1999 Arab Saudi dan Malaysia telah menjadi negara dengan jumlah pekerja migran Indonesia terbesar. Sebebanyak 38,1 persen buruh migran Indonesia bekerja di Arab Saudi pada kurun waktu tersebut, dan 37,7 persen bekerja di Malaysia (Hugo, 2002). Tingginya angka pekerja migran yang dibayar murah dan besarnya angka pengangguran dalam negeri mendorong pemerintah orde baru untuk memperbanyak jumlah pekerja migran yang diberangkatkan ke luar negeri.
Sejak Pelita IV (1984-1989) peran ekonomi buruh migran mulai dimasukkan dalam perencanaan strategis negara. Tujuannya adalah memperbesar angka pendapatan negara yang dihasilkan dari masuknya uang ke dalam negeri malalui jerih payah buruh migran. Negara menjadikan penempatan buruh migran sebagai salah satu strategi untuk mengatasi tingginya angka pengangguran dan memperbesar pendapatan ekonomi negara. Pada tahun 1997-1998 terdapat sejumlah 235.000 buruh migran Indonesia di luar negeri berdasarkan catatan koalisi LSM (Koalisi LSM, 2002). Mengacu pada data Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI) angka buruh migran meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2011 angka buruh migran formal yang terdaftar melalui BNP2TKI sebanyak 581.081 jiwa. Angka tersebut belum termasuk sejumlah 316.325 Jiwa buruh migran yang berangkat melalui jalur informal.
Besarnya angka pekerja migran di Indonesia diikuti dengan besarnya aliran remiten yang turut membantu pemerintah dalam soal perekonomian. Masuknya uang dari luar negeri memberikan sumbangan terhadap kemajuan ekonomi Indonesia. Istilah pahlawan devisa selanjutnya dilekatkan pada pekerja migran. Pada tahun 2011, buruh migran menyumbang remiten sebesar 6,73 Miliar Dollar. Tren perkembangan nilai remiten pun berkembang dari tahun ke tahun Angka tersebut sangatlah tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan remiten sebesar 5,56 Milliat Dollar pada tahun 2005.
Sumber BNP2TKI (2011)
Ironisnya, kebijakan mengirimkan warga Indonesia ke luar negeri tidak dibarengi dengan kesiapan aturan perlindungan, sikap politik dan pengawasan yang memadai dari negara. Buruh migran ibarat orang yang diminta berperang tanpa dipersenjatai dengan cukup. Terbitnya peraturan terkahir melalui UU no 39 Tahun 2004 pun dirasa belum sepenuhnya memenuhi aspirasi dan menunjukkan iktikad perlindungan terhadap buruh migran. Alih-alih melindungi, pemerintah justeru memberikan peluang cukup luas bagi sektor swasta untuk menjadi pelaku ekonomi dalam penempatan pekerja migran di luar negeri.
Keberadaan Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sebagai pelaku ekonomi dalam penempatan pekerja migran menjadikan sektor penempatan buruh migran sangat bernuansa ekonomi. Implikasinya, sektor ini kemudian lebih mengedepankan perolehan keuntungan. Situasi ini memperburuk situasi dan persoalan buruh migran. Penempatan buruh migran kini justeru kerap identik dengan praktek perdagangan manusia. Perbedaan mendasarnya adalah, migrasi tenaga kerja didasarkan oleh keingingan dan kesediaan sukarela, sementara perdagangan manusia didasarkan pada paksaan atau penjeratan agar calon pekerja migran tidak memiliki pilihan lain selain bermigrasi.
Pekerja migran kerap dilemahkan secara struktural. Perlidungan yang tidak maksimal dan kekosongan peran negara dalam pada beberapa aspek penempatan dan perlindungan buruh migran adalah buktinya. Penyerahan wewenang penempatan buruh migran kepada sektor swasta dengan motif ekonomi adalah bentuk lain dari kekosongan negara. Negara tanpa prosedur pengawasan yang ketat berhasil memenangkan dan berpihak kepada pemilik modal. Rumitnya pengurusan asuransi buruh migran adalah salah satu bentuk pelemahan posisi buruh migran. Pelbagai kebijakan kontraproduktif lain juga menunjukkan posisi negara yan lebih tunduk kepada pasar tinimbang perlindungan warga negara. Kebijakan kontraproduktif tersebut adalah tidak hanya dikelola oleh negara, seperti pembuatan Kartu Tanda Kerja di Luar Negeri (KTKLN), tetapi juga dilakukan oleh beberapa bagian aparat pemerintah, seperti aturan kewajiban bagi buruh migran Indonesia di Hongkong untuk bekerja melalui agen (PPTKIS) pada fase kedua perpanjangan kontrak.
Eksploitasi pada Proses Migrasi
Migrasi sebagiannya adalah perdagangan manusia terselubung. Praktek pembiaran yang dilakukan oleh negara mengisyaratkan lemahnya kepedulian negara terhadap warga negara yang bekerja di luar negeri. Eksploitasi pekerja migran terjadi sejak proses pra pemberangkatan hingga kepulangan buruh migran. Eksploitasi langsung beroperasi sejak perekrutan, persiapan keberangkatan, penempatan dan kepulangan. Pelakunya bukan hanya sektor swasta, tetapi juga aktor pemerintah.
Terminologi eksploitasi perlu dilekatkan dengan istilah pelemahan buruh migran. Pelemahan buruh migran yang paling kentara adalah pembatasan akses informasi bagi buruh migran tentang proses migrasi itu sendiri. Migrasi buruh migran adalah ruang abu-abu yang diciptakan secara struktural sehingga mempersulit buruh migran untuk memperoleh informasi akurat tentang proses migrasi secara keseluruhan. Persoalan paling tampak adalah soal biaya keberangkatan (cost structure) yang tak pernah jelas besaran dan fungsinya. Penempatan proses migrasi sebagai ”dunia abu-abu” tentu memudahkan proses eksploitasi terhadap buruh migran.
Eksploitasi dalam proses perekrutan terjadi melalui beberapa tindakan, seperti penjeratan dalam hutang, penipuan tentang jenis pekerjaan, pemalsuan dokumen, pungutan liar dan penyesatan pemaparan kontrak kerja. Tidak adanya kejelasan informasi yang dapat diakses secara terbuka dan terawasi oleh publik menyebabkan buruh migran mengalami kesulitan untuk memeriksa ketepatan informasi yang disediakan oleh PPTKIS, calo dan perseorangan pada lembaga negara yang berwenang.
Fase prakeberangkatan juga disebut fase karantina atau persiapan keberangkatan. Biasanya, buruh migran ditempatkan dalam asrama yang disediakan oleh PPTKIS untuk menjalani sekian pelatihan dan pembekalan. Pada prakteknya, isolasi tanpa pengawasan pemerintah ini menyebabkan buruh migran berposisi sebagai pihak yang lemah. Buruh migran kerap harus tunduk pada aturan-aturan ”ganjil” dan bertentangan dengan hukum yang diberlakukan oleh PPTKIS.
Beberapa jenis eksploitasi pada fase ini, antara lain adalah pungutan liar atau penggelembungan jasa penempatan buruh migran, penjeratan hutang, pemalsuan dokumen, pelecehan dan kekerasan seksual, penyiksaan atau kekerasan fisik, penyekapan ilegal, pemaksaan untuk menandatangani perjanjian kerja yang mengikat buruh migran. Beberapa contoh kasus ketidaktaatan hukum PPTKIS adalah pemberangkatan buruh migran sebelum memiliki kemampuan bahasa yang mencukupi. Kasus lain yang banyak terjadi adalah pemaksaan untuk menyetujui perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang mengikat, ditandatangani oleh buruh migran dalam keadaan terpaksa atau dalam tekanan PPTKIS.
Eksploitasi di negara tujuan penempatan kerap terjadi dalam beberapa bentuk, seperti pengingkaran perjanjian kerja oleh majikan, pemotongan gaji yang melampaui kewajaran dan tidak transparan mengacu pada biaya penempatan sebenarnya, pelanggaran hak-hak tenaga kerja, penyekapan ilegal, penahanan dokumen pribadi seperti paspor dan dokumen keterangan kerja lainnya, penjeratan hutang. Praktek pembiaran kerap menjadi bagian dari ketidakberesan pemerintah dalam penanganan persoalan warga negara di luar negeri. Kasus-kasus tidak adanya bantuan hukum untuk buruh migran yang mengalami masalah hukum, pengabaian buruh migran yang sakit dan bermasalah adalah beberapa bentuk pembiaran yang dilakukan oleh negara.
Eksploitasi terhadap buruh migran tidak berhenti di luar negeri. Kepulangan buruh migran adalah waktu rawan bagi buruh migran. Pemisahan terminal khusus bagi pekerja migran di beberapa bandara mempermudah praktek pemaksaan atau pungutan liar. Meski berkali-kali dibantah oleh negara, namun praktek pungutan liar masih terus terdengar dari terminal khusus kepulangan buruh migran.
Mengacu Roosenberg (2003), beberapa aktor terlibat secara bersamaan pada proses eksploitasi buruh migran. Klasifikasi ini memudahkan pemetaan aktor yang memungkinkan terjadinya eksploitasi buruh migran. Beberapa aktor tersebut, antara lain agen prekrut tenaga kerja (PPTKIS); Agen prekrut lapangan atau yang kerap disebut dengan istilah calo; kepala atau pimpinan desa, keluarga, tetangga dan teman; dan pejabat pemerintah. Kesemua aktor tersebut berpotensi menjadi aktor yang mengekploitasi buruh migran.
Keluarga dan Buruh Migran
Migrasi bukan semata urusan buruh migran yang akan berangkat semata. Migrasi sangat terkait dengan keluarga atau figur-figur lekat buruh migran. Keluarga merupakan aktor penting dalam proses migrasi. Migrasi ketenagakerjaan yang berimplikasi kepada keluarga idealnya menjadi salah satu fokus yang direncanakan secara matang pada level keluarga. Perencanaan seperti pengelolaan keuangan, pengasuhan anak dan pembagian wewenang selama salah satu anggota keluarga bekerja di luar negeri patut diperhatikan.
Isu pengelolaan keuangan keluraga dari hasil bekerja di luar negeri adalah salah satu isu yang paling marak dibicarakan. Cerita tentang kelompok suami yang berfoya-foya –mabuk-mabukan dan bersenang-senang– menggunakan dana yang dikirimkan istri dari luar negeri adalah yang paling kerap mengemuka. Laporan Paguyuban Seruni Banyumas, menunjukkan beberapa kasus penggunana keuangan secara semena-mena oleh suami selama istri bekerja di luar negeri (https://buruhmigran.or.id/2011/10/04/pembekalan-untuk-suami-buruh-migran, diakses pada 6 Juni 2012).
Persoalan lain yang perlu dicermati seksama dalam proses migrasi ketenagakerjaan adalah pendidikan anak. Angka buruh migran yang bekerja di luar negeri setelah memiliki anak cukuplah tinggi. Kepergian salah satu pasangan (ayah atau ibu) ke luar negeri menyisakan pekerjaan pendidikan yang tidak mudah. Anak kehilangan figur lekat salah satu orangtua. Kehilangan figur lekat ini berpotensi menyebabkan persoalan perkembangan. Persoalan, seperti kenakalan, penghamburan uang dan sikap manja yang berlebih pada anak-anak buruh migran menjadi berita yang cukup sering didengar. Persoalan tersebut perlu dengan seksama dicermati oleh buruh migran dan keluarga. Peran-peran pendampingan psikologis perlu juga menjadi salah satu perhatian bagi kelompok akademisi atau pihak lain yang berkompeten.
Soal Kesehatan Mental Buruh migran
Isu kesehatan mental adalah salah satu isu yang jarang dibicarakan dalam konteks migrasi ketenagakerjaan. Hidup dan bekerja dalam situasi kultur yang berbeda merupakan salah satu tantangan yang menyita enersi psikologis pekerja migran. Goncangan kultural (cultural shok) bukanlah hal mudah yang dapat dengan cepat dilalui oleh setiap buruh migran. Hal in iakan lebih buruk jika dialami oleh buruh migran yang tidak memiliki kapasitas mencukupi, seperti kemampuan bahasa.
Ketertekanan sejak proses persiapan pemberangkatan juga berpotensi menyebabkan persoalan psikologis bagi buruh migran. Ketidakpastian, harapan yang tidak tercapai sepenuhnya, hingga ketakutan menjadi faktor pecentus persoalan-persoalan gangguan mental. Gangguan kecemasan dalam situasi yang tidak pasti dan menentu menjadi salah satu gangguan yang paling rentan diidap oleh buruh migran. Beberapa gangguan berat bahkan juga diidap oleh buruh migran. Kasus depresi berat yang dialami Anggreani (23), buruh migran asal Banyumas, sepulang dari bekerja di Malaysia adalah sebagian kecil contoh gangguan mental yang diidap oleh buruh migran (https://buruhmigran.or.id/2011/12/14/depresi-berat-witri-anggraeni-masuk-rsud-banyumas, diakses pada 6 Juni 2012).
Persoalan perkembangan anak adalah isu besar lainnya pada perbincangan soal migrasi. Anak pada masa perkembangan, bagaimanapun, membutuhkan sosok figur lekat secara lengkap. Keberadaan ayah dan ibu secara bersamaan menjadi salah satu penentu perkembangan yang sesuai dengan tahapan dan tugas perkembangan. Pada kasus buruh migran, kasus kacaunya pendidikan anak, kenakalan dan gangguan perilaku menjadi salah satu persoalan yang kerap mengemuka.
Pendampingan psikologis menjadi hal yang sangat jarang pada isu buruh migran –selain gangguan psikologi berat. Hal ini ironis mengingat besarnya kebutuhan adanya penampingan buruh migran pada aspek tersebut. Meski belum ada survei atau kajian yang secara spesifik membicarakan angka gangguan mental pada buruh migran, namun situasi bekerja, lingkup sosial dan ancaman pekerjaan menempatkan buruh migran sebagai kelompok rentan gangguan mental.
Penutup
Diskusi tentang buruh migran seakan menjadi diskusi yang rumit dan sangatlah luas. Upaya untuk menuntaskan persoalan-persoalan buruh migran perlu menyertakan pelbagai keilmuan dan pihak yang berwenang. Isu ini bukanlah isu sederhana yang dapat diselesaikan dengan cepat, namun penundaan penuntasan persoalan-persoalan buruh migran dapat memperburuk situasi kelompok ini. Persoalan buruh migran seakan gunung es di tengah laut. Persoalan yang tidak tampak dan mendasar justeru jauh lebih besar dari situasi yang tampak. Peran serta banyak pihak tentu diharapkan untuk menyelesaikan pelbagai persoalan pada isu satu ini.