Isu buruh migran atau yang dikenal dengan sebutan tenaga kerja Indonesia (TKI) menjadi isu penting pedesaan. Desa menjadi unit pemerintahan terkecil yang terhubung langsung dengan kelompok pekerja yang rentan ini. Desa secara tidak langsung dilibatkan dalam soal migrasi, seperti amanat Undang-undang No 39 tahun 2004 tentang Tata Laksana penempatan TKI. Situasi tersebut menyebabkan perangkat desa harus terlibat secara aktif dalam usaha mengawal migrasi warga untuk bekerja di luar negeri.
Itulah sepenggal cuplikan diskusi dan sosialisasi penanganan buruh migran yang disampaikan oleh Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan Seruni Banyumas pada lokakarya Gerakan Desa Membangun (GDM) di Desa Beji, Kedungbanteng, Banyumas (19/02/2012).
Narsidah Sanwi (34), pegiat Seruni, turut mengungkap perlunya keterlibatan aparat desa dalam penanganan kasus TKI. Keterlibatan aparat desa untuk penyelesaian kasus akan memberikan efek berbeda kepada pihak yang bertanggungjawab, seperti calo dan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS).
“Kalau ada kasus seperti pemalsuan, langsung saja laporkan ke polisi. Ini agar ada efek jera dan agar institusi desa dihormati,” ungkap Narsidah tegas menggapi uraian kasus dari salah satu desa yang tidak ditindaklanjuti ke kepolisian.
Keterlibatan Seruni dalam sosialisasi Gerakan Desa Membangung yang digalang desa-desa di Wilayah Banyumas ini merupakan bagian dari upaya melibatkan desa dalam pengawasan migrasi. GDM yang diinisiasi secara partisipatif oleh pemerintah desa diharapkan dapat lebih memperkuat kapasitas pengelola desa, termasuk dalam penanganan buruh migran.**