Hari buruh migran dunia telah beberapa tahun dirayakan oleh segenap buruh migran dunia, tak terkecuali buruh migran Indonesia (BMI). Hari ini, 18 Desember 2011, kembali kelompok BMI turut merayakan hari buruh migran. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejumlah protes, seminar, Jambore, pernyataan pers dan aksi turun ke jalan kembali digelar. Sayangnya, hari buruh buruh migran dunia belum menjadi titik tolak perubahan kebijakan dan pelayanan oleh pemerintah Indonesia.
Kebijakan penanganan buruh migran Indonesia adalah bentuk kebijakan “abu-abu” dan bermata dua. Pemerintah, satu sisi, menyebut-nyebut buruh migran sebagai pahlawan devisa dan di lain sisi menempatkannya dalam posisi yang lemah. Kebijakan abu-abu penanganan dan pelayanan buruh migran menunjuk sebuah situasi ketidakjelasan informasi berkembang dan terus dipertahankan secara sistematis.
Keberadaan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (kemnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang mendapat amanat Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tak kunjung bisa mengubah carut marut penempatan BMI di luar negeri. Buruknya, kedua lembaga tersebut kerap tidak memiliki daya tawar yang kuat berhadapan dengan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS).
Kelemahan BMI yang paling mendasar adalah ketiadaan informasi yang memadai untuk mengamankan proses migrasi. Hal ini tampak dengan adanya fakta-fakta, seperti simpangsiurnya biaya penempatan, berbedanya standar yang diberlakukan oleh PPTKIS dan agen, ketidakjelasan kontrak kerja, hingga pada beberapa praktek penempatan BMI yang cenderung mengarah pada perdagangan manusia.
Informasi adalah sesuatu yang vital. Informasi yang tepat mendorong seseorang dapat mengambil keputusan yang benar. Informasi yang tidak tepat dan “abu-abu” menjerumuskan seseorang dalam ancaman pengambilan keputusan yang salah. Praktek penutupan informasi sangat sering terjadi pada konteks penempatan BMI.
Kehadiran UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) memberi harapan baru perjuangan buruh migran. Melalui undang-undang ini, BMI memiliki celah untuk memperoleh informasi terang seputar penempatan, pelayanan dan penanganan BMI yang sebelumnya abu-abu. Amanat UU No 14 menyebutkan bahwa setiap informasi bersifat terbuka untuk pengguna informasi, dan; mudah didapat dengan biaya ringan, waktu tepat, cepat dan cara sederhana.
Melalui semangat keterbukaan informasi publik, buruh migran dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan mempertanyakan informasi-informasi pokok tentang penempatan BMI, seperti biaya, penanganan kasus, dan lowongan kerja. Hal serupa dapat dilakukan kepada PPTKIS. BMI atau komunitas BMI dapat secara perseorangan atau berkelompok mengajukan permintaan informasi tersebut. Sebaliknya, lembaga publik berkewajiban menerbitkan informasi berdasarkan wilayah kerja yang menjadi kewenangannya.
Penolakan atau sengketa permintaan informasi publik dapat disampaikan BMI kepada Komisi informasi di level nasional maupun provinsi. Keterbukaan informasi publik diharapkan mampu membuka persoalan sebenarnya penanganan, pelayanan dan penempatan BMI pada lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang terkait. Keterbukaan informasi ini dapat mendorong perubahan-perubahan yang lain.
BMI tidak perlu takut untuk bertanya dan berjuang memeproleh informasi. Informasi adalah hak buruh migran dan kewajiban negara. Selamat Hari Buruh Migran Internasional.