Figures

(Bahasa Indonesia) Sembilan Bulan Hidup Bersama Komunitas Buruh Migran

Author

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia.

Bagi sebagian besar orang Flores Timur, merantau ke luar negeri sudah menjadi hal yang biasa. Tradisi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun ini kebanyakan masih dilakukan secara swadaya (ilegal). Sebagian besar masyarakat Kabupaten Flores Timur menjadikan tradisi merantau sebagai tumpuan hidup ketika tanah terlampau tandus untuk bisa menghasilkan nilai ekonomi, alam terlampau kejam untuk ditaklukan, dan rupiah menjadi ‘tuan’ yang terlampau sombong untuk dijamah. Jalan keluar sepertinya buntu dan merantau ke negeri orang akhirnya  menjadi salah satu pilihan yang tersisa.

Merantau memang sudah tidak menjadi hal yang luar biasa lagi bagi masyarakat Flores Timur, namun terus dan masih saja menyisahkan begitu banyak persoalan multi dimensi. Mulai dari pra migrasi sampai purna migrasi, kaum migran beserta keluarganya ditimpa begitu banyak problem. Hutang yang menumpuk, suami atau isteri kawin lagi, anak-anak terlantar dan putus sekolah, tertular HIV/AIDS, serta pelbagai persoalan lainnya adalah contoh-contoh miris bagi kita semua. Memang, di antara sekian persoalan buruh migran, masih terselip pelbagai cerita sukses yang juga bisa kita dengar. Namun problematika disekeliling buruh migran masih sangat banyak dan butuh untuk diurai dan bersama-sama mencari solusi terbaik.

Situasi dan pelbagai problematika buruh migran di atas menjadi titik pijak bagi Delegasi Sosial (DELSOS) Keuskupan Larantuka untuk memperbaiki kondisi seputar buruh migran di Kabupaten Flores Timur.  Wujud kongkrit atas cita-cita tersebut dihadirkan melalui  Program Pemberdayaan Buruh Migran dan Keluarganya di Daerah Asal yang bekerjasama dengan dengan Yayasan Tifa Jakarta dan didukung sepenuhnya oleh ANTARA AusAID dan BNP2TKI .

Program ini coba dirancang guna mengatasi beberapa hal yang selama ini menghimpit kehidupan buruh migran dan keluarganya: pendapatan yang berkurang (defisit), komuniksasi yang terputus, serta hak-hak mereka yang selalu dilanggar. Lewat program ini, diharapkan agar dengan merantau ke luar negeri, orang Flores Timur tidak lagi ‘berjudi’ dengan nasibnya sendiri, tetapi lebih dari itu, mereka bisa menjadi perantau-perantau cerdas dan bermartabat, perantau yang berorintasi pada kesejahteraan keluarganya masing-masing.

Ketika pertama kali disosialisasikan di tiga wilayah Kecamatan; Titehena, Solor Timur, Ile Boleng, ada beberapa pengalaman unik yang bisa penulis ceritakan. Karena penulis bertugas di wilayah Solor Timur, penulis akan mengangkat cerita pengalaman selama bertugas di sana.

Pada saat kami melakukan sosialisasi di Desa Bubu Atagamu, tantangan yang harus kami hadapi tidaklah mudah. Berangkat dari kenyataan bahwa orang Bubu pernah mengalami setumpuk kekecewaan dari beberapa lembaga yang pernah  berkarya di sana, tim kami sepertinya berhadapan dengan kokohnya tembok ketidakpercayaan, pesimistis, apatis, sinis, serta sikap dingin yang sempat membuat kami nyaris hilang asa.

Sampai-sampai, mereka menamakan komunitas rintisan yang dibuat (community base organization/CBO) dengan nama “ AKE AKA KAME “(jangan bohongi kami); sebuah penanda yang menggambarkan tentang kekecewaan mereka kepada lembaga yang sebelumnya pernah mendampingi mereka. Tapi bukan orang-orang DELSOS namanya, kalau sampai mundur dan patah arang. Berkat kesabaran serta pendekatan yang dilakukan tim, orang-orang Bubu ini pun bisa kami arahkan dan akhirnya bersedia menerima kehadiran program ini di Desa mereka.

Keberhasilan pertama yang patut dicatat. Satu hal yang juga membanggakan adalah di antara ketiga wilayah sasaran ini,  Solor Timur menjadi lokasi kegiatan sosialisasi dengan jumlah peserta terbanyak. Jumlah CBO yang terbentuk pun sebenarnya sudah melampaui target. Lima CBO terbentuk. Rencana awalnya hanya tiga CBO. Hal ini menjadi penanda awal, program ini diterima dengan antusias.

Perlahan-lahan, kami coba menjalankan amanah dari program ini. Pengorganisiran CBO, pertemuan bulanan, diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD), pelbagai pelatihan (paralegal, pengolahan remitansi, asistensi pertanian, pengolahan pangan lokal, sosialisasi HIV/AIDS), pengenalan Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet untuk TKI (PTK Mahnettik), koordinasi dengan pemerintah lokal, berbagi pengalaman antar CBO, lokakarya, bincang-bincang di radio (talkshow) adalah sejumlah kegiatan yang telah kami lakukan bersama dengan hasil yang beragam di setiap kegiatan.

Secara keseluruhan, Program ini berjalan  selama kurang lebih 9 bulan (Tahap I: September 2009 s/d Februari 2010. Tahap II September 2010 s/d November 2010). Meskipun program tersebut telah berakhir pada November 2010 lalu,  namun, perhatian DELSOS terhadap masyarakat dampingannya tidak pernah berkurang sebagai bukti keberpihakan DELSOS terhadap nasib kaum migran dan keluarganya.

Hingga saat ini, DELSOS masih melakukan pemantauan terhadap kelompok-kelompok CBO yang sudah terbentuk. Pada September 2011 misalnya, 3 orang staf DELSOS bahkan berkesempatan hadir dalam acara ulang tahun  CBO di Desa Konga Kecamatan Titehena. PTK Mahnetik Larantuka pun masih sering dikunjungi anggota CBO. Satu hal yang sering ditanyakan oleh anggota CBO adalah: ”Kapan Program ini dilanjutkan lagi?”.(dudy)

Belum ada komentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.