Ekonomi adalah salah satu persoalan krusial dalam kehidupan manusia modern. Itulah yang membedakannya dengan manusia tradisional sebelumnya. Pada manusia tradisional, ekonomi tidak menjadi perhatian utama karena kebutuhan hidup masih dapat dipenuhi dengan mengambil secara langsung dari alam atau dapat diperoleh dengan cara bertukar (barter). Pada konsep sosial modern, kebutuhan harus dipenuhi melalui proses transaksi yang diwakili dengan simbol nilai bernama uang. Seseorang harus memiliki satuan tukar tersebut untuk dapat memenuhi pelbagai kebutuhannya kini.
Persoalan ekonomi pula yang menyebabkan meledaknya arus keberangkatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke beberapa negara. Rendahnya kesempatan kerja, serta tiadanya jaminan keamanan sosial bagi pekerjaan informal seperti pertanian dari pemerintah mendorong tingginya angka ketertarikan orang Indonesia untuk mengadu nasib di luar negeri, seperti Malaysia, Arab Saudi, Korea, dll.
Bekerja di luar negeri memang menjanjikan dari segi keuangan. Pekerja di beberapa negara berkesempatan untuk memperoleh penghasilan yang cukup baik. Meski demikian patut dipertimbangkan bahwa bekerja di luar negeri membutuhkan pelbagai kesiapan menghadapi tantangan yang tidak sedikit.
Persoalan yang dihadapi TKI atau buruh migran tidak hanya terkait dengan tempat kerja, majikan, PJTKI dan elemen-elemen eksternal lainnya, melainkan juga ditimbulkan oleh TKI itu sendiri. Salah satu persoalan yang kerap mengemuka adalah persoalan pengelolaan ekonomi TKI. Gaji yang besar, penghasilan yang cukup dan upah yang menarik harus dapat dikelola dengan baik agar dapat menghindarkan TKI dari ketergantungan untuk bekerja di luar negeri setelah kepulangan ke Indonesia.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa TKI tidak memiliki perencanaan yang cukup baik terkait dengan penghasilan yang diperoleh dari bekerja di luar negeri. Hanin, seorang TKI dari Blitar bercerita tentang kegagalannya mengelola uang cash yang dimiliki sepulang dari Hongkong membuatnya harus kembali ke negeri itu dua kali. Pada kepulangan pertama, Hanin dan keluarga banyak menghabiskan pendapatannya dari bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong untuk membeli perabotan dan aksesoris rumah. Hasilnya, dalam hitungan 1 tahun uang tersebut nyaris tidak bersisa kecuali untuk membiayai keberangkatan keduanya ke Hongkong.
Pengalaman tersebut membuat Hanin mengambil langkah berbeda untuk mengelola keuangan paska kepulangan keduanya dari Hongkong. Ia bersama suami membuat rencana penggunaan uang yang dihasilkan dari bekerja di Hongkong. Ia dan suami memutuskan untuk membeli sebidang tanah untuk bertani dan membuka sebuah kios kelontong kecil di dekat rumahnya. Kini ia tidak perlu lagi berangkat ke luar negeri karena penghasilan dari bertani dan mengelola toko kelontong sudah mencukupi pembiayaan hidup keluarga.
“Siapa yang mau terusan kerja di luar negeri? Anak-anak sudah besar dan mereka ndak boleh ditinggal terus,” tukas Hanin.
Kisah sukses Hanin ini mungkin banyak terjadi, namun juga kisah kegagalan pengelolaan juga banyak dialami oleh TKI yang pulang dari luar negeri. Rasa senang karena memiliki uang yang cukup saat sepulang dari luar negeri, harus dikendalikan dengan perencanaan pengembangan ekonomi keluarga.
Beberapa perencanaan dapat dilakukan dengan melihat kemampuan TKI dan keluarga untuk mengelola. Namun, secara umum perencanaan ekonomi dapat dilakukan melakukan pertimbangan sebagai berikut:
1. Belilah aset yang dapat berkembang secara ekonomi dan bernilai produksi, seperti tanah pertanian.
2. carilah peluang usaha yang paling memungkinkan (berdasarkan potensi lokal) untuk dikembangkan dengan berbekal keuangan yang dimiliki.
3. Aturlah pembelanjaan pribadi atau keluarga
4. Didik anggota keluarga untuk ikut memiliki visi pengelolaan ekonomi di keluarga sehingga pemborosan dapat ditekan
Visi ekonomi yang dipertimbangkan dengan cukup matang akan membantu mantan TKI untuk dapat membangun keuangan dan kemapanan ekonomi dengan tidak perlu untuk kembali mengadu nasib di luar negeri (Irsyadul Ibad)
Apa yang ditulis oleh bapak irsyad benar adanya. saya mengenal beberapa tetangga yang kebetulan bekerja sebagai buruh migran atau TKI di LN. sepulang dari LN, mereka memiliki uang yang cukup banyak. Tapi karena tidak bisa memanfaatkan uang tersebut, akhirnya habis untuk “berfoya-foya” dengan membeli perabotan. Akhirnya hasil bekerja bertahun-tahun hanya menjadi barang-barang yang harga jualnya terus jatuh. Tetangga tersebut kini tidak jauh berbeda dengan tetangga lain yang tidak pernah bekerja di luar negeri. Sungguh patut dijadikan pelajaran.
artikel yang menarik
istri saya kerja di Singapura dan majikan nya meninggal terus gimana ya
Jika majikan meninggal sebelum finish contract, maka pekerja migran bisa mengajukan pengunduran diri dan mencari majikan di tempat lain.