Prosentase perempuan Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri mulai meningkat sejak tahun 1980 an. Hal tersebut terjadi lantaran perempuan di negara-negara tujuan mulai terjun ke ranah publik dan meninggalkan ranah domestiknya. Feminisasi migrasi kemudian terjadi karena negara-negara tujuan buruh migran membutuhkan tenaga kerja perempuan untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan di ranah domestik.
Negara-negara tujuan dihadapkan pada permasalahan kekurangan tenaga kerja untuk menjalankan kerja-kerja yang dianggap semi dan tidak mahir, salah satunya adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Hong Kong, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tercatat sebagai negara pengimpor PRT asing dari beberapa negara, salah satunya Indonesia.
Buruh migran perempuan banyak yang bekerja di ranah domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Mereka berada dalam posisi rentan karena berada di rumah pribadi majikan tanpa pengawasan. Buruh migran perempuan akhirnya mengalami diskriminasi ganda, satu sisi statusnya sebagai perempuan dan sisi lainnya sebagai pekerja migran. Beberapa masalah yang mungkin dihadapi buruh migran perempuan adalah pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan fisik dan verbal.
Praktik ketidaksetaraan gender, hubungan kelas dan status kewarganegaaraan menjadi kendala yang serius dalam mewujudkan keadilan bagi pekerja migran. Ada berbagai kasus yang dialami oleh pekerja migran perempuan asal Indonesia yang mengalami kekerasan dan penganiayaan di negara-negara penempatan. Nirmala Bonat adalah salah satunya, ia disiksa oleh majikannya di Malaysia tahun 2004 dan kasusnya sempat menjadi pemberitaan banyak media. Selain Nirmala, ada Erwiana yang mendapatkan siksaan dari majikan di Hong Kong dan mendapatkan sorotan dari media.
Banyak kalangan menduga bahwa kasus seperti Nirmala atau Erwiana terjadi di berbagai negara penempatan, namun tidak sampai keluar ke permukaan. Banyak kasus seperti Nirmala atau Erwiana yang tidak pernah disorot media akhirnya tak mendapatkan penanganan serius. Minimnya akses layanan bantuan hukum di negara penempatan membuat kasus-kasus penganiayaan kepada pekerja migran dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Padahal hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran atas nama keadilan dan kemanusiaan.