Konseling Terbuka BMI Hong Kong

Author

Konseling Terbuka BMI Hong Kong
Konseling Terbuka BMI Hong Kong

Minggu, 14 April 2013, bertempat di Causeway Bay, Hong Kong, Gabungan Migrant Muslim Indonesia (GAMMI-HK) bersama beberapa organisasi Buruh Migran Indonesia (BMI) yang tergabung dalam Aliansi Cabut UUPPTKILN No. 39/2004 (ATKI, IMWU, PILAR, LiPMI, dan GAMMI-HK) memberikan pelayanan konseling terbuka untuk BMI.

Acara tersebut didukung oleh Mission for Migrant Workers dan Love Idea’s Hong Kong. Tujuan kegiatan ini adalah menumbuhkan kesadaran BMI dalam memperjuangan hak sebagai pekerja, sehingga BMI tidak diperlakukan semena-mena oleh Majikan maupun Agensi.

Selain pelayanan konseling, Aliansi Cabut UUPPTKILN No. 39/2004 juga membuka pelayanan periksa tensi darah gratis, tata rias, dan perpustakaan terbuka. Layanan ini disambut gembira BMI yang berlalu-lalang di depan posko. Mereka menggunakan kesempatan itu untuk mendapatkan informasi tentang kondisi dan hukum ketenagakerjaan di Hong Kong.

Bahkan banyak juga yang menanyakan permasalahan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) dengan nada kesal dan geram terhadap kebijakan tersebut. Sebanyak 30 BMI yang sudah mendapatkan pendidikan terlibat sebagai sukarelawan. Mereka melayani konsultasi sesama buruh migran dan mengupayakan solusi atau jawaban dari setiap permasalahan yang disampaikan para BMI.

”Kami melayani konseling bukan hanya di posko, tapi juga melalui telepon. Konseling terbuka ini adalah konseling berantai yang sudah dimulai sejak Januari 2013 dan dijalankan oleh anggota Aliansi Cabut UUPPTKILN. Selain untuk membangkitkan kesadaran BMI memperjuangkan hak-haknya yang dirampas baik itu oleh majikan, agensi atau bahkan oleh KJRI Hong Kong, program ini juga bertujuan memberi ruang kepada kawan-kawan aktivis BMI untuk menyalurkan  menyalurkan kepeduliannya kepada sesama BMI yang bernasib kurang baik.” Ketua GAMMI, Umi Sudarto saat ditanya apakah pelayanan massa ini akan terus diadakan oleh organisasi BMI?.
Selama kegiatan konseling, terdapat 30 lebih BMI yang mengadukan kasus mereka. Kasus terbanyak adalah BMI yang berkosultasi bagaimana caranya memutus hubungan kerja dengan majikan (putus kontrak), apa kewajiban yang harus mereka penuhi? dan apa hak-hak yang harus mereka terima?. Kasus tersebut banyak dialami BMI Kong Kong, karena kondisi kerja yang tidak manusiawi.

Beberapa BMI mengatakan tidak diberi jatah makan, sekalipun diberi, porsi yang diberikan sangat tidak cukup atau bahkan ada yang mengaku diberi makanan basi (kadaluwarsa). Namun demikian, mereka terpaksa tetap bertahan, karena apabila memutus atau diputus kontrak, maka BMI akan berhadapan dengan kebijakan sistem online. Kebijakan KJRI Hong Kong tersebut dirasa sangat merugikan BMI Hong Kong. Sistem online membuat BMI Hong Kong dipaksa membayar berbagai pungutan yang akhirnya berujung pada jeratan hutang oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan agensi di Hong Kong.

Satu kasus ditemukan BMI disuruh membayar HK$ 1000 atau sekitar Rp.1.250.000 sekadar mengurus pindah agensi. Setelah pihak PPTKIS mengirim fax ke KJRI Hong Kong, baru mereka memproses kontrak kerja tersebut dengan menggunakan jasa agen yang baru.

“Heran, setiap kebijakan BMI yang dikeluarkan pemerintah (KJRI Hong Kong) selalu berujung pada pengeluaran uang yang tidak sedikit,” ungkap seorang BMI yang tidak ingin disebut namanya dengan nada kesal.

Berbagai kasus yang dialami BMI Hong Kong seharusnya membuat Pemerintah Indonesia berbenah, bukan terus melahirkan kebijakan baru yang semakin merugikan BMI. Kebijakan sepihak KJRI Hong Kong melalui sistem online misalnya, jelas melanggar hak-hak BMI yang diatur dalam Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang juga telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU 6 Tahun 2012. Melalui kebijakan tersebut, BMI Hong Kong yang memutus atau diputus kontrak harus kembali pada agensi untuk dicarikan majikan baru dan gaji mereka harus dipotong lagi hingga 7 bulan lebih.

Alih-alih kebijakan perlindungan berlapis, KJRI Hong Kong secara jelas tampak lebih memihak kepentingan komersil PPTKIS dan Agensi dari pada kewajiban melindungi hak-hak setiap warga negara yang dinaunginya. Kebebasan kontrak mandiri yang dulu dimiliki BMI Hong Kong dan hingga kini dijamin oleh peraturan perburuhan Pemerintah Hong Kong, kini direnggut oleh KJRI Hong Kong.

Selama ini, BMI diwajibkan memakai jasa agensi untuk proses kontrak kerja dengan biaya yang tidak sedikit. Hal itu menyebabkan banyak BMI takut untuk melakukan perlawanan. Melalui kegiatan konseling diharapkan BMI Hong Kong punya kekuatan untuk melawan ketika diperlakukan semena-mena. Mereka tidak perlu terikat dalam jeratan agensi untuk setiap pengurusan kontrak barunya. Sehingga risiko pembebanan biaya berlebih (overcharging) bisa dilawan.

2 komentar untuk “Konseling Terbuka BMI Hong Kong

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.