Kiprah

Migrants Trade Union (MTU), Ruang Berserikat BMI Korea

Author

Korea Selatan merupakan salah satu negara tujuan pengiriman BMI yang sedang digandrungi. Negara ginseng ini dipandang cukup menjanjikan bagi calon BMI karena dianggap menyediakan lapangan kerja yang berbeda dari kebanyakan negara, yaitu di sektor lebih formal semisal manufaktur dan konstruksi.

Selain itu, upah yang dijanjikan bagi pekerja migran di Korea Selatan dianggap relatif lebih tinggi dibanding negara lain. Pemerintah Indonesia juga sedang gencar mengirim ribuan tenaga kerja melalui kerjasama government to government dengan pemerintah Korea Selatan. Tahun lalu, jumlah TKI yang dikirimkan ke Korea Selatan mencapai 2.800 orang. Sementara hingga semester pertama tahun ini, jumlah yang sudah dikirimkan mencapai 2.800 orang.

“Kalau akhir tahun ini saya perkirakan bisa mencapai 7.000 orang,” kata Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, sebagaimana dilansir dari kontan.co.id (28/09/10). Dari sekian cerita gemilang yang datang dari Korea Selatan, terdapat beberapa cerita yang mungkin belum pernah diketahui khalayak. Beberapa momen pahit dan kelam ternyata banyak dialami oleh buruh migran yang bekerja di sana.

Saat ini, ada sekitar 700.000 buruh migran yang bekerja di Korea Selatan yang berasal dari berbagai negara seperti Bangladesh, Nepal, Thailand, Uzbekistan, China, Pakistan dan Indonesia. Selain bekerja di sektor manufaktur atau pabrikan, pekerja migran di Korea Selatan juga mengisi beberapa lapangan kerja informal seperti perkebunan dan perikanan. Dari sekian ribu jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Korea, permasalahan timbul karena banyaknya hak pekerja yang kurang dilindungi. Sektor selain informal seperti pabrikan atau konstruksi yang dianggap relatif aman oleh sebagian kalangan ternyata menyimpan beberapa problematika.

Abdul Kodir Yunus, mantan buruh migran yang pernah merasakan getirnya pengalaman bekerja di negeri ginseng menyatakan beberapa fakta yang ia alami sendiri selama bekerja di Korea Selatan.

“Pekerja ada yang beruntung diberi tempat tinggal layak berupa asrama, tapi banyak juga pekerja yang harus tidur di dalam semacam alat berat, padahal waktu itu keadaannya sedang musim dingin.”, ungkap Kodir. Selain pengalaman tempat tinggal yang tidak layak, sistem pengupahan pekerja konstruksi yang diberlakukan perjam terkadang menyulitkan, terutama saat musim dingin tiba di mana pekerjaan konstruksi harus sementara dihentikan. Hal-hal berbau diskriminasi juga kerap dialami pekerja migran, misalnya tidak disediakannya hidangan halal bagi pekerja muslim oleh beberapa oknum perusahaan.

Pelbagai problematika tersebut kerap memaksa pekerja yang semula memiliki status resmi harus melarikan diri dan menjadikan dirinya berstatus pekerja tidak berdokumen (undocumented worker). Para pekerja yang lari dari tempat kerjanya yang resmi kemudian beralih pada sektor informal atau memilih untuk bersembunyi di tempat-tempat yang dianggap aman guna menghindari kejaran aparat setempat. Sementara pekerja tidak berdokumen mulai marak tersebar, pemerintah Korea Selatan pada akhirnya melahirkan kebijakan cukup keras dalam menyikapi keberadaan pekerja tidak resmi tersebut.

Aksi pemerintah yang cukup kontroversial di pertengahan tahun 2002 adalah ‘crackdown’ atau penggerebekan terhadap persembunyian pekerja ilegal dan kemudian melakukan penahanan di penjara yang disebut ‘detention centre’. Aksi yang dilakukan cukup keras ini membuat banyak pekerja ilegal yang tertekan sehingga beberapa di antara mereka memilih untuk bunuh diri.

Tragedi tersebut memancing amarah berbagai kalangan di Korea Selatan, khususnya pemerhati hak asasi manusia dan buruh migran. Puncak aksi tersebut terjadi pada November 2003 sampai Desember 2004, beberapa aktivis dan pekerja migran di Korea Selatan menggelar aksi yang sangat mencengangkan, yang disebut “Sit-in Struggle”. Sit-in Struggle merupakan aksi protes berdiam diri oleh beberapa aktivis selama 381 hari di Katedral Myeongdong untuk memprotes tindakan keras pemerintah pada buruh migran tidak berdokumen dan pemberlakuan sistem izin tenaga kerja (Employment Permit System/EPS) yang tidak memihak buruh migran.

Sejak aksi tersebut, pada tahun 2005 pekerja migran di Korea (termasuk Buruh Migran Indonesia/BMI) bersatu untuk mendirikan sebuah serikat bernama Migrants Trade Union (MTU). MTU merupakan sebuah serikat pekerja migran di Korea yang terafiliasi dengan organisasi besar yang bernama Korean Confederation of Trade Unions atau KCTU. MTU sendiri saat ini memiliki tidak kurang dari 500 anggota yang merupakan buruh migran dari berbagai negara seperti Indonesia, Nepal, Sri Lanka, Bangladesh, Filipina, Thailand, dan Mongolia. MTU yang jaringannya tersebar di wilayah Seoul, Gyeonggi, dan Incheon ini menjadi wadah pekerja migran yang cukup besar dan berpengaruh di Korea Selatan.

Pemerintah Korea Selatan saat itu menolak keras keberadaan MTU dan tidak mengakui MTU statusnya sebagai organisasi buruh dikarenakan kebanyakan anggota MTU adalah pekerja migran yang tidak berdokumen, sehingga MTU tidak memiliki hak untuk membentuk atau berpartisipasi dalam serikat pekerja. Larangan dari pemerintah tidak membuat gerakan MTU menjadi padam. MTU kemudian tetap hadir untuk memfasilitasi pekerja migran di Korea Selatan untuk bersama-sama menuntut hak sebagai pekerja yang utama yaitu hak untuk berserikat, membuatr perjanjian kerja bersama dan untuk melakukan mogok kerja (right to form a union, right to collective bargaining, right to strike). Selain itu, MTU juga fokus dalam beberapa kampanye seperti penghapusan sistem kerja EPS, penghapusan sistem crackdown, tuntutan untuk melegalisasi pekerja ilegal di Korea Selatan, serta melakukan pelatihan dan sosialisasi berserikat kepada buruh migran di Korea Selatan.

MTU sebagai serikat dengan tegas menyatakan semua pekerja migran, tanpa memandang status, dapat menjadi anggota dan MTU berhak untuk diakui sebagai sebuah organisasi serikat.

“Keanggotaan kami meliputi pekerja migran tidak berdokumen yang semuanya berjuang bersama untuk hak-hak pekerja migran. Selain itu, seperti kita ketahui hukum internasional telah mengakui hak untuk kebebasan berserikat, tanpa memandang status sosial mereka.” ungkap Youngsup Jung salah satu aktivis MTU kepada redaksi PSDBM.

Perjuangan MTU dalam mempersatukan ratusan buruh migran di Korea Selatan di tengah tekanan dari pemerintah patut menjadi inspirasi di tengah geliat serikat buruh migran di berbagai negara. Seonyoung Seo, pelaku sit-in struggle yang juga mantan petinggi MTU, menyatakan bahwa meskipun protes kerap terjadi, namun pemerintah masih tetap melakukan crackdown. Atas dasar hal tersebut, MTU akan terus berjuang melawan kebijakan tersebut dengan terus menambah anggota dan melakukan penuntutan hak-hak buruh migran di Korea Selatan.

Satu komentar untuk “Migrants Trade Union (MTU), Ruang Berserikat BMI Korea

  1. mau tanya dunk adakah respon pemerintah Indonesia terhadap kebijakan korea dalam mengatasi TKI ilegal? apa yang di minta oleh pemerintah Indonesia?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.