Saat Saya mendengar informasi pemulangan sekitar 3400 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang izin tinggalnya di Arab Saudi sudah kadaluarsa (Over Stayer) termasuk ratusan TKI asal Sukabumi (31 Oktober 2011 dan 1 November 2011), Saya teringat peristiwa Kamis 27 Oktober 2011 di Auditorium Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Yogyakarta.
Saat itu saya diundang menjadi peserta aktif Seminar Diseminasi Hasil Penelitian “Dampak Migrasi Internasional terhadap Pendidikan dan Kesehatan Anak” yang telah dilakukan PSKK UGM di 4 Kabupaten antara lain, Ponorogo, Tulungagung, Tasikmalaya, dan Sukabumi dari tahun 2008 sampai 2010.
Seminar di mulai sekitar pukul 08.30 WIB. Pada mulanya saya rasakan seminar tersebut seperti seminar-seminar biasa, di mana para peserta menyimak dengan seksama paparan tim peneliti yang disampaikan oleh Drs. Sukamdi, M.Sc lalu dilanjutkan dengan tanggapan 2 Pembahas yaitu, Usman Basuni, MA, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI dan Ir.M.Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Paparan Sukamdi cukup menarik, terlebih ketika beliau memaparkan tentang peningkatan jumlah buruh migran asal Indonesia, menurutnya hal ini mengilustrasikan pemerintah mendorong rakyatnya untuk bekerja ke luar negeri. Peningkatan “ekspor tenaga kerja”, merupakan terminologi yang banyak digunakan oleh pemerintah saat berdiskusi mengenai migrasi tenaga kerja. Hal ini terbukti dengan label yang selama ini diberikan kepada Buruh Mingran Indonesia (BMI) sebagai “Pahlawan Devisa”. Label tersebut sekilas terlihat memuliakan TKI kita, namun jika diselami maknanya lebih jauh, secara tidak langsung label itu menegaskan memang pemerintah menjadikan buruh migran Indonesia sebagai komoditi ekonomi.
Sukamdi juga menyampaikan dari hasil penelitiannya, migrasi internasional tidak semata berdampak positif terhadap keluarga migran secara ekonomi, namun juga memiliki dampak negatif, khususnya terkait pendidikan dan kesehatan psikologis anak.
Berbeda dengan Sukamdi, Usman lebih menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak memiliki niatan untuk melakukan “ekspor tenaga kerja” sebagai langkah mengatasi persoalan kemiskinan di negeri ini. Disamping itu, ia juga merespon paparan tim peneliti. Menurutnya para peneliti sebaiknya membuat titik pijak awal (strating point) dalam penelitian itu secara eksploratif tidak deskriptif agar lebih berdampak pada kebijakan pemerintah. Namun pada ia sepakat dengan Sukamdi soal pendekatan ekonomi atau fisik lainnya tidak cukup untuk membangun kebahagiaan bagi anak TKI.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala BNP2TKI, Ir.M. Jumhur Hidayat. Menurutnya untuk membangun kebahagiaan anak itu beliau lebih belajar dari Istrinya yang begitu dekat secara psikologis dengan anaknya.
Diselingi isak tangis dan tetesan air mata beliau bercerita tentang bagaimana kedekatan emosional istri beliau dengan anaknya yang diyakini hal itu akan dapat membangun kebahagiaan anak. Menyaksikan pemandangan tersebut sontak sebahagian peserta diskusi terbawa haru hingga beberapa orang rela menghantarkan tisu ke hadapan sang kepala BNP2TKI untuk menghapus airmatanya, termasuk panitia yang mengantarkan sekotak gulungan tisu ke hadapan beliau.
Ditengah suasana haru tersebut, saya yang saat itu hadir justru merasakan suasana yang lain, terlebih ketika Jumhur mengucapkan kata-kata yang cukup menghenyakan hati dan membuat gejolak darah muda saya bergemuruh. Saat itu saya mendengar beliau berucap, “Ya,,,kalo berbicara masalah ini, saya suka tringat sama Istri dan anak saya, saya suka sedih….. (diselingi mengusap air mata dan membetulkan posisi kacamatanya), saya sering memperhatikan istri saya itu sangat dekat secara psikologis dengan anak jika dibandingkan saya. Makanya kalo melihat banyaknya yang memilih melakukan migrasi menurut saya, mereka sangat menjijikan”. ungkapnya.
Kata-kata terakhir itu yang membuat saya yang selama ini bersama Kawan-Kawan AMPERA (Alisansi Masyarakat Peduli Anggaran) di Sukabumi yang terdiri dari sekitar 22 NGO diantranya PPSW Pasoendan, Lembaga Penelitian Sosial dan Agama (LENSA), FITRA Sukabumi, SBMI Sukabumi, PEKKA, dan lain-lain yang memperjuangkan hak-hak buruh migran dan para keluarganya untuk lindungi negara, merasa seperti teriris dan perih hingga memicu gejolak darah untuk segera dibuka termin diskusi dan pertanyaan.
Ketika sesi diskusi dibuka, saya menjadi orang ketiga dari 6 peserta yang akan memberikan respon pada termin pertama. Namun setelah penanya kedua, sang moderator, Dr. Anna Marie Wattie, MA meminta waktu kepada saya untuk terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada seorang ibu dari UNICEF memberikan respon, karena beliau hendak meninggalkan tempat seminar lebih dulu.
Akhirnya dengan sedikit sabar saya mempersilahkannya. Namun yang membuat saya sedikit kesal ketika selesai pihak UNICEF menyampaikan tanggapannya, Jumhur pun mulai beranjak dari kursinya dan meminta izin untuk meninggalkan tempat lebih dulu dengan alasan karena ada acara di tempat lain.
Spontan tangan saya menggapai pengeras suara (microphone) dan dengan nada sedikit keras serta penuh tekanan saya berbicara, “Dimohon dengan hormat, sebaiknya pak Jumhur tidak meninggalkan dulu tempat ini, sebelum mengklarifikasi apa yang akan saya sampaikan, bahkan sebaiknya Bapak cabut omongan Bapak. Kecuali Bapak ingin mengambil resiko yang tidak baik, silahkan Bapak keluar.!(Beliaupun diam, dan bahasa tubuhnya mempersilahkan saya melanjutkan bicara seraya duduk kembali) Saya beberapa kali mengikuti forum Bapak, seperti ketika di Sukabumi waktu itu saya menjadi pemandu acara di Disknakertrans Kab. Sukabumi, saya tidak pernah mendengar kata-kata Bapak seperti tadi saya dengar. Tadi diawal ketika bercerita tentang istri Bapak, lalu Bapak mengakhirnya dengan kata-kata bahwa mereka itu menurut Bapak sangat menjijikan, siapa yang Bapak maksud menjijikan itu?, apakah para TKI/TKW yang karena ada mereka Bapak menjadi Kepala BNP2TKI dan digaji rakyat? atau siapa? “
Lalu Jumhur Hidayat menjawab “Oh itu, mungkin Anda salah tangkap, maksud saya yang menjijikan itu pemerintah” tutur Jumhur. Saya konfirmasi lagi, “jadi menurut Bapak yang menjijikan itu pemerintah?” beliau pun menjawab, “Ya, Pemerintah, kalo TKI itu mereka sangat mulia, dia pahlawan devisa, dan yang menjijikan itu pemerintah yang tidak peduli terhadap mereka” jawabnya lantang .
Mendengar jawaban tersebut, saya ucapkan terima kasih atas klarifikasi yang disampaikan dan mempersilahkan beliau untuk melanjutkan niatnya, saya pun melanjutkan diskusi dan tanggapan kepada pembahas yang lainya. Namun sepeninggal beliau, hati saya bertanya pada diri sendiri karena sedikit aneh dengan jawaban Jumhur, kok bisa beliau bilang yang menjijikan itu pemerintah, bukankah beliau juga bagian dari pemerintah. Sebenarnya beliau menghina siapa? Ah, semoga saja beliau tidak sedang menghina siapa-siapa, karena saya yakin beliau seorang muslim yang juga tentunya Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam mengajarkan pada umatnya untuk tidak saling menghina diantara sesama, karena siapa tahu orang yang dihina itu lebih mulai dari orang yang menghinanya (QS.Alhujurat, 49:11) . Wallahu’alam.
wahahaha… Cara bertahan yang paling baik memang menghina diri sendiri. Jadi sebenarnya Jumhur lagi menghina diri sendiri. (padahal dia ktakutan itu mas daden, daripada di serang)
mestinya di lanjutkan klarifikasinya. sesuatu yang menjijikkan (pemerintah) kenapa menjadi rebutan?
Betul…. dengan sekadar menghina diri sendiri, orang atau pihak lain akan tertahan untuk diam dan tidak melanjutkan upaya mengevaluasi pemerintah. Semacam Tukul Arwana, puas, puas, yaa saya jelek, saya salah, bla…bla…bla…! dan penontonpun terdiam.
Trimakasih dah di muat,,,tp ntu dapet photo dari mana yuah,,,perasaan bukan photo daku,,,wkwkwkwk,,,,,
foto kang Daden itu… waktu pelatihan Mahnettik di Sukabumi
Setidaknya menunjukkan bahwa aparat negara banyak yang tidak memiliki rasa memiliki terhadap saudara sebangsa.